Mading Digital

NESAMA
  • Sarana dan Prasarana

    Sarana dan Prasarana SMPN 1 Malangbong

  • Home

    Mading Digital SMPN 1 Malangbong

  • Informasi

    Info Grafis SMPN 1 Malangbong

  • Informasi

    Program Unggulan SMPN 1 Malangbong

Rahasia Akhir Pekan Pak Andri

 

Rahasia Akhir Pekan Pak Andri



Karya : Muhammad Farid
Kelas : 9k

          Saat itu hari jumat, hari terakhir semua siswa belajar di minggu itu. Siang itu dalam kelas, sedang berlangsung jam pelajaran terakhir, dan gurunya kebetulan adalah pak Andri, wali kelas murid.  Salah seorang murid, Irfan dan beberapa temannya merasa sangat lelah. Ia berbisik pada teman sebangkunya, Aditya.

          “Aduh, capek sekali, mana hawanya gerah lagi.” Lirih Irfan.

          “Panas gini enaknya duduk dalam kulkas, ya.” Ujar Aditya sambil tersenyum.

          Pak Andri yang sedang menerangkan pelajaran kepada semua muridnya, tiba-tiba berhenti bicara saat mendengar bel pulang berbunyi. Semua murid serentak berdiri dan membereskan tas dan perlengkapan belajar mereka. Tidak terkecuali Irfan dan Aditya, keduanya yang paling siap untuk pulang.

          “Anak-anak, bapak punya pengumuman yang cukup menarik buat kalian.” Kata pak Andri seusai semua murid berdoa.

          “Bapak. Kami mau langsung pulang saja, sudah sangat capek ini.” Keluh seorang muridnya sambil berdiri.

          “Ya sudah kalau mau pulang. Bapak juga tidak memaksa,” jawab pak Andri sambil tersenyum.

          “Kalian mau dengar tidak pengumuman dari bapak. Kalau aku penasaran, jadi mau dengar aja.” Rama, teman Irfan yang lainnya berbisik.

          “Gak mau ah, sudah capek. Aku pulang duluan aja, kamu mau dengar ya silahkan,” keluh Irfan sambil mengangkat tasnya dan pergi meninggalkan ruang kelas. Ia tidak mau ambil pusing mendengarkan pengumuman wali kelasnya itu. Tinggal lah Rama dengan kebanyakan murid perempuan yang mendengarkan pengumuman pak Andri.

***

          Keesokan harinya di hari Sabtu. Pagi-pagi sekitar pukul 09.00, Aditya menerima telepon dari Irfan, ia mengajak Aditya untuk berjalan-jalan di taman dan membuat jadwal berpergian hari itu, tentu saja Aditya kegirangan.

          “Kita jalan-jalan di mall saja, hitung-hitung ngadem disana,” saran Aditya.

          “Oke, kita ke mall saja sekarang.”

          Sesampainya di mall, Irfan dan Aditya berkeliling melihat-lihat deret pertokoan yang berjejer, berkunjung ke beberapa stan, dan mencoba beberapa “sampel gratis”. Jalan-jalan di mall mungkin bisa sangat menyenangkan. Tapi hal itu mungkin bisa saja sangat melelahkan, mengingat deret toko di sana hampir seperti tiada batasnya. Selesai mengunjungi anjungan busana, orang-orang terutama wanita pasti mampir ke toko kosmetik, meskipun tanpa membeli produknya.

          Singkatnya, hari sudah siang. Jam utama di mall menunjukkan pukul 13.00. Irfan dan Aditya mulai merasa lapar dan capek, mereka memutuskan untuk mengunjungi kedai makan disana. Saat sedang memesan makanan kapada pelayan, mereka berdua melihat sesuatu yang tidak biasa.

          “Eh Dit, itu siapa yang duduk di meja sana, kok kayak kenal ya?” Irfan terlihat keheranan sambil menunjuk meja di satu titik pada Aditya.

