Mading Digital

NESAMA
  • Sarana dan Prasarana

    Sarana dan Prasarana SMPN 1 Malangbong

  • Home

    Mading Digital SMPN 1 Malangbong

  • Informasi

    Info Grafis SMPN 1 Malangbong

  • Informasi

    Program Unggulan SMPN 1 Malangbong

MISTERI DIBALIK LUKISAN

 MISTERI DIBALIK LUKISAN

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Rumah tua itu berdiri kokoh di ujung kampung. Catnya mengelupas, kayu-kayunya lapuk, namun aura mistisnya masih terasa kuat. Anak-anak kecil di kampung sering berbisik tentang hantu yang menghuni rumah itu, membuat suasana semakin mencekam.

Dina, gadis remaja penuh rasa ingin tahu, tak pernah takut pada cerita-cerita hantu. Justru, ia penasaran dengan rumah tua itu. Suatu sore, saat matahari mulai condong ke barat, Dina memberanikan diri memasuki halaman rumah tua tersebut.

Halaman rumah penuh dengan semak belukar. Daun-daun kering bertebaran di mana-mana, seakan menyambut kedatangannya. Dina berjalan perlahan, hati berdebar kencang. Sesekali, ia mendengar suara-suara aneh yang membuatnya merinding.

Akhirnya, Dina sampai di depan pintu rumah. Pintu kayu itu terlihat usang dan berkarat. Dengan hati-hati, Dina mendorong pintu itu. Bunyi derit pintu kayu menambah rasa tegangnya.

Di dalam rumah, suasana gelap dan pengap. Debu menyelimuti seluruh ruangan. Dina menyalakan senter ponselnya dan mulai menjelajahi ruangan demi ruangan. Ia menemukan banyak barang-barang antik yang sudah berlumuran debu. Ada jam dinding besar yang sudah berhenti, sebuah piano tua yang tertutup kain, dan beberapa lukisan yang digantung di dinding.

Salah satu lukisan menarik perhatian Dina. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita muda yang sedang menangis. Wajahnya terlihat sangat sedih dan kesepian. Dina merasa ada sesuatu yang aneh dengan lukisan itu. Semakin lama ia menatap lukisan itu, semakin ia merasa tidak nyaman.

Tiba-tiba, lampu senter Dina mati. Ruangan menjadi gelap gulita. Dina berusaha mencari saklar lampu, namun tidak menemukannya. Ia mulai panik. Tiba-tiba, ia mendengar suara tangisan yang sangat sedih. Suara itu berasal dari arah lukisan.

Dina mendekati lukisan itu dengan hati-hati. Saat jarinya menyentuh bingkai lukisan, lampu senternya menyala kembali. Namun, lukisan itu sudah berubah. Wanita muda yang sedang menangis itu sekarang menatapnya dengan tatapan kosong.

Dina berteriak ketakutan dan berlari keluar dari rumah. Ia berlari sekencang-kencangnya hingga sampai di ujung kampung. Tiba-tiba, ia merasa sangat lelah dan jatuh tersungkur.

Ketika Dina membuka matanya, ia sudah berada di kamarnya. Ternyata, tadi hanya mimpi buruk. Namun, rasa takut masih menghantuinya.

Keesokan harinya, Dina menceritakan mