Mading Digital

NESAMA
  • Sarana dan Prasarana

    Sarana dan Prasarana SMPN 1 Malangbong

  • Home

    Mading Digital SMPN 1 Malangbong

  • Informasi

    Info Grafis SMPN 1 Malangbong

  • Informasi

    Program Unggulan SMPN 1 Malangbong

RAMADAN PERTAMA TANPA ABI

 RAMADAN PERTAMA TANPA ABI

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Kelas: 9K

Desember kelabu menyelimuti Jakarta. Hujan deras mengguyur kota, seolah ikut merasakan duka tiga bersaudara itu. Abu, Ari, dan Zaky duduk berdekatan di ruang keluarga, mata mereka terpaku pada foto Abi yang tersenyum hangat. Tepat di malam pergantian tahun, 31 Desember 2024, Abi mereka berpulang untuk selamanya.

"Ini Ramadan pertama tanpa Abi," bisik Abu, si sulung, suaranya tercekat. Ari, anak tengah, hanya mengangguk pelan, sementara Zaky, si bungsu, menunduk dalam, air matanya menetes tanpa bisa ditahan.

Kepergian Abi meninggalkan luka yang menganga, terutama bagi Zaky yang masih duduk di bangku SMP. Abi adalah pahlawan bagi mereka, sosok yang selalu ada di setiap langkah, memberikan semangat dan perlindungan. Kini, semua itu tinggal kenangan yang menyakitkan.

"Ingat, Umi selalu bilang, kita harus kuat," ucap Ari, berusaha tegar. Ia teringat pesan Umi yang telah lebih dulu berpulang enam tahun lalu. "Kita harus saling menjaga, seperti Abi dan Umi menjaga kita."

Ramadan kali ini terasa sangat berbeda. Tak ada lagi suara Abi yang membangunkan mereka untuk sahur, tak ada lagi canda tawa saat berbuka. Biasanya, Abi selalu mengajak mereka salat tarawih berjamaah di masjid dekat rumah. Kini, semua itu hanya bayangan yang berputar di kepala mereka.

"Kita harus tetap menjalankan Ramadan dengan sebaik-baiknya," kata Abu, berusaha menyemangati adik-adiknya. "Ini pasti berat, tapi kita tidak sendiri. Allah selalu bersama kita."

Malam pertama Ramadan, mereka bertiga salat tarawih di masjid. Suasana masjid yang ramai biasanya terasa menyenangkan, kini terasa sunyi dan hampa. Mereka merindukan kehadiran Abi di samping mereka, merindukan senyum teduh dan nasihat bijaknya.

Usai salat, mereka berziarah ke makam Abi dan Umi. Di sana, mereka berdoa, memohon ampunan dan rahmat bagi kedua orang tua mereka. Zaky tak kuasa menahan tangis, ia merindukan pelukan hangat Umi, senyum teduh Abi.

"Abi, Umi, kami merindukan kalian," bisiknya di antara isak tangis.

Sepanjang Ramadan, mereka berusaha mengisi hari-hari dengan kegiatan positif. Mereka membantu tetangga yang membutuhkan, berbagi takjil di masjid, dan membaca Al-Qur'an bersama. Mereka ingin membuat Abi dan Umi bangga di sana.

Di malam Lailatul Qadar, mereka bertiga bermunajat di kamar, memohon ampunan dan petunjuk dari Allah. Mereka berjanji akan menjaga amanah Abi dan Umi, untuk selalu rukun dan saling menyayangi.

Hari raya Idulfitri tiba. Mereka bertiga mengenakan baju baru, pemberian dari kerabat. Mereka saling bermaaf-maafan, berusaha memaafkan segala kesalahan.

"Ini Idulfitri pertama tanpa Abi," kata Abu, matanya berkaca-kaca. "Tapi kita harus tetap bersyukur, karena kita masih memiliki satu sama lain."

Mereka bertiga berziarah ke makam Abi dan Umi, lalu berkumpul bersama keluarga besar. Meski tanpa kehadiran orang tua, mereka tetap merasakan kehangatan dan kasih sayang dari keluarga.

Ramadan kali ini mengajarkan mereka tentang arti kehilangan, kesabaran, dan ketegaran. Mereka belajar bahwa hidup terus berjalan, dan mereka harus tetap kuat menghadapinya.

"Abi dan Umi selalu ada di hati kita," kata Aru, menatap kedua adiknya. "Kita akan selalu menjaga kenangan indah bersama mereka."

