Mading Digital

NESAMA
  • Sarana dan Prasarana

    Sarana dan Prasarana SMPN 1 Malangbong

  • Home

    Mading Digital SMPN 1 Malangbong

  • Informasi

    Info Grafis SMPN 1 Malangbong

  • Informasi

    Program Unggulan SMPN 1 Malangbong

Tampilkan postingan dengan label Dongéng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dongéng. Tampilkan semua postingan

Jangan dengerin omongan orang lain

 Jangan dengerin omongan orang lain

Karya : Naida

Kelas : 7J

Justin selalu mimiliki impian besar ,yaitu menjadi seniman  terkenal .Setiap kali ada waktu luang ,ia akan menggambil kuas dan cat ,lalu memulai melukis apa saja yang menarik perhatiannya .Namun ada ,satu hal yang selalu menggangunya 

•omongan orang di sekitarnya 

"Ngapian sih kamu melukis terus ?itu bukan pekerjaan serius!"kata anak tetangganya suatu hari ."Kenapa nggak fokus bantuin orang tua aja itu lebih bermanfaat ".

Justin merasa kesal, namun ia berusaha tetap tenang .Setiap hari ,omongan itu terus saja terdengar ,seakan - akan mengingatnya bahwa impian besar nya itu hanya halusinasi .Bahkan beberapa temannya ikut berkata ,"Mending kamu berhenti deh ,buat apa sih jadi seniman ? Itu kan nggak ada masa depannya".

Meski demikian ,Justin tidak bisa mengembalikan hasratnya. Lukisan-lukisan itu adalah bagian dari dirinya ,dan ia tahu meskipun orang lain meraggukan,hatinya yakin bahwa inilah jalannya.

Tapi tak bisa dipungkiri ,kadang omongan orang itu membuat ragu .

Suatu hari ,saat Justin menggambar di bawah pohon besar di halaman rumah ,seorang pemuda yang kebetulan lewat menghampirinya.

"Wah ,lukisanmu keren sekali" ,kata pemuda itu ."Kamu punya bakat luar biasa.Kalau kamu terus mengasahnya ,kamu bisa jadi seniman hebat".

Justin terkejut , karena belum pernah ada yang memberi pujian seperti itu.Pemuda itu melanjutkan ,"Jangan dengarkan kata-kata orang yang meragukanmu.Mereka tidak tahu apa yang bisa kamu capai .Hanya kamu orang yang tahu impianmu yang sebenarnya".

Kata-kata pemuda itu membuat Justin berpikir .Ya, orang-orang itu mungkin  meraggukannya ,bahkan menghina impian yang sangat ia cintai , tetapi itu tidak bisa membuatnya berhenti .Dia tidak akan memberikan keraguan orang lain menghalangi langkahnya .Dan ia berpikir bahwa orang yang banyak  meng support itu orang yang kita tidak kenal ,dibandingkan orang yang kita kenal karena kalo karena kalo orang yang kita kenal itu takut nya dia ketinggalan sama kita .

Sejak saat itu , Justin menyadari satu hal: omongan orang yang meragukan ,menghina atau mengejek impian kita bukanlah hal yang harus kita dengarkan.Yang terpenting adalah percaya pada diri sendiri dan terus maju ,meskipun dunia seakan tidak mendukung .

We Are Different

 We Are Different

Karya: Naira

Kelas: 9G


"Alana, sekarang kamu minum obat yah,"

ujar ibuku, sambil menyodorkan beberapa bungkus obat.


"Untuk apa bu? Mau ana minum obat atau ngga pun, penyakit kanker ana ga bakalan sembuh kan?"


"A-ana deng-"


"Udah lah bu, ana cape bu. Lebih baik ibu keluar sekarang juga!!"


"Tap-"


"KELUAR BU!!!"

Dengan berat hati, sang ibu pun keluar dari kamar rawat ana.


