Mading Digital

NESAMA
  • Sarana dan Prasarana

    Sarana dan Prasarana SMPN 1 Malangbong

  • Home

    Mading Digital SMPN 1 Malangbong

  • Informasi

    Info Grafis SMPN 1 Malangbong

  • Informasi

    Program Unggulan SMPN 1 Malangbong

PELUKAN TERAKHIR NENEK

 PELUKAN TERAKHIR NENEK

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Kelas: 9K

Senja itu, langit desa yang biasanya cerah, berubah menjadi kelabu. Awan-awan tebal menggantung, seolah ikut merasakan kesedihan yang menyelimuti rumah kecil di ujung desa. Di dalam rumah itu, Rahma, seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun, duduk di sisi ranjang neneknya.

Nenek, yang selalu menjadi pelita dalam hidup Rahma, kini terbaring lemah. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal, namun matanya yang teduh masih menatap Rahma dengan penuh cinta. Rahma menggenggam erat tangan keriput nenek, berharap kehangatan itu akan menular dan mengembalikan kekuatan nenek.

"Nenek, jangan pergi," bisik Rahma, air matanya menetes membasahi pipi. Ia tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya. Orang tuanya, yang sibuk dengan pekerjaan di kota, jarang mengunjunginya. Neneklah yang selalu ada, merawat, mendidik, dan mencintainya tanpa syarat.

Nenek tersenyum tipis, berusaha mengangkat tangannya untuk mengusap pipi cucu kesayangannya. "Rahma, cucu nenek yang kuat," ucapnya dengan suara serak. "Jangan sedih, nenek akan selalu ada di hatimu."

Rahma terisak, menggenggam erat tangan nenek. Ia ingat semua kenangan indah bersama nenek. Saat mereka menanam bunga di halaman belakang, saat nenek mengajarinya memasak kue cucur, saat nenek mendongeng sebelum tidur, dan saat nenek memeluknya erat saat ia menangis.

Nenek adalah segalanya bagi Rahma. Nenek adalah ibu, ayah, sahabat, dan tempatnya berlindung. Nenek selalu ada untuknya, mendengarkan keluh kesahnya, menghiburnya saat sedih, dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. "Nenek, Rahma sayang sekali sama nenek," ucap Rahma, air matanya semakin deras.

Nenek tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Nenek juga sayang Rahma. Sangat sayang. "Nenek menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Rahma, mendekatlah."

Rahma mendekatkan wajahnya ke wajah nenek. Nenek memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskannya. Pelukan itu hangat, meskipun tubuh nenek terasa sangat lemah. Rahma membalas pelukan nenek, merasakan setiap detik kebersamaan mereka.

"Ingat semua yang nenek ajarkan, ya, Nak," bisik nenek di telinga Rahma. "Jadilah anak yang baik, jujur, dan penyayang. Jangan pernah menyerah, apapun yang terjadi."

Rahma mengangguk, memeluk neneknya lebih erat. Ia ingin menyimpan pelukan itu selamanya, pelukan yang penuh cinta dan kehangatan.

Pelukan itu berlangsung lama, seolah waktu berhenti berputar. Kemudian, nenek melepaskan pelukannya, menatap Rahma dengan senyum terakhirnya."Nenek sayang Rahma," bisiknya, lalu matanya terpejam.

Rahma menatap wajah nenek yang damai. Ia tahu, nenek telah pergi untuk selamanya. Namun, ia juga tahu, cinta nenek akan selalu bersamanya, dalam setiap langkah hidupnya.

Malam itu, Rahma tidur dengan hati yang hancur. Namun, ia memeluk erat selimut yang beraroma nenek, dan ia merasa seolah nenek masih memeluknya erat.

Keesokan harinya, Rahma bangun dengan mata sembab. Ia menatap ke luar jendela, melihat matahari terbit dengan indahnya. Ia teringat kata-kata nenek, "Jangan pernah menyerah, apapun yang terjadi."

Rahma tersenyum tipis, air matanya menetes lagi. Ia tahu, hidup tanpa nenek tidak akan mudah. Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi anak yang kuat dan mandiri, seperti yang diinginkan neneknya.