Mereka bertiga berpelukan, saling menguatkan. Mereka tahu, meski tanpa Abi dan Umi, mereka tidak sendiri. Mereka memiliki satu sama lain, dan mereka memiliki Allah yang selalu menyayangi mereka.

Enam tahun berlalu sejak kepergian Umi, dan kini Abi menyusulnya. Meski waktu telah berlalu, rindu mereka tak pernah padam. Kenangan tentang Umi dan Abi selalu hadir dalam setiap langkah mereka.

Abu, Ari, dan Zaky telah tumbuh menjadi pemuda yang mandiri dan bertanggung jawab. Mereka berusaha mewujudkan impian Abi dan Umi, untuk menjadi anak-anak yang saleh dan sukses.

Setiap Ramadan, mereka selalu mengenang kebersamaan mereka bersama Abi dan Umi. Mereka ingat bagaimana Umi selalu menyiapkan hidangan sahur dan berbuka yang lezat, bagaimana Abi selalu mengajak mereka salat tarawih berjamaah, dan bagaimana mereka selalu berkumpul bersama keluarga besar di hari raya Idulfitri.

"Umi selalu mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dan berbagi," kata Abu, mengenang Umi.

"Abi selalu mengajarkan kita untuk selalu jujur dan bertanggung jawab," timpal Ari, mengenang Abi.

"Aku merindukan pelukan hangat Umi dan nasihat bijak Abi," kata Zaky, matanya berkaca-kaca.

Meski rindu, mereka tidak larut dalam kesedihan. Mereka berusaha mengisi hari-hari mereka dengan kegiatan positif, seperti yang diajarkan Abi dan Umi. Mereka aktif dalam kegiatan sosial, membantu sesama yang membutuhkan, dan menjaga silaturahmi dengan keluarga dan teman-teman.

Setiap malam, mereka selalu berdoa untuk Abi dan Umi, memohon ampunan dan rahmat bagi mereka. Mereka yakin, Abi dan Umi selalu mengawasi mereka dari sana, dan mereka ingin membuat Abi dan Umi bangga.

Ramadan kali ini, mereka bertekad untuk menjalankan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya. Mereka ingin merasakan keberkahan Ramadan, seperti yang selalu diajarkan Abi dan Umi.

"Kita harus menjaga amanah Abi dan Umi," kata Abu, menyemangati adik-adiknya. "Kita harus menjadi anak-anak yang saleh dan sukses, seperti yang mereka harapkan."

Ari dan Zaky mengangguk setuju. Mereka berjanji akan selalu menjaga amanah Abi dan Umi, dan mereka akan selalu menyayangi satu sama lain.

"Kita akan selalu bersama, seperti Abi dan Umi selalu bersama," kata Zaky, tersenyum.

Mereka bertiga berpelukan, saling menguatkan. Mereka tahu, meski tanpa Abi dan Umi, mereka tidak sendiri. Mereka memiliki satu sama lain, dan mereka memiliki Allah yang selalu menyayangi mereka.

RINDU YANG BERTEMU TINJU

 RINDU YANG BERTEMU TINJU

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Kelas: 9K

Fadhil menatap nanar foto kakaknya, Faiz, yang terpajang di dinding kamar. Senyum Faiz di foto itu terlihat hangat dan bersahabat, sangat berbeda dengan wajahnya yang sering kali masam saat mereka bertengkar. Sudah tiga bulan Faiz di pesantren, dan Fadhil merasa rumah mereka terlalu sepi.

"Kak Faiz, kapan pulang?" gumam Fadhil sambil mengusap debu di bingkai foto. Ia merindukan Faiz, meskipun setiap kali kakaknya pulang, mereka selalu bertengkar.

Fadhil ingat, Faiz selalu mengganggunya. Menyembunyikan buku pelajaran, menarik selimut saat tidur, atau mengolok-oloknya di depan teman-teman. Tapi, di balik itu, Faiz selalu melindunginya dari anak-anak nakal di lingkungan rumah. Faiz juga yang mengajarinya bermain sepak bola, meskipun seringkali berakhir dengan Fadhil yang menangis karena kalah.

"Mungkin kalau Kak Faiz pulang, kita bisa main sepak bola lagi," pikir Fadhil. Ia membayangkan mereka berdua tertawa bersama di lapangan, tanpa pertengkaran.

Suatu sore, Ibu memberi kabar bahwa Faiz akan pulang akhir pekan ini. Fadhil melonjak kegirangan. Ia langsung membersihkan kamar mereka, menata buku-buku, dan menyusun mainan. Ia ingin kamar itu terlihat rapi dan nyaman saat Faiz pulang.

Hari kepulangan Faiz tiba. Fadhil menunggu di depan pintu dengan hati berdebar. Ketika mobil yang membawa Faiz tiba, Fadhil langsung berlari dan memeluk kakaknya erat-erat.

"Kak Faiz, aku kangen banget!" seru Fadhil.

Faiz tersenyum dan membalas pelukan adiknya. "Kakak juga kangen sama kamu, Fadhil."

Mereka masuk ke rumah bersama, dan suasana langsung berubah menjadi ramai. Fadhil menceritakan semua hal yang terjadi selama Faiz pergi, dari nilai ulangan yang bagus hingga pertandingan sepak bola yang dimenangkannya. Faiz mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menyelipkan lelucon yang membuat mereka berdua tertawa.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Saat mereka sedang bermain video game, terjadi perbedaan pendapat tentang strategi permainan. Faiz menyalahkan Fadhil yang dianggapnya tidak becus, dan Fadhil membela diri.

"Kakak juga salah! Kenapa malah nyalahin aku?" bentak Fadhil.

"Kamu yang salah, Fadhil! Gak bisa main game aja belagu!" balas Faiz.

Pertengkaran pun pecah. Mereka saling dorong dan pukul, seperti yang sering mereka lakukan dulu. Ibu datang dan melerai mereka, lalu menyuruh mereka masuk ke kamar masing-masing.

Fadhil duduk di tempat tidur dengan perasaan kesal dan sedih. Ia merindukan Faiz, tapi kenapa setiap kali mereka bertemu, mereka selalu bertengkar?

Malam harinya, Fadhil tidak bisa tidur. Ia memikirkan Faiz, kakaknya yang selalu membuatnya kesal tapi juga selalu melindunginya. Ia ingat saat Faiz membelanya dari anak-anak nakal, saat Faiz mengajarinya naik sepeda, dan saat Faiz membelikannya es krim favoritnya.

Fadhil merasa bersalah. Ia tahu bahwa ia juga sering memancing pertengkaran dengan Faiz. Ia selalu ingin menang sendiri dan tidak mau mengalah.

Fadhil memutuskan untuk meminta maaf kepada Faiz. Ia keluar dari kamar dan mengetuk pintu kamar kakaknya.

"Kak Faiz, boleh aku masuk?" tanya Fadhil.

Faiz membuka pintu dan mempersilakan adiknya masuk. Mereka duduk di tempat tidur, saling berhadapan.

"Kak, maafin aku ya," kata Fadhil. "Aku tahu aku sering bikin Kakak kesal."

Faiz tersenyum dan mengangguk. "Kakak juga minta maaf, Fadhil. Kakak juga sering kelewatan."

Mereka berdua terdiam sejenak, lalu Fadhil berkata, "Kak, besok kita main sepak bola ya?"

"Boleh," jawab Faiz. "Tapi jangan nangis kalau kalah ya."

Fadhil tertawa dan memukul lengan kakaknya pelan. "Siapa takut!"

Mereka berdua tertawa bersama, dan Fadhil merasa lega. Ia tahu bahwa meskipun mereka sering bertengkar, Faiz tetaplah kakaknya yang ia sayangi.

Keesokan harinya, mereka bermain sepak bola di lapangan seperti yang mereka janjikan. Mereka tertawa, bercanda, dan saling menggoda. Tidak ada pertengkaran, hanya kebahagiaan.

Fadhil menyadari bahwa ia tidak perlu memilih antara merindukan Faiz dan bertengkar dengannya. Ia bisa merindukan Faiz dan tetap bertengkar dengannya, karena itulah dinamika persaudaraan mereka. Dan di balik semua pertengkaran itu, ada kasih sayang yang tulus dari seorang kakak kepada adiknya.

Mimpi yang terkubur

 Mimpi yang terkubur



Karya: Dhia Silmi Atiyah
Kelas: 8E


sudah lama aku bermimpi menjadi seseorang yang berprestasi. Aku memiliki banyak cita-cita yang tinggi, harapan yang besar, dan tekad yang kuat. Segala usaha telah kulakukan demi menggapai mimpi itu.

 Aku sering membayangkan betapa indahnya jika namaku disebut karena sebuah prestasi, bagaimana rasanya berdiri dengan bangga atas pencapaianku sendiri.


Namun, kenyataan berkata lain. Setiap hari, aku hanya bisa membayangkan semua itu tanpa benar-benar meraihnya. Tugasku lebih banyak di rumah, membantu orang tuaku. Terkadang, ketika teman-temanku berbicara tentang keluarga mereka, aku merasa iri. Aku ingin merasakan apa yang mereka rasakan, tetapi aku juga berusaha tetap bersyukur atas apa yang kumiliki.


Bukan berarti aku tidak bersyukur, tetapi mengapa takdirku seperti ini? aku tidak menyalahkan siapa pun, apalagi ayah dan ibuku. Justru, aku menyalahkan diriku sendiri. Mengapa aku tidak bisa menjadi seperti mereka? mengapa mimpiku terasa begitu jauh?.


Setiap pagi, aku mendengar tangisan orang tuaku. Mereka meratapi keadaan ekonomi yang sulit, tetapi tetap berusaha sekuat tenaga demi masa depanku. Aku tahu mereka selalu ingin memberikan yang terbaik untukku, meskipun aku tak pernah meminta mereka untuk mengorbankan segalanya.


Hal yang paling aku sesali adalah aku belum bisa membalas semua pengorbanan mereka. Mereka telah berusaha sebaik mungkin untukku, tetapi aku belum mampu menjadi yang terbaik untuk mereka.

PELUKAN TERAKHIR NENEK

 PELUKAN TERAKHIR NENEK

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Kelas: 9K

Senja itu, langit desa yang biasanya cerah, berubah menjadi kelabu. Awan-awan tebal menggantung, seolah ikut merasakan kesedihan yang menyelimuti rumah kecil di ujung desa. Di dalam rumah itu, Rahma, seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun, duduk di sisi ranjang neneknya.

Nenek, yang selalu menjadi pelita dalam hidup Rahma, kini terbaring lemah. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal, namun matanya yang teduh masih menatap Rahma dengan penuh cinta. Rahma menggenggam erat tangan keriput nenek, berharap kehangatan itu akan menular dan mengembalikan kekuatan nenek.

"Nenek, jangan pergi," bisik Rahma, air matanya menetes membasahi pipi. Ia tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya. Orang tuanya, yang sibuk dengan pekerjaan di kota, jarang mengunjunginya. Neneklah yang selalu ada, merawat, mendidik, dan mencintainya tanpa syarat.

Nenek tersenyum tipis, berusaha mengangkat tangannya untuk mengusap pipi cucu kesayangannya. "Rahma, cucu nenek yang kuat," ucapnya dengan suara serak. "Jangan sedih, nenek akan selalu ada di hatimu."

Rahma terisak, menggenggam erat tangan nenek. Ia ingat semua kenangan indah bersama nenek. Saat mereka menanam bunga di halaman belakang, saat nenek mengajarinya memasak kue cucur, saat nenek mendongeng sebelum tidur, dan saat nenek memeluknya erat saat ia menangis.

Nenek adalah segalanya bagi Rahma. Nenek adalah ibu, ayah, sahabat, dan tempatnya berlindung. Nenek selalu ada untuknya, mendengarkan keluh kesahnya, menghiburnya saat sedih, dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. "Nenek, Rahma sayang sekali sama nenek," ucap Rahma, air matanya semakin deras.

Nenek tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Nenek juga sayang Rahma. Sangat sayang. "Nenek menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Rahma, mendekatlah."

Rahma mendekatkan wajahnya ke wajah nenek. Nenek memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskannya. Pelukan itu hangat, meskipun tubuh nenek terasa sangat lemah. Rahma membalas pelukan nenek, merasakan setiap detik kebersamaan mereka.

"Ingat semua yang nenek ajarkan, ya, Nak," bisik nenek di telinga Rahma. "Jadilah anak yang baik, jujur, dan penyayang. Jangan pernah menyerah, apapun yang terjadi."

Rahma mengangguk, memeluk neneknya lebih erat. Ia ingin menyimpan pelukan itu selamanya, pelukan yang penuh cinta dan kehangatan.

Pelukan itu berlangsung lama, seolah waktu berhenti berputar. Kemudian, nenek melepaskan pelukannya, menatap Rahma dengan senyum terakhirnya."Nenek sayang Rahma," bisiknya, lalu matanya terpejam.

Rahma menatap wajah nenek yang damai. Ia tahu, nenek telah pergi untuk selamanya. Namun, ia juga tahu, cinta nenek akan selalu bersamanya, dalam setiap langkah hidupnya.

Malam itu, Rahma tidur dengan hati yang hancur. Namun, ia memeluk erat selimut yang beraroma nenek, dan ia merasa seolah nenek masih memeluknya erat.

Keesokan harinya, Rahma bangun dengan mata sembab. Ia menatap ke luar jendela, melihat matahari terbit dengan indahnya. Ia teringat kata-kata nenek, "Jangan pernah menyerah, apapun yang terjadi."