"Ya tuhan, kenapa hidup ana sesuram ini? Ana cuman mau sehat, ana mau sekolah, ana juga mau habisin waktu ana sama teman-teman ana. Apakah ana ga berhak untuk bahagia? Hiks, hiks. Ana cape. ANA CUMAN MAU BAHAGIA!!"

Tangisku dengan begitu histeris. Namun, secara tiba-tiba seorang pria datang dan menyodorkan beberapa lembar tisu.


"Jangan nangis lagi, ada aku. Hapus air mata itu, ana."


"S-siapa kamu?"


"A-aku, aku Alvaro. Jangan lupa hapus air mata mu itu, ana."

Ujarnya sambil memberikan beberapa lembar tisu.


"T-terima kasih. Mm... Bagaimana bisa kamu berada di sini?"

Pria itu terdiam sejenak.


"Aku tidak tahu, mungkin karna tangisan pilu mu itu."


"Apa maksud mu?"


"Lupakan saja, Alana. Aku tau hidupmu sudah tak lama lagi, maka dari itu biarkan aku menemanimu di sisa hidupmu."

pria itu menggenggam tanganku dengan penuh kasih sayang.


"Bagaimana kamu tau tentang ini semua?"


"Jika ku katakan yang sebenarnya, mungkin kamu tak akan percaya. Huftt... Sekarang kamu minum obat yah, setidaknya kamu ada usaha untuk mendapatkan kesehatan yang kamu inginkan."


Pria itu benar-benar sangat menenangkan hatiku, suaranya yang lembut sama persis dengan perlakuan yang begitu membuat hati ini tenang. 


"Ya tuhan, jika dia jodoh orang lain jadikan aku orang lain itu. "

Monologku sambil terus memandangi wajah teduhnya itu.


🐇🐇🐇


Tiga bulan berlalu. Kini hubunganku dengan Alvaro semakin dekat. Dia adalah orang yang paling berharga yang pernah aku temuin, berkatnya penyakit kanker ku semakin membaik, dan peluang untukku sembuh semakin besar.


"Alvaro, makasih yah. Makasih karna udah selalu ada buat ana. Tunggu ana sampai ana sembuh yah, cuman kamu yang selalu ada buat ana. Jangan tinggalin aja yah, ana sayang kamuu."


"A-ana.. jika kita tidak di takdirkan untuk bersama ga papa yah, semoga ana dapat cowo yang jauh lebih baik dari aku."

ujarnya dengan raut wajah penuh kesedihan.


"Tapi kenap-"

Belum aku selesai bicara seorang wanita datang menghampiriku.


"Hey, kamu sedang bicara dengan siapa?"

Aku pun terkejut saat mendengar ucapannya itu


"Apakah dia tidak melihat Alvaro? Apa wanita ini buta?"

Monologku keheranan.


"Bersama sahabatku, Alvaro."


"S-sahabatmu? Tapi aku tidak melihat siapapun di sini terkecuali kita berdua."


"Tap-"


"Sudah lah mungkin kamu sedang berhalusinasi. Oh iya kenalin nama aku sherlin, kamu?"


"A-alana."


Aku pun  bincang-bincang dengan sherlin, ternyata dia sangat baik. Aku sangat senang berteman dengannya. Tanpa ku sadari Alvaro sudah pergi entah kemana.


1 Minggu berlalu. Dan kini aku sudah di katakan bersih dari penyakit kankerku. Ya, aku sudah berhasil melawan penyakit kanker itu. Dengan excited aku mengajak Alvaro bertemu di salah satu danau dekat rumah sakit.


*Di danau


"Alvaro!! Kamu tau ga? Ana udah berhasil melawan penyakit kanker ana, ana udah sembuh!!!"

Ujarku dengan begitu excited. Namun, tidak denganya.


"Kenapa kamu kayak ga seneng ana sembuh? Kamu ga mau ana sembuh yah?"


"Bukan seperti itu ana, aku bahagia kamu sembuh, aku bahagia banget. Mungkin tugasku sudah selesai sampai di sini. Dan mungkin, ini saatnya aku mengatakan yang sebenarnya."


