Mading Digital

NESAMA

RINDU YANG BERTEMU TINJU

 RINDU YANG BERTEMU TINJU

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Kelas: 9K

Fadhil menatap nanar foto kakaknya, Faiz, yang terpajang di dinding kamar. Senyum Faiz di foto itu terlihat hangat dan bersahabat, sangat berbeda dengan wajahnya yang sering kali masam saat mereka bertengkar. Sudah tiga bulan Faiz di pesantren, dan Fadhil merasa rumah mereka terlalu sepi.

"Kak Faiz, kapan pulang?" gumam Fadhil sambil mengusap debu di bingkai foto. Ia merindukan Faiz, meskipun setiap kali kakaknya pulang, mereka selalu bertengkar.

Fadhil ingat, Faiz selalu mengganggunya. Menyembunyikan buku pelajaran, menarik selimut saat tidur, atau mengolok-oloknya di depan teman-teman. Tapi, di balik itu, Faiz selalu melindunginya dari anak-anak nakal di lingkungan rumah. Faiz juga yang mengajarinya bermain sepak bola, meskipun seringkali berakhir dengan Fadhil yang menangis karena kalah.

"Mungkin kalau Kak Faiz pulang, kita bisa main sepak bola lagi," pikir Fadhil. Ia membayangkan mereka berdua tertawa bersama di lapangan, tanpa pertengkaran.

Suatu sore, Ibu memberi kabar bahwa Faiz akan pulang akhir pekan ini. Fadhil melonjak kegirangan. Ia langsung membersihkan kamar mereka, menata buku-buku, dan menyusun mainan. Ia ingin kamar itu terlihat rapi dan nyaman saat Faiz pulang.

Hari kepulangan Faiz tiba. Fadhil menunggu di depan pintu dengan hati berdebar. Ketika mobil yang membawa Faiz tiba, Fadhil langsung berlari dan memeluk kakaknya erat-erat.

"Kak Faiz, aku kangen banget!" seru Fadhil.

Faiz tersenyum dan membalas pelukan adiknya. "Kakak juga kangen sama kamu, Fadhil."

Mereka masuk ke rumah bersama, dan suasana langsung berubah menjadi ramai. Fadhil menceritakan semua hal yang terjadi selama Faiz pergi, dari nilai ulangan yang bagus hingga pertandingan sepak bola yang dimenangkannya. Faiz mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menyelipkan lelucon yang membuat mereka berdua tertawa.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Saat mereka sedang bermain video game, terjadi perbedaan pendapat tentang strategi permainan. Faiz menyalahkan Fadhil yang dianggapnya tidak becus, dan Fadhil membela diri.

"Kakak juga salah! Kenapa malah nyalahin aku?" bentak Fadhil.

"Kamu yang salah, Fadhil! Gak bisa main game aja belagu!" balas Faiz.

Pertengkaran pun pecah. Mereka saling dorong dan pukul, seperti yang sering mereka lakukan dulu. Ibu datang dan melerai mereka, lalu menyuruh mereka masuk ke kamar masing-masing.

Fadhil duduk di tempat tidur dengan perasaan kesal dan sedih. Ia merindukan Faiz, tapi kenapa setiap kali mereka bertemu, mereka selalu bertengkar?

Malam harinya, Fadhil tidak bisa tidur. Ia memikirkan Faiz, kakaknya yang selalu membuatnya kesal tapi juga selalu melindunginya. Ia ingat saat Faiz membelanya dari anak-anak nakal, saat Faiz mengajarinya naik sepeda, dan saat Faiz membelikannya es krim favoritnya.

Fadhil merasa bersalah. Ia tahu bahwa ia juga sering memancing pertengkaran dengan Faiz. Ia selalu ingin menang sendiri dan tidak mau mengalah.

Fadhil memutuskan untuk meminta maaf kepada Faiz. Ia keluar dari kamar dan mengetuk pintu kamar kakaknya.

"Kak Faiz, boleh aku masuk?" tanya Fadhil.

Faiz membuka pintu dan mempersilakan adiknya masuk. Mereka duduk di tempat tidur, saling berhadapan.

"Kak, maafin aku ya," kata Fadhil. "Aku tahu aku sering bikin Kakak kesal."

Faiz tersenyum dan mengangguk. "Kakak juga minta maaf, Fadhil. Kakak juga sering kelewatan."

Mereka berdua terdiam sejenak, lalu Fadhil berkata, "Kak, besok kita main sepak bola ya?"

"Boleh," jawab Faiz. "Tapi jangan nangis kalau kalah ya."

Fadhil tertawa dan memukul lengan kakaknya pelan. "Siapa takut!"

Mereka berdua tertawa bersama, dan Fadhil merasa lega. Ia tahu bahwa meskipun mereka sering bertengkar, Faiz tetaplah kakaknya yang ia sayangi.

Keesokan harinya, mereka bermain sepak bola di lapangan seperti yang mereka janjikan. Mereka tertawa, bercanda, dan saling menggoda. Tidak ada pertengkaran, hanya kebahagiaan.

Fadhil menyadari bahwa ia tidak perlu memilih antara merindukan Faiz dan bertengkar dengannya. Ia bisa merindukan Faiz dan tetap bertengkar dengannya, karena itulah dinamika persaudaraan mereka. Dan di balik semua pertengkaran itu, ada kasih sayang yang tulus dari seorang kakak kepada adiknya.

0 Komentar:

Posting Komentar