          “Oh. Itu kan pak Andri sedang pesan makanan, memang kenapa?”

          “Iya dia pesan makanan. Tapi kenapa sikapnya aneh gitu sambil pegang koran, kayak dia gak mau dikenali orang-orang.”

          “Gak tahu tuh kenapa. Kita liatin aja, kayaknya menarik ini.” Irfan dan Aditya pun memperhatikan pak Andri dengan seksama

          Tidak lama kemudian, seorang pelayan mendatangi meja pak Andri, ia membawa beberapa jenis makanan dalam baki, kemudian meletakkannya di meja pak Andri. Pak Andri tersenyum dan berterima kasih pada pelayan itu. Namun, setelah pelayan itu pergi kembali ke tempatnya, pak Andri mulai menyadari kalau ada mengawasinya. Matanya disipitkan, pandangannya begitu tajam melirik ke sekitarnya, sebelum akhirnya terhunus di meja Irfan dan Aditya.

          Akhirnya pak Andri sadar kalau Irfan dan Aditya, dua orang muridnya itu selama ini memperhatikan gerak-geriknya yang mencurigakan. Di saat yang bersamaan, Irfan dan Aditya yang sudah kepergok mengawasi pak Andri langsung melambaikan tangannya. Tiba-tiba mereka berdua melihat keringat bercucuran dari muka pak Andri, tubuhnya sedikit bergetar. Irfan dan Aditya mulai semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan wali kelas mereka itu.

          Dengan sedikit ragu, Irfan memberanikan diri untuk mendekati pak Andri yang masih duduk di bangkunya untuk mengecek apakah semuanya baik-baik saja. Namun ternyata semuanya tidak baik-baik saja, sebelum Irfan berjalan ke arahnya, pak Andri sudah berlari sambil menyembunyikan ketakutan ke luar kedai, meninggalkan makanan yang baru saja tersaji. Irfan hanya bisa menebak-nebak apa sebenarnya yang dirahasiakan wali kelasnya itu.

          Setelah dicek di sekitar meja makannya, Irfan tidak menemukan kejanggalan apapun, kecuali dompet pak Andri ketinggalan di sekitar piring-piring berisikan makanan yang masih hangat.

          “Ya ampun, kasihan pak Andri.” Ujar Irfan sambil memegang dompetnya itu. “Aku harus mengembalikan ini dompet sama pak Andri.” Ia pun berbalik ke mejanya dan melihat Aditya hendak menyantap makanan yang baru saja dihidangkan pelayan. Lantas ia pun berlari ke arahnya, dan kemudian menarik bajunya.

          “Tapi sayang makanannya masih hangat, nanti mubazir loh,” keluh Aditya.

          “Sudah. Kalau makanan boleh kita urus nanti, ini kasihan dompet pak Andri ketinggalan di mejanya, kita susul saja dulu,” kata Irfan sambil menyelipkan uang ke salah satu piring.

          Irfan dan Aditya berlari mencari pak Andri yang misteriusnya itu langsung menghilang setelah keluar dari kedai. Mereka berdua menyusuri lorong mall yang terasa begitu panjangnya, namun nihil. Mereka pun sampai di aula utama yang cukup penuh dengan orang-orang yang ingin berbelanja, namun mereka dapat melihat dengan samar seseorang yang sedang berjalan terburu-buru ke arah kerumunan orang yang hendak masuk ke lift gedung.

          Saat kerumunan sudah masuk ke dalam lift, dan lift tersebut sudah tertutup, Irfan dan Aditya memutuskan untuk mengambil jalan pintas melalui tangga. Mereka berlari terbirit-birit mengejar lift yang cukup kencang itu. Beruntung bagi mereka, di lantai tiga, kerumunan yang berisikan pak Andri sudah keluar. Mereka segera menghampiri pak Andri, namun pak Andri sudah menyadari keberadaan mereka, ia pun segera berlari menyusur lorong di lantai itu.