"M-mengatakan apa? Tugas apa?"


"Aku dengan kamu berbeda ana, kemungkinan kita untuk bersama itu sangat lah mustahil. Dunia kita berbeda ana. A-aku bukan manusia."


Deg


Bak di sambar petir hati ini sakit sekali, seperti di tusuk ribuan kaca.


"G-ga, ga mungkin!! Kamu bohong kan? JAWAB AKU ALVARO, JAWAB!!"


"Tolong, tolong terima semua kenyataan ini, kamu ingatkan kejadian satu Minggu lalu di taman belakang rumah sakit? Ya, sherlin ga bisa liat aku, karna kenyataan aku bukan manusia. Maafkan aku ana, tugasku menjagamu sudah selesai sampai di sini. Sampai jumpa kembali di kehidupan yang akan datang."

Ungkap nya sambil melambaikan tangannya, tubuhnya hilang bagaikan sebuah angin.


"Terimakasih, terima kasih karna sudah memberikan kebahagiaan ini. Dengan mu aku belajar cara menjalani kehidupan yang begitu kelam ini, dan dengan mu juga aku belajar cara mencintai. Namun, kamu lupa mengajarkan aku bagaimana cara melupakan mu. Cinta ini abadi untuk mu Alvaro, meski kamu dan aku tak mungkin bersama."

Bunga yang Cantik

Bunga yang Cantik 

Karya : Muslimah
Kelas  : 9D

Ele adalah seorang gadis cantik yang mengagumi pemuda pemilik toko bunga di seberang toko kue miliknya, setiap hari ia membeli bunga disana.

Hari ini Ele membuka toko kue nya sedikit lebih pagi karena ingin melihat pemuda yang ia kagumi. Sudah setengah jam ia melirik toko bunga di seberang sana sampai akhirnya pintu toko bunga itu terbuka, "Hi!" Ele melambaikan tangan nya kepada pemuda itu, pemuda itu membalas lambaian tangan Ele dengan senyuman, "Ele apa hari ini kamu akan membeli bunga lagi?" pemuda itu bertanya sambil menatap ke seberang dimana Ele berada, "Ah! e-e iyaa, aku akan membeli bunga milikmu lagi hari ini, karena toko ku juga membutuhkan bunga" dengan gugup ia menjawab pertanyaan pemuda itu, hatinya berdegup kencang seolah ia akan terbang dan tidak akan menginjakkan kaki di tanah lagi.

Pemuda itu mengantarkan bunga matahari yang Ele pesan. "Ini, semoga kau suka Ele" pemuda itu tersenyum lalu kembali ke toko miliknya, Ele hanya mengangguk, ia bergegas masuk kedalam "Apa-apaan tadii, dia sangat manis, aku harap dia jadi milikku".

Matahari sudah di atas kepala, sekarang waktunya makan siang. Ele duduk di depan tokonya sambil menatap pemuda itu, tak berselang lama seorang gadis menghampirinya lalu memberikan bekal makan siang untuk pemuda itu. "Eh.... apa itu adiknya?" Ele bertanya kepada dirinya sendiri, saat gadis itu pergi Ele bertanya kepada pemuda itu "Orang itu siapa? nampaknya kalian sangat akrab" Ele bertanya sambil menatap kepergian gadis yang memberikan bekal tadi, "Dia kekasihku, bulan depan kami akan menikah, oh iya aku hampir lupa, ini undangan untuk mu Ele" pemuda itu memberikan undangan pernikahan kepada Ele, Ele menerima nya sambil tersenyum kemudian ia pamit untuk kembali ke toko miliknya.

"Aku... hahaha kenapa aku harus menyukai mu?" Ele terdiam sesaat kemudian ia kembali bekerja. Matahari tak lagi terlihat, Ele berlarian dalam derasnya hujan, ia berteriak sangat keras "Hahahahaha.... ternyata aku hanya bisa mengagumi tanpa harus memiliki". Tanpa Ele sadari pemuda yang ia sukai itu menatap nya dari kejauhan, "Maafkan aku Ele, aku sudah tahu kamu menyukai ku dan aku juga menyukai mu tapi maaf aku tidak mengungkapkan perasaan ku, aku harap kamu bahagia". Sejak saat itu Ele tak pernah membeli bunga, ia bahkan tidak pernah menyapa pemuda itu kecuali dirinya yang disapa.

Dongéng Kompor

 

Dongéng Kompor

Karya: Muhammad Farid Rubiansyah

Kelas: 8E



             Geus aya kana samingguna, kompor di imah mang Andi teu daékeun hurung. Eta kompor téh geus di parios ku mang Andi, tapi teu katawis naon masalahna, tuluy éta kompor téh dibawa ka tukang sérvis. Ceuk si tukangna mah aya spare part anu ruksak jeroeun komporna, namung da ari hoyong dibenerkeun mah spare partna moal bisa poé éta alatan di tempat sérvisna keur kosong spare part mah.

                Tungtungna mah lieur. Ari mang Andi karunya ka barudak teu bisa deui ngasaan pasakan pamajikanna, ari pamajikanna geus sabaraha poé ieu ukur bisa meulian deungeun sangu ti batur. Ari bahan asakan di kulkas tetep baé ngajugrug, antukna jadi parab jarian. Ari meulian waé deungeun sangu ti batur, atuh duit téh bisa tekor, dompet jeung saku bisa jadi logor.

                “Meuli nu anyar atuh komper téh. Ieu geus ateul lengeun teu bisa pak-pik-pek di dapur. Da ari nungguan ti tukang sérvis mah teuing iraha boa nyalséna gé.” Ceuk pamajikan mang Andi semu kukulutus.

                “Montong ayeuna, neng. Can gajian ti dituna. Sabenerna mah bisa dicandak heula gajina ayeuna. Ngan nya engké, bulan hareup moal bisa gajian,” témbal mang Andi.

                “Tingali nyi, meni watir si bapa teu bisa meuli kompor anyar,” ceuk budak cikal mang Andi bari ngaharéwos ka adina.

                “Terus kudu kumaha atuh?” Adina nu bungsu nanya.

                “Ké isuk urang téangan nu béréhan. Sugan wé aya nu daékeun béréhan kompor mah,” ceuk si cikal tuluy nyikikik.

***

                Isuk rebun kénéh, mang Andi kaciri jiga nu bingung, mondar-mandir teu jelas di hareupeun téras. Biasana mah wayah kitu mang Andi téh sok nginum kopi. Tapi alatan kompor jang ninyuh caina ngadat, antukna mah ukur bisa kikituan wéh ayeuna mah.

                Moal bener ari kieu waé mah caritana. Baé ah kompor mah, paduli rék ngiridit ogé, asal dapur masih bisa ngebul,” gerentes haténa mang Andi, tuluy gék diuk dina korsi. Regot cai téko, asa cai kulkas karasana.

                Haneut moyan, pamajikan mang Andi geus réngsé dadasar warung rék ngajajakeun sayuran, bungbuahan, samara dapur. Kabéh sayur di kulkas dibijilkeun, da sieun kaburu buruk alatan teu bisa dipasak gara-gara kompor ngadat.

                “Néng, Aa bade kaluar heula sakedap rék milari artos injeumeun méh bisa ngiridit kompor.” Mang andi kaciri geus teu sabar hayang geura-geura boga kompor anyar.

                “Nya, A. sumanget milarianna nya. Ngarah engké bisa ngebul deui dapurna, nya!” Pamajikan mang Andi méré motivasi. Mang Andi nu rada éraeun kikiclikan ngingkig semu nu lumpat ti téras imah.