Rahma tersenyum tipis, air matanya menetes lagi. Ia tahu, hidup tanpa nenek tidak akan mudah. Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi anak yang kuat dan mandiri, seperti yang diinginkan neneknya.

Rahma tahu, pelukan terakhir nenek adalah pelukan yang akan selalu ia kenang. Pelukan itu adalah simbol cinta abadi, yang akan selalu menghangatkan hatinya, meskipun nenek telah tiada. Ia akan menjaga kenangan tentang nenek, dan ia akan berusaha menjadi anak yang baik dan berguna, seperti yang selalu diajarkan nenek.

PELUKAN TERAKHIR AYAH DAN MAMAH

 PELUKAN TERAKHIR AYAH DAN MAMAH

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Kelas; 9K

Fakhira, seorang gadis remaja berusia enam belas tahun, berdiri terpaku di depan pintu rumahnya. Hujan deras mengguyur kota, seolah ikut merasakan kesedihan yang meremukkan hatinya. Di dalam rumah itu, ayah dan mamahnya terbaring kaku, korban kecelakaan tragis yang terjadi beberapa jam lalu.

Air mata Fakhira mengalir deras, bercampur dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Ia tidak percaya, kedua orang yang paling dicintainya telah pergi untuk selamanya. Ayah, dengan senyum hangatnya, dan mamah, dengan pelukan lembutnya, kini hanya tinggal kenangan.

Fakhira melangkah masuk ke dalam rumah, kakinya terasa lemas. Ia berjalan menuju kamar ayah dan mamahnya, tempat jasad mereka disemayamkan. Wajah ayah dan mamahnya tampak damai, seolah mereka sedang tertidur lelap. Namun, Fakhira tahu, mereka tidak akan pernah bangun lagi.

Fakhira mendekati jasad ayah dan mamahnya, berlutut di samping mereka. Ia menggenggam tangan ayah dan mamahnya, merasakan dingin yang menusuk tulang. Ia teringat semua kenangan indah bersama mereka.

Ia ingat saat ayah mengajarinya naik sepeda, saat mamah membantunya mengerjakan tugas sekolah, saat mereka tertawa bersama menonton film komedi, dan saat mereka berpelukan erat sebelum tidur.

Ayah dan mamah adalah segalanya bagi Fakhira. Mereka adalah pelindung, pendukung, dan sahabat terbaiknya. Mereka selalu ada untuknya, memberikan cinta dan kasih sayang tanpa syarat. "Ayah, Mamah, Fakhira kangen," bisik Fakhira, suaranya bergetar. "Kenapa Ayah dan Mamah pergi secepat ini?"

Fakhira memeluk jasad ayah dan mamahnya, mencium pipi mereka yang dingin. Ia ingin merasakan kehangatan mereka sekali lagi, pelukan yang selalu membuatnya merasa aman dan nyaman.

Pelukan itu berlangsung lama, seolah Fakhira ingin menghentikan waktu. Ia ingin menyimpan pelukan itu selamanya, pelukan yang penuh cinta dan perpisahan.

Kemudian, Fakhira melepaskan pelukannya, menatap wajah ayah dan mamahnya dengan tatapan kosong. Ia tahu, ia harus melepaskan mereka, meskipun hatinya terasa hancur berkeping-keping.

Malam itu, Fakhira tidur di kamar ayah dan mamahnya, memeluk bantal yang beraroma mereka. Ia merasa seolah ayah dan mamahnya masih ada di sana, menjaganya dari mimpi buruk.

Keesokan harinya, Fakhira bangun dengan mata sembab. Ia menatap ke luar jendela, melihat matahari terbit dengan sinarnya yang redup. Ia teringat kata-kata ayah, "Jadilah anak yang kuat dan mandiri," dan kata-kata mamah, "Jangan pernah menyerah, apapun yang terjadi."

Fakhira tersenyum tipis, air matanya menetes lagi. Ia tahu, hidup tanpa ayah dan mamahnya tidak akan mudah. Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi anak yang kuat dan mandiri, seperti yang mereka inginkan.

Fakhira tahu, pelukan terakhir ayah dan mamahnya adalah pelukan yang akan selalu ia kenang. Pelukan itu adalah simbol cinta abadi, yang akan selalu menghangatkan hatinya, meskipun mereka telah tiada. Ia akan menjaga kenangan tentang ayah dan mamahnya, dan ia akan berusaha menjadi anak yang baik dan berguna, seperti yang selalu mereka ajarkan.