          “Aduh. Kupikir pak Andri akan sangat menyusahkan kita… ternyata dia benar-benar menyusahkan kita.” Keluh Aditya sambil berlari mengejar pak Andri.

          Masuk lah pak Andri ke sebuah toko pakaian, disusul oleh Irfan dan Aditya. Mereka hampir menemukan pak Andri, namun sekarang mereka harus mencari lagi dia karena dia benar-benar ingin main susah ditebak.

          Setelah Irfan dan Aditya memeriksa beberapa tempat dalam toko, mereka pun pergi memeriksa ke satu titik yaitu lorong manekin. Hampir setiap setiap manekin memiliki pose yang unik, tidak terkecuali satu yang nampak sedikit bergetar. Aditya yang sudah menyadarinya kemudian berbisik.

          “Kenapa sembunyi pak. Kami tahu bapak mungkin tidak ahli dalam main petak umpet. Sekarang mengaku saja apa yang sedang bapak lakukan.”

          Namun setelah berkata demikian, pak Andri yang ketahuan tiba-tiba berlari dari tempatnya, meninggalkan mereka berdua di toko itu. Irfan dan Aditya yang sudah hampir menangkap basahnya harus berusaha lagi menemukannya agar bisa mengembalikan dompet miliknya.

          Masih di lorong yang sama, Irfan dan Aditya melihat kerumunan orang. Mereka melihat ada stan minuman yang cukup ramai pengunjungnya. Namun yang mereka perhatikan adalah adalah orang yang ada di samping stan itu, ia nampak cukup mencurigakan dengan pakaian dan gerak-geriknya, mereka mengira itu adalah pak Andri. Namun, setelah menghampiri sosok itu, ternyata itu bukan pak Andri. Irfan dan Aditya hanya bisa tersenyum dan kemudian meminta maaf.

          Mereka kembali ke lantai satu dan meilhat lagi seseorang yang duduk di bangku sambil memegang koran. Awalnya mereka tidak mau curiga, tapi setelah Aditya melihat orang yang memegang koran mengintip mereka, mereka berdua pun mendekatinya dengan pelan dan diam-diam. Namun sebelum hajat mereka tercapai, tiba-tiba mereka menyenggol orang lain sampai belanjaan yang dia bawa jatuh ke lantai.

          “Aduh kalian ini, kenapa berjalan seperti itu, ini kan jadi jatuh barang belanjaan saya. Sekarang tolong ambilkan lagi satu-satu,” bentak orang itu.

          “Baik. Akan kami ambilkan,” kata Irfan.

          Setelah membantu orang itu mengambil lagi belanjaannya, Irfan dan Aditya menyadari kalau kelakuan mereka sudah diketahui lagi oleh pak Andri, ia sudah melarikan diri lagi. Namun belum terlambat, mereka masih bisa melihat sosoknya berlari di lorong. Mereka berniat untuk tidak memberinya jalan lagi kali ini, mereka mengejarnya.

          Namun belum kesampaian niat mereka, Irfan sudah menyenggol lagi seseorang sampai membuatnya jatuh ketika berlari. Ternyata orang yang disenggol Irfan kebetulan adalah Rama. Setelah membantunya berdiri dan meminta maaf. Irfan pun menceritakan apa yang sedang terjadi antara mereka berdua dengan pak Andri.

          Rama pun tersenyum lalu berkata. “Oh, jadi begitu ceritanya. Kalau begitu ayo ikuti aku, kita cari lagi pak Andri.” Rama pun pergi, disusul oleh Irfan dan Aditya. Sekarang mereka benar-benar penasaran sebenarnya ada apa di balik rahasia akhir pekannya pak Andri.

          Di satu titik di lorong yang sama, Irfan, Aditya, dan Rama kembali melihat pak Andri sedang beristirahat sambil memesan satu es krim di sebuah kedai.