                Teu lila, dua budakna mang Andi kaluar ti tepas imah. Pok bebéja ka indungna rék ulin jeung babaturanna. Heug di izinan. Teu lila jul-jol ibu-ibu pada daratang ngalarisan dagangan pamajikan mang Andi. Ari keur pak-pik-pek ngaladangan nu malésér, jol aya mobil box ditémpélan spanduk “Modeuna.”

                “Jadi kieu kang. Abi téh aya peryogi kadieu rék ngiridit kompor gas, baé lah kompor gas tilas nu murahan gé. Tuman pamajikan kawas nu ngidam budak katilu waé. Teu kaopan sapoé dapur teu ngebul téh. Kukulutus, ngocoblak waé di warung jeung paguyuban ibu-ibu bonnan.” Mang Andi pok nyarita ka kang Acep, tukang parabot di lemburna.

                Kang Acep nyakakak seuri tuluy pok ngomong. “Heug baé rék ngiridit kompor mah, ieu aya mérek ‘Reuneuh’. Kuduna mah, ieu téh ngiriditna 700.000, tapi baé lah harga dulur mah jadi 500.000. bisa lah dicicll tilu bulaneun. Kumaha, rék moal?”

                “Widih, alus euy. Sok atuh, yeuh urang mawa duit dp-na 100.000. Mana atuh komporna, rék dibawa ayeuna yeuh.” Mang Andi kaciri bungah pisan. Asa kokoro manggih mulud, puasa manggih lebaran. Geus kitu mah tenang lah, moal deui ngadéngé pamajikanna ngocoblak nitah meuli kompor. Mang Andi cengkat tina korsi bari seuri bangun nu bungah pisan.

***

                “Héy, naha manéh jiga nu leuleus kitu. Can sasarap sugan?” Ceuk baladana budak mang Andi basa maranéhanana keur arulin di lapang désa.

                ”Puguh wé da kompor ngadat di imah. Heueuh sih bisa kénéh dahar sangu mah, tapi kan ari deungeunna euweuh, asa teu niat rék sasarap gé, tungtungna mah henteu wé sasarap téh.” Témbal si budak cikal bari leuleus.

                “Karunya pisan, makaning geus aya samingguan leuwih euweuh kompor téh. Yu atuh udunan keur meulikeun kompor, kan duit Tabungan maranéh téh geus aya 500 leuwih mah, urang beulikeun kompor tilas wé.” Ceuk baladna nu lian mani sapokna.

                “Sabenerna mah lebar sih duit sakitu lobana jang udunan meuli kompor hungkul téh. Tapi, demi geus lila ngabalad, nya pék lah, paké wé.”

                “Tah urang gé milu udunan.” Salambar-salambar duit di golerkeun dina golodog saung di lapang désa ti balad-baladna budak mang Andi.

                Duit sapuluh, dua puluh, lima puluh, aya kana sabaraha lembarna diasupkeun kana kélér tilas kueh kakarén jang udunan meuli kompor tilas. Budak nu cikal ukur bisa nyengir ningali duit meni numpuk na jeroeun kéler. Ari geus pinuh mah kélerna, der ngider néangan tukang parabot di lembur éta. Balad-balad na mah ukur bisa nepok tarang wé jeung ngelus dada.

***

                “Alhamdulillah, ayeuna mah geus teu kudu lieur deui mikiran bahan asakan di dapur, da gening teu di téang ogé, komporna sorangan anu ngadatangan léwat kiridit mobil boks nu démo tadi. Ngan nya watir wé kétang si Aa bisi can mendakan duit injeumeun. Baé wé lah, ké béjaan lamun geus balik.” Ceuk pamajikan mang Andi bari ngusapan kardus eusi kompor kiridit mérek “Modeuna”.

                Teu lila, mang Andi datang bari nyumputkeun lengeun tukangeun tonggong da rék méré “surprise” kompor “Reuneuh” nu butut tilas ngiridit ti kang Acep tadi.

                “Tah, ieu kompor kahayang enéng téh! Baé nya tilas gé, nu penting mah ni’mat di pakéna, ngebul dapurna.” Mang Andi meni néngtéréléwéng boboléh ka pamajikanna bangun bungah pisan.