Rahma tahu, pelukan terakhir nenek adalah pelukan yang akan selalu ia kenang. Pelukan itu adalah simbol cinta abadi, yang akan selalu menghangatkan hatinya, meskipun nenek telah tiada. Ia akan menjaga kenangan tentang nenek, dan ia akan berusaha menjadi anak yang baik dan berguna, seperti yang selalu diajarkan nenek.

PELUKAN TERAKHIR AYAH DAN MAMAH

 PELUKAN TERAKHIR AYAH DAN MAMAH

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Kelas; 9K

Fakhira, seorang gadis remaja berusia enam belas tahun, berdiri terpaku di depan pintu rumahnya. Hujan deras mengguyur kota, seolah ikut merasakan kesedihan yang meremukkan hatinya. Di dalam rumah itu, ayah dan mamahnya terbaring kaku, korban kecelakaan tragis yang terjadi beberapa jam lalu.

Air mata Fakhira mengalir deras, bercampur dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Ia tidak percaya, kedua orang yang paling dicintainya telah pergi untuk selamanya. Ayah, dengan senyum hangatnya, dan mamah, dengan pelukan lembutnya, kini hanya tinggal kenangan.

Fakhira melangkah masuk ke dalam rumah, kakinya terasa lemas. Ia berjalan menuju kamar ayah dan mamahnya, tempat jasad mereka disemayamkan. Wajah ayah dan mamahnya tampak damai, seolah mereka sedang tertidur lelap. Namun, Fakhira tahu, mereka tidak akan pernah bangun lagi.

Fakhira mendekati jasad ayah dan mamahnya, berlutut di samping mereka. Ia menggenggam tangan ayah dan mamahnya, merasakan dingin yang menusuk tulang. Ia teringat semua kenangan indah bersama mereka.

Ia ingat saat ayah mengajarinya naik sepeda, saat mamah membantunya mengerjakan tugas sekolah, saat mereka tertawa bersama menonton film komedi, dan saat mereka berpelukan erat sebelum tidur.

Ayah dan mamah adalah segalanya bagi Fakhira. Mereka adalah pelindung, pendukung, dan sahabat terbaiknya. Mereka selalu ada untuknya, memberikan cinta dan kasih sayang tanpa syarat. "Ayah, Mamah, Fakhira kangen," bisik Fakhira, suaranya bergetar. "Kenapa Ayah dan Mamah pergi secepat ini?"

Fakhira memeluk jasad ayah dan mamahnya, mencium pipi mereka yang dingin. Ia ingin merasakan kehangatan mereka sekali lagi, pelukan yang selalu membuatnya merasa aman dan nyaman.

Pelukan itu berlangsung lama, seolah Fakhira ingin menghentikan waktu. Ia ingin menyimpan pelukan itu selamanya, pelukan yang penuh cinta dan perpisahan.

Kemudian, Fakhira melepaskan pelukannya, menatap wajah ayah dan mamahnya dengan tatapan kosong. Ia tahu, ia harus melepaskan mereka, meskipun hatinya terasa hancur berkeping-keping.

Malam itu, Fakhira tidur di kamar ayah dan mamahnya, memeluk bantal yang beraroma mereka. Ia merasa seolah ayah dan mamahnya masih ada di sana, menjaganya dari mimpi buruk.

Keesokan harinya, Fakhira bangun dengan mata sembab. Ia menatap ke luar jendela, melihat matahari terbit dengan sinarnya yang redup. Ia teringat kata-kata ayah, "Jadilah anak yang kuat dan mandiri," dan kata-kata mamah, "Jangan pernah menyerah, apapun yang terjadi."

Fakhira tersenyum tipis, air matanya menetes lagi. Ia tahu, hidup tanpa ayah dan mamahnya tidak akan mudah. Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi anak yang kuat dan mandiri, seperti yang mereka inginkan.