          “Selamat akhir pekan pak. Kegiatanmu sulit dimengerti, semoga harimu suram!.” Rama menepuk Pundak pak Andri sambil tertawa terbahak-bahak. Pak Andri berbalik dan menepuk jidatnya, ia ikut tertawa bersamanya. Ia melihat ternyata Rama adalah siswa yang menyelesaikan tantangan yang ia katakan kemarin.

          “Tunggu. Sebenarnya apa yang sedang terjadi ini?” Irfan menyela tertawaan pak Andri dan Rama.

          Pak Andri tersenyum lalu menjelaskan apa yang sedang terjadi. “Jadi begini. Hari jumat lalu, ketika semua murid sudah pergi, bapak menjelaskan pengumuman kalau siapapun yang dapat bertemu dengan bapak kemudian mengatakan seperti yang dikatakan Rama tadi, maka bapak akan membelikannya es krim. Dan sekarang, karena Rama sudah menyelesaikan tantangan itu, maka bapak akan mentraktir es krim untuknya.”

          “Jadi, bapak sebenarnya tidak mau bertemu kami karena kami tidak bisa menyelesaikan tantangan dari bapak,” keluh Irfan sambil memijit-mijit jidatnya.

          “tentu saja, kalian hanya bisa mengejar-ngejar bapak tanpa ada alasan yang jelas,” kata pak Andri setelah memesan es krim pada pelayan. Setelah es krim pesanannya jadi, pak Andri merogoh kantongnya. Sekarang baru terasa ada yang janggal bagi pak Andri, kemana gerangan dompetnya. Puas dirinya mengulik semua kantong pada pakaiannya, namun tidak kunjung ketemu juga, keringat mulai mengucur dan ia mulai gugup lagi.

          “Tenang saja pak, aku saja yang bayarkan.” Kata Aditya pede mengeluarkan dompet dari sakunya, dan merogoh uang di dalamnya.

          “Tunggu, itu kan dompet punya bapak, kenapa bisa ada di tangan kalian?” pak Andri kebingungan.

          “Tentu saja bisa ada di tangan kami kalau bapak ceroboh. Ingat ketika bapak tiba-tiba berlari keluar dari kedai makan tadi dan meninggalkan dompetnya.”

          “Ya ampun, kenapa bapak bisa seceroboh itu ya. Untung dompetnya kalian temukan, kalau tidak, bisa habis uang bapak digondol, mana ini masih tanggal muda.” Kata pak Andri sambil mengambil dompetnya. “Baiklah, sekarang sebagai tanda terima kasihnya, bapak juga akan mentraktir kalian berdua makan es krim.”

          Irfan dan Aditya tertawa puas, usaha yang mereka lakukan tidak sia-sia. Jam mall berdentang diiringi suara melodi menunjukkan pukul 15.00 sore, sudah kenyang bagi mereka untuk berjalan-jalan di sana hari itu.

Jalan Tak Berujung

 Jalan Tak Berujung 

Karya: Naida Alfaujiah
Kelas: 7J


Di sebuah kota kecil ,hiduplah Dika ,seorang pemuda penuh semangat .sejak kecil ,Dika bercita -cita untuk melanjutkan pendidikan tinggi .Sayangnya ,kondisi ekonomi keluarganya sangat terbatas .Ayahnya hanya seorang tukang kayu ,sementara ibunya menjual kue di pasar .

Meskipun begitu  ,Dika tidak ingin menyerah .Ia selalu belajar dengan rajin dan menghabiskan waktu di perpustkaan umum .Teman -temannya seringkali meragukan mimpinya,trutama ketika ia gagal dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi ."Mungkin ini bukan untukmu ," kata mereka.