                “Alah, A. Naha komporna jadi aya dua kieu. Kumaha engké ngurusna, jaba éta kompor sarua meunang ngiridit nya,” pamajikan mang Andi reuwaseun bari nepok tarang lantaran komporna jadi aya dua. Mang Andi kalah jadi saruana, bingung bari gégétrét sirah najan teu ateul.

                Keur kaayaan lalieur kitu téh. Torojol budak dua, si cikal jeung si bungsu nyunyuhun kardus panjang bari aya mérek “Kualum” ngadeukeutan buruan imah. Kaciri ku mang Andi, atuh saharita kénéh cur késang tiis. Keur mah pamajikanna kawas nu jantungeun waé, matak pikahariwangeun, kaciri aya berenyit dua jiga nu rek nambah pikahariwangeun. Haté mang Andi dag-dig-dug teu karuan saprak ningali budakna nu dua méré “surprise”.

                “Surprise!!! Tingali ieu aya naon mah. Aya kompor anyar, jadi engké mamah teu kedah lieur deui mikiran di dapur kudu kumaha, tos aya kompor da dipangmeserkeun ku rerencangan!” Ceuk si bungsu mani sumanget pisan méré surprise ka mamahna.

                Nyat usik, kaciri kardus kompor numpuk tilu rupa mérek “Modeuna”, “Reuneuh”, jeung “Kualum” aya sahareupeun. Na atuh pamajikan mang Andi kalah ngajéréwét bari nyenyekel buuk. “Euleuh-euleuh, ieung. Naha jadi kieu caritana!”

                Reg aya motor eureun hareupeun buruan imah mang Andi. Kaciri aya kurir mawa kardus ditulisan “Tusbol”. Éta pamajikan mang Andi kawas nu rék ngajéréwét deui tapi ayeuna mah napasna kapotong-potong.

                “Leres ieu bumina mang Andi?” ceuk si kurir téh.

                “M…muhun kang. A…aya peryogi naon?” témbal mang Andi bari terus gék diuk dina korsi téras semu ngabigeu. Barudakna ukur bisa olohok.

                “Oh. Ieu kompor téa pesenan di sérvis, numawi parantos réngsé dilereskeunna. Janten ieu total nyervis kompor téh 350.000.” Ceuk si kurir bari seseurian hareupen pamajikan mang Andi.

                “Alah gustii! Ieuung! tobaat! Ari kieu mah caritana, dapur téh geus lain ngebul deui, bisa-bisa kahuruan unggal poé ogé ieu mah atuuuh!” Lep, pamajikan mang Andi ujug-ujug ngagubrag tina korsi tuluy ngajoprak na téhel téras. Puguh, mang Andi, barudakna, jeung si kurir saroak kabéh.

                Keur kaayaan kitu téh, mang Andi ngadeukeutan pamajikanna da di gupayan. Tuluy pamajikanna hos ngaharéwos. “A. kompor nu ‘Reuneuh’  balikkeun deui wé ka kang Acep, pénta deui duitna. Anu ‘Kualum’ bawa ka lembur séjén, tuluy jual ka tukang parabot saharga tilu parapateun harga awal. Ké nu ‘Modeuna’ ieu mah, urang ruksak heula. Untung aya garansi genep bulan, sugan wé bisa dipaké, ké ditukeur ku duit.”

                Mang Andi mah ukur bisa nyengir bari nyipitkeun socana. Rencana anu geus alus diatur keur pamajikanna ujug-ujug jadi bencana. Bari cengkat nangtung, mang Andi ngomong ka si kurir bari api-api nyakuan pésakna. “Punten nya, A. pami tiasa mah abdi bade ngabon heula nya. Kaleresan ieu nuju teu gaduh artosna. Punten pisan nya, A.” Kurir na mah ukur bisa seuri wé, éta ogé bari rada ngemu kakesel da ngarasa geus diheureuykeun.

***