Fakhira tahu, pelukan terakhir ayah dan mamahnya adalah pelukan yang akan selalu ia kenang. Pelukan itu adalah simbol cinta abadi, yang akan selalu menghangatkan hatinya, meskipun mereka telah tiada. Ia akan menjaga kenangan tentang ayah dan mamahnya, dan ia akan berusaha menjadi anak yang baik dan berguna, seperti yang selalu mereka ajarkan.

Bunga Terakhir

  Bunga Terakhir 

Karya: Naira Hilmiyah 

Kelas: 9G

"Selamat ulang tahun putri kecil ayahh"

Aku mengulum senyum saat melihat satu buket bunga di hadapannya. 

"Ini beneran buat Eva, yah?"

Ayah pun menganggukan kepalanya dan memberikan satu bucket bunga itu. 

"Maaf yah Eva, Ayah cuman bisa kasih Eva bunga."

Ucap ayahku sambil membelai lembut rambutku. Aku tersenyum sambil mencium aroma wangi dari bunga mawar itu.

"Eva suka bunga, apa pun yang ayah kasih Eva pasti suka."

Ucapku sambil memeluk erat tubuhnya. Entah mengapa sangat berat bagiku untuk melepaskan pelukan ini , seolah-olah aku tak akan pernah bisa merasakannya kembali.

"Yah, ramadhan tahun ini kita ga sama ibu lagi yah? Padahal Eva kangen kebersamaan kita dulu."

"Eva, kan masih ada bapa, bapa bakalan selalu ada buat Eva."

Aku mengganggu kan kepalaku sambil terus mencium aroma bunga mawar itu. 

"Mm, Eva sesuka itu yah sama bunga mawar?"

Aku menatap ke arah sang ayah dan tersenyum.

"Awalnya Eva ga suka, cuman karna ayah yang kasih Eva bunga mawar jadi Eva suka deh!!"

Jawabku dengan excited. Terlihat jika ayahku tengah mengulum senyum manisnya. Hufttt...rasanya aku ingin sekali terus melihat senyuman itu. 

Kruyuk-kryuk 

"Haha Eva laper yah?"

Dengan perasaan malu-malu akupun menggangukan kepalaku. 

Selang beberapa menit, ayahku datang dengan satu piring nasi di tangan kanannya.

"Sini ayah suapin"

Dengan perasaan senang, aku pun menganggukan kepalaku.

Suapan demi suapan terasa begitu istimewa, meskipun aku makan dengan lauk seadanya tapi masakan ayah akan selalu menjadi pemenangnya. Bahkan aku sempat berpikir untuk mendaftarkan ayahku menjadi master chef.

***

"Hufft... Capek banget sih hari ini, mana perut laper banget lagi. Kira kira ayah masak apa yah hari ini."

Ucapku sambil melanjutkan perjalanan ku menuju rumahku. 

Selang beberapa menit, akhirnya aku tiba di teras rumahku. Di sana ada ayahku yang tengah menungguku di kursi yang ada di teras rumahku. Senyuman ku mengembang saat melihat satu tangkai bunga mawar yang tersimpan jelas di atas meja itu.

"Ayah!!"

"Eh anak ayah sudah pulang, bagaimana sekolahnya hari ini? Seru?"

"Seru banget yah!!! Tapi Eva laper"

Ayahku tersenyum saat mendengar suara perutku yang terus  demo minta di isi makan.

"Ayok duduk nak, ayah sudah masakan makanan kesukaan Eva."

Aku pun mendudukkan diriku di kursi yang ada di samping ayahku. Tak lupa aku pun mengambil setangkai bunga mawar itu dan ku genggam dengan erat.

"Ayah, kenapa ayah selalu nungguin Eva pulang di sini? Emng ayah ga bosen?"

Ayah pun tersenyum sambil terus menatap mataku dengan lekat.

"Eva, besok ayah udah mulai kerja, jadi mulai besok ayah ga bisa nungguin Eva pulang sekolah lagi."

Aku mengerutkan keningku.

"Kerja? Kerja apa maksud ayah?"

"Besok kamu juga tau kok, Eva."

Di keesokan harinya, seperti biasa aku bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.

"Nak, kamu udah sarapannya?"

Ucap ayahku sambil membelai lembut rambutku. Dengan cepat aku menggelengkan kepalaku.