Namun ,Dika ingat nasihat neneknya :"Gagal itu hanya koma bukan titik.itu tanda untuk berusaha lebih keras ".Dengan tekad baru ,ia melanjutkan perjuangannya".Dengan tekad baru,ia melanjutkan perjuangannya .Ia mencari informasi tentang beasiswa dan mendaftar ke berbagai lembanga pendidikan 

Setelah beberapa bulan berjuang ,Dika akhirnya diterima di sebuah universitas swasta dengan beasiswa.Ia merasa langkahnya mulai tepat ,meski perjalanan tidak selalu mulus .Tugas kuliah yang menumpuk dan tekanan dari teman-teman membuatnya kadang merasa overwhelmd.

Suatu ketika ,Dika mendapat nilai rendah pada ujian penting.Hatinya kembali hancur ,dan rasa putus asa mulai mendekat .Namun,ia mengingat kata -kata neneknya ."ini hanya koma",bisikan pada diri sendiri .

Dika kemudian bangkit Ia mengatur jadwal belajar yang lebih baik dan meminta bantuan dosennya .Dengan kerja keras dan ketekunan ,ia tidak hanya memeperbaiki nialinya ,tetapi juga meraih prestasi yang membanggakan .

Setlah lulus dengan predikat cum laude ,Dika bekerja sebagai  guru di sekoalah desa .Ia ingin memberikan inspirasi bagi anak -anak yang memiliki impian seperti dirinya .Di kelas ,ia selalu mengingatkan murid - muridnya bahwa gagal bukanlah akhir ,melainkan bagian dari perjalanan .

"Ketika kalian jatuh ,ingatlah bahwa itu hanya koma.Bangkitlah dan lanjutkan perjalananmu",kata Dika semangat.Dengan itu,ia berharap bisa menanamkan semangat tidak menyerah pada pendidikan dalam hati setiap muridnya .

Kini,Dika menjadi teladan di desa ,membuktikan bahwa dengan usaha dan tekad ,pendidikan adalah jalan untuk meraih impian ,meski harus melewati banyak koma di sepanjang jalan.

_Bercita-cita lah setinggi langit jangan takut jatuh,bila kamu jatuh kamu akan jatuh  di atas bintang - bintang

_Ir.Soekarno

Jejak di Pasir yang Tak Terlihat

 Jejak di Pasir yang Tak Terlihat

Karya: Naida alfaujiah
Kelas: 7J

Di sebuah kota kecil, Ardi bekerja sebagai petugas kebersihan di gedung perkantoran. Sejak kecil, Ardi merasa impiannya selalu jauh, seakan tak terjangkau. Mimpi besarnya adalah menjadi penulis, tapi pekerjaan sehari-harinya tak pernah memberi ruang untuk itu. Setiap hari, ia bangun pagi, membersihkan lantai yang tak pernah dihargai orang. Semua orang sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan tak ada satu pun yang peduli.

Suatu malam, saat membersihkan gedung yang hampir kosong, Ardi menemukan sepasang sepatu yang tertinggal. Di dalam sepatu itu, ada selembar kertas kecil yang bertuliskan, "Terkadang, jejak yang paling penting tidak terlihat oleh mata, tapi bisa dirasakan oleh hati."

Kalimat itu menghentikan langkah Ardi. Meskipun pekerjaannya tak terlihat, ia sadar bahwa setiap hal kecil yang ia lakukan tetap punya arti. Dengan semangat baru, Ardi mulai menulis kembali. Setiap kali ada waktu luang, ia menulis cerita-cerita kecil dalam buku catatan.

Beberapa bulan kemudian, seorang wanita yang kebetulan lewat melihat buku catatan Ardi dan tertarik dengan tulisannya. "Apakah kamu sudah mempertimbangkan untuk menerbitkannya?" tanyanya. Wanita itu akhirnya membantu Ardi mewujudkan mimpinya.

Meskipun perjalanan Ardi masih panjang, ia kini tahu bahwa jejak-jejak kecil yang ia buat, meski tak terlihat, tetap memiliki dampak besar.