"Loh kenapa belum nak? Mau ayah suapin?"

"Boleh yah?"

"Boleh dong, apa sih yang ga boleh buat putri kesayangan ayah."

Selesai sarapan aku langsung bergegas untuk berangkat kesekolah. 

"Hai Eva!!"

Sapa teman sekelas ku, yakni Rani.

"Eh, hai Rani!! Oh iya kamu udah ngerjain tugas yang kemarin?"

"Heheh, belum. Liat dong va"

Yaa... Beginilah kelakuan temanku, setiap hari pasti saja dia menyontek tugas ku. Benar-benar menyebalkan.

Namun, di saat aku dan Rani tengah asik berbincang. Tiba-tiba terdengar keributan dari arah taman sekolah. Karna penasaran aku dan Rani pun langsung bergegas menghampiri keributan itu.

"Alah, cuman babu doang pake ngatur-ngatur segala."

Ucap salah satu siswi pada seorang pria paru baya yang bekerja sebagai tukang sapu di SMA tribakti.

"Bapa tau nak, tapi tidak bisakah kamu menghargai usaha orang lain? Apakah bapa salah jika mengingatkan mu untuk tiba merusak fasilitas sekolah?"

Plak!!

"Bullshitt lu babu!! Inget yah, gue ini adalah anak donatur terbesar di sini!"

Ucap Wina anak dari donatur sekolah ini. Melihat jika ada satu tangkai bunga mawar di tangan bapa itu Wina langsung merebutnya dan menginjak setangkai bunga mawar itu ke tanah.

Melihat bunga mawar miliknya jatuh, beliau langsung mencoba memungutnya. Namun, dengan tega Wina menginjak tangan bapa tukang sapu itu.

"Aww, sakit nak lepasin bapa"

Erang sang bapa sambil berusaha melepaskan tangannya.

"A-ayah!!!"

Pekikku yang baru saja sampai di taman dan melihat ayahku yang tengah di tindas oleh siswi itu.

"Ayah, ayah ga papa kak?"

Ucapku dengan air mata yang sudah membasahi pipiku.

"Oh jadi babu ini bapa lu? Haha anak sama bapa sama-sama kayak sampah."

Plak!!

"Jaga yah mulut kamu Wina!! Aku tau kamu adalah anak donatur terbesar di sini, tapi bukan berarti kamu bisa nindas semua orang yang ada di bawah kamu, termasuk ayahku!!"

Wina menatap ku dengan sorot mata merah, memancarkan kebencian yang mendalam. Namun, aku tak memperdulikan hal itu, dengan cepat aku menjongkokkan diriku untuk memastikan keadaan ayahku.

"Ayah ga papa kan? Ayah maafin Eva karna telat datang ke sini."

Mendengar ucapan ku ayahku hanya bisa tersenyum lirih dan memberikan aku satu tangkai bunga mawar yang sudah hancur itu.

Tanpa aku sadari Wina mengambil batu besar dan siap menimpa ku dengan batu besar itu. Namun, dengan cepat ayah menghalanginya. Alhasil batu besar itu mengenai ayahku.

"AYAH!!"

Teriakku saat mendapati ayahku yang terkulai lemas dengan darah segar yang terus keluar dari kepalanya.

"Maafin ayah yah nak.. semoga kamu bahagia di sini."

Ucap ayahku lirih sebelum akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

Aku menggempalkan tangannya kuat.

Plak!!.

"PUAS KAMU BIKIN AYAHKU MENINGGAL, HAH?!!! KENAOA KAMU SETEGA ITU WINA!! HIKS HIKS, APA SALAH AYAHKU SAMPE-SAMPE KAMU TEGA MENGHILANGKAN NYAWANYA?"

Entah apa yang terjadi selanjutnya, aku benar-benar tidak tau, pandangan ku gelap segelap-gelapnya.

Perlahan-lahan aku membuka mataku. Aku terkejut saat mendapati diriku yang sudah berada di dalam rumahku.

"Eva, akhirnya kamu sadar juga. Kamu yang sabar yah nak."

Ucap seorang ibu-ibu sambil terus membelai lembut rambutku.

"Ayah? Dimana ayahku? Di mana ayah Eva Bu? Hiks hiks ayah Eva mana Bu?"

Tangisku sambil meredarkan pandangan ku ke setiap penjuru ruangan.

"Ayah kamu sudah di makamkan Eva."

Mendengar itu dengan cepat aku berlari menuju pemakaman. Sesampainya di sana aku langsung menangis sambil memeluk batu nisan itu dengan erat.

"Ayah...maafin Eva. Eva gagal jadi anak yang baik buat ayah. Ayah kenapa tega ninggalin Eva? Katanya ayah mau melaksanakan ramadhan tahun ini bareng Eva? Tapi kenapa ayah bohong? N-nanti siapa yang bakalan nungguin kepulangan Eva dari sekolah? Terus siapa yang bakalan suapin Eva makan? Siapa juga yang bakalan kasih bunga mawar setiap harinya buat Eva?"

Tangisku sambil terus memeluk batu nisan itu.

"Eva!! Kamu yang sabar yah? Masih ada aku di sini. Kamu bisa tinggal di rumah aku."

Ucap Rina sambil berusaha menenangkanku. Namun aku menggelengkan kepalaku.

"Makasih Rina, tapi aku mau tinggal di rumah milik ayahku aja. Di sana banyak kenangan aku bersama ayah dan bunda di kala itu."

Mendengar ucapan ku Rina hanya mengganggukan kepalanya sambil terus mengelus-elus punggung ku.

"Ayah, makasih yah udah kasih Eva kebahagiaan ini, dan makasih juga karna ayah udah mau mengajarkan Eva apa itu arti kehilangan."

BERTAHAN TAPI TERLUKA

 BERTAHAN TAPI TERLUKA



Karya: Anisya Rahmadani
Kelas: 8H

   "Huh" aku menghela nafas lelah dan menjawab pertanyaan Revan.

   "Aku gak seperti itu, Van!" seruku

   "Alahh! Mana mungkin itu semua bohong," ucapnya tak percaya.

   Capek! Satu kata yang memenuhi pikiranku saat ini. Lelah rasanya aku harus menjelaskan sesuatu terus-menerus. Aku merasa tengah berada di hubungan yang toxic.

   "Udahlah. Mau dijelasin berapa kali pun kamu masih gak percaya," ucapku lelah.

   Aku ingin melangkahkan kaki tapi Revan menahanku.

   Dia memegang pergelangan tanganku dengan kuat. Matanya memerah menatapku dengan tajam. Aku meringis, merasakan perih di area pergelangan tangan kananku.

   "Lepaskan!" ucapku tercekat,

   Dia seolah-olah menulikan telinganya dan malah memperkuat genggamannya. Aku mencoba untuk melepaskannya dengan sekuat tenaga namun kekuatanku tak sebanding dengannya.

   "Kamu mau ke mana, Putri?" ucapnya dengan amarah yang terpendam.

   Aku tertunduk, tidak berani melihat matanya. Mulutku terasa terkunci rapat dan hanya bisa terisak.

   "Setelah kamu mengkhianatiku dan kamu bilang ini semua bohong?" ucapnya dengan tajam.

   Aku menggeleng kuat, seraya melihat matanya sekilas.

   "Lalu apa ini, Putri?" bentaknya dengan marah.

   Bibirku bergetar, mataku mulai sembab karena terlalu lama menangis. Aku menjawab pertanyaan Revan dengan cepat.

   "Aku udah bilang, aku cuma tidak mengkhianati kamu! Itu cuma kerja kelompok doang, Van," ucapku dengan lemah.

   "Arghhh..Selalu saja nangis! Alay, tau gak?" ucapnya seraya pergi meninggalkanku di taman.

   Aku terduduk dengan kepala yang tertunduk. Tangisku pecah seketika. Mataku melihat kepergian Revan dengan pandangan yang kosong. Tiba-tiba...

   "Put..Put..," panggil seseorang dengan melambaikan tangannya di depan wajaku. Aku tersentak.

   "Eh," ucapku dengan kikuk.

   Sadar dengan kehadiran seseorang itu. Seketika aku langsung menghapus air mataku. Aku segera pergi dari hadapannya tanpa melihat wajahnya sama sekali.

   "Apa yang kamu sembunyiin sih, Put? Kenapa kamu malah pergi?" ucap Zara seraya menatap kepergianku.

   Tak lama kemudian, Zara pun pergi dari taman karena hari sudah menjelang malam.

   Keesokan harinya..

   Bel sekolah berbunyi. Aku duduk di bangku dan di sebelahku ada Zara yang sedari tadi menatapku.

   "Ada apa Zara?" tanyaku seolah-olah tak tahu,

   "Apa yang terjadi kemarin?" tanya Zara dengan muka datarnya,

   "Gak ada apa-apa," elakku,

   "Jawab, Putri!" tekan Zara,

   "Huh," aku menghela nafas dan langsung menceritakan semua yang sudah terjadi kemarin. Mataku berembun menahan tangis 

   "Aku capek, Zar," lirihku,

   "Dia selalu saja begitu. Aku gak bisa bertahan lebih lama lagi, Zar," lanjutku,

   "Segini aja kamu udak kuat banget loh, Put! Aku salut sama kamu," jawab Zara sebari memelukku.

   Aku mengulas senyum yang semanis mungkin. Terkadang aku ingin sekali meninggalkan dia. Karena sikapnya yang red flag itu. Dia seperti tidak mempunyai kepercayaan terhadapku. Bagiku, sebuah hubungan tanpa adanya kepercayaan, bagaikan sebuah rumah tanpa fondasi. Tanpa adanya fondasi rumah tidak akan kuat.

   Selain itu, dia juga sering bermain kasar padaku. Dia sangat cemburuan, bahkan dia sama sekali tidak menghargaiku. Karena sikapnya yang seperti itu, aku ingin pergi meninggalkannya.

Untuk Keluarga

Untuk Keluarga



Karya: Dhia Silmi Atiyah
Kelas: 8E

Rumah berantakan, pecahan piring berserakan di lantai, suara bentakan memenuhi udara.

Ayah... Ibu... mengapa kalian harus berpisah? apakah kalian tidak saling mencintai lagi? ataukah kalian memang sudah tidak menginginkan anak ini?
sejak hari itu, kalian meninggalkan luka yang dalam di hatiku.

"Aku nggak tahan lagi hidup denganmu! kita cerai saja!"
Teriak ibu, suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca.

Ayah membalas dengan nada yang sama, penuh amarah.

"Baik! kita cerai saja! dan jangan harap aku membawa anak bodoh ini!"
Lalu, ia pergi tanpa menoleh lagi.

Hatiku hancur. seharusnya, di usiaku yang masih remaja, aku mendapatkan kasih sayang, bukan makian. Jika memang aku yang menghancurkan rumah tangga kalian, aku minta maaf. Aku ikhlas jika harus menghilang dari dunia ini.

Ayah... terkadang aku iri melihat anak-anak lain yang punya sosok ayah sebagai panutan dalam hidupnya.
Ibu... aku juga iri melihat anak-anak lain yang memiliki ibu penuh kasih sayang. Sedangkan aku? hanya hidup sendiri di jalanan, tanpa siapa-siapa.

Ayah... Ibu... sungguh, aku sangat mencintai kalian. Tapi mengapa kalian membenciku? mengapa kalian tega menyebutku "anak bodoh"? tidakkah kalian sadar bahwa kata-kata sekecil itu telah menggores hatiku dan meninggalkan trauma dalam hidupku?.

Saat anak-anak lain tertidur dengan elusan lembut di kepala dan kecupan di kening dari orang tua mereka, aku hanya bisa memeluk diriku sendiri di trotoar yang dingin. Saat mereka tertawa bahagia bersama keluarga, aku hanya bisa menangis dalam kesepian.

Aku selalu berharap memiliki keluarga yang harmonis dan bahagia. Tapi harapan itu kini terkubur dalam-dalam, karena aku tahu, itu tidak akan pernah menjadi kenyataan.