---

Pesan Moral:

Cerpen ini mengingatkan kita bahwa setiap langkah kecil yang kita ambil, meski tak terlihat oleh banyak orang, tetap berarti. Jangan menyerah hanya karena dunia tidak melihat usaha kita; kadang-kadang, langkah kecil kita adalah yang paling kuat dalam mewujudkan impian

Lihat Kami Juga

 Lihat Kami Juga

By: Naira

Di siang hari yang begitu panasnya. Aku melihat dua orang gadis kecil yang tengah memulung botol bekas dengan satu orang anak kecil yang terus menangis dalam pangkuan salah satu gadis kecil itu.

"Assalamualaikum, Ade. Maaf mengganggu waktunya. Kalo boleh tau adeknya kenapa nangis terus??"

tanyaku kepada salah satu gadis itu.

"Adeku lapar kak, kami belum makan dari kemarin malam,"

Ujar Ratna kakak tertua dari ke dua adiknya, yakni Helmia dan Nara.

"Astagfirullah, kalo begitu ayo kita makan dulu,"

tawarku. Dan mereka hanya menganggukkan kepalanya.

Sesampainya di warung makan.

"Gimana enak makanannya??"

"Enak kak, makasih yah. Maaf udah ngerepotin kakak."

"Kalian ga ngerepotin kakak kok, kakak malah seneng karna dengan adanya kalian kakak merasa punya adek,"

Ungkapku yang membuat Ratna terdiam dengan mata yang berkaca-kaca.

"Ratna kamu kenapa?"

Tanya ku sedikit panik.

"Ratna ga papa kok kak, Ratna cuman kangen bapa sama mamah Ratna aja. Hidup tanpa sosok dari orang tua itu sakit kak. Ratna juga mau sekolah, Ratna juga mau Ade-ade Ratna sekolah dengan layak. Bahkan untuk sekedar tidur saja kami tak mampu kak. Hidup di kota yang besar ini benar-benar sangat sakit, apa lagi saat mendapatkan hinaan dan cacian dari orang yang derajat nya jauh di atas Ratna,"

Ungkap Ratna. Yang membuat air mataku mengalir dengan sendirinya.

"Iya kak, Helmia juga mau hidup dengan baik seperti orang-orang diluaraan sana. Setidaknya Helmia mau punya teman untuk bermain kak. Jangankan untuk berteman menganggap kehadiran kita saja tidak. Kak, kenapa orang miskin seperti kita selalu dikucilkan? Apakah orang miskin seperti kita tidak berhak bahagia? Tolong, lihat Kami juga kak!! kami juga ingin merasakan kebahagiaan itu."

Sambung Helmia yang membuat hatiku tersayat.

"Ratna, Helmia. Dengerin kakak yah, tidak semua yang kalian pikirkan itu benar. Memang hidup tanpa sosok kedua orang tua itu sakit. Kakak juga merasakan hal itu. Tapi kalian harus yakin kalo di balik semua ini pasti ada hikmah yang begitu besar. Jangan pernah merasa terkucilkan, masih banyak orang diluaraan sana yang masih perduli sama kalian. Jangan berpikir seperti itu lagi yah, Ratna, Helmia. Masih ada Allah yang akan terus bersama kalian,"

Jelasku sambil memeluk ketiga anak kecil itu.

"Di dalam setiap kehidupan pasti akan selalu ada rintangan yang harus kita lewati. Manis pahitnya kehidupan tergantung bagaimana cara kita mengatasi masalah itu. Pentingnya bersyukur dalam kehidupan itu sangat lah penting. Bahkan di generasi kita yang sekarang ini, sikap menghargai dan perduli sesama manusia itu jarang sekali kita temui. Untuk itu marilah kita bangkitkan sikap menghargai dan perduli sesama manusia mulai dari sekarang. Dan jangan pernah merasa paling sempurna karna yang sempurna hanyalah Allah swt."

Di Antara Dua Sujud

 Di Antara Dua Sujud

By : Naira Hilmiyah 9G 

Aku adalah Freya, seorang gadis kecil yang menjadi tulang punggung keluargaku.

Di saat anak-anak seumuranku masih bermain dan belajar di sekolah, aku harus jualan kue setiap harinya demi memenuhi kebutuhan hidupku dan ibuku.

"Kuee...kue...kuenya...pa, Bu." 

Ya seperti ini lah kebiasaanku setiap harinya. 

Sore pun tiba. 

Di tengah perjalanan pulangku, ada 2 orang preman yang menghalangi jalanku

"Heh bocah!!!! Kalo Lo mau lewat sini lo harus bayar sama kita berdua!!!"

"T-tapi om, Freya ga punya uang om,"

Ujarku sambil memegang erat tas selempangku.

"Halahh bacotlu!!!!"

Kedua preman itu merebut tas selempangku dan mengambil semua uang hasil penjualan kue tadi.

"Om, jangan ambil uang Freya, nanti Freya sama ibu makan apa?? Ibu Freya lagi sakit om. Freya mohon jangan ambil uang Freya, kalo uangnya di ambil Freya ga bisa jualan lagi besok,"

Tangisku sambil memeluk lurus salah satu preman tersebut.

" Terus, menurut lo gue perduli?? Kagak!!!"

Sambil melepaskan pelukanku di lututnya, dan pergi.

"Ya Allah, bagaimana ini Freya sama ibu makan apa hari ini? Freya juga ga bisa jualan besok,"

Tangisku sambil memegang uang receh sebesar 7000 ribu rupiah. Yang akhirnya aku belikan nasi bungkus dengan lauk telor dadar.

Sesampainya di rumah.

"Assalamualaikum ibu, ibuu. Freya pulang,"

Ujarku sambil memasuki rumah tempat tinggalku.

"Uhuk, uhuk, waalaikumsalam nak, ibu di kamar."

Sahut ibu dari dalam kamar

"Loh nak kamu kenapa nangis?? "

Tanya ibuku saat melihatku menangis.

"I-ibu maafin Freya, tadi di jalan uang hasil jualan kuenya di rampok sama dua preman Bu, dan Freya cuman bisa beli satu nasi bungkus buat ibu. Maafin Freya buu."

Tangisku di dalam dekapan ibuku

"Astagfirullah!! Yaudah ga papa, mungkin ini cobaan dari tuhan untuk kita.Freya, dengerin ibu yah, kalo pun Allah memberikan Freya cobaan yang lebih berat dari ini, ibu mau Freya menerimanya dengan ikhlas yah, walaupun nanti ibu ga ada lagi di samping freya."

"K-kenapa ibu bilang seperti itu?? Ibu mau kemana?? "

"Ibu tidak akan kemana-mana nak. Lebih baik Freya bersih-bersih yah. Habis itu kita sholat berjamaah."

Akupun menyetujui ucapan ibuku."

Selesai membersihkan diriku. Aku dan ibuku melaksanakan sholat magrib bersama.

Namun saat sedang sujud terakhir ibuku tidak bergerak sama sekali. Yang membuat diriku panik dan menghentikan sholat magrib itu.

"Ibu... Ibu bangun buu.. ibu jangan tinggalin Freya...ibu...ibu bangun buu.."

Tangisku saat melihat ibuku sudah tak bernafas lagi.

"Ibu!!! Apakah ini yang di maksud dari perkataan ibu tadi?? Maafin Freya buu!! Freya ga bisa tanpa ibu.. Freya butuh ibu!!!"

1 Minggu setelah kepergian ibuku.

Dan aku tak pernah lupa untuk terus menyebut ibuku dalam setiap sujudku, meski terasa berat aku harus bisa menerima setiap coretan takdir. Karna aku yakin jika setiap orang pasti mempunyai masa, masa dimana ia harus tertawa dan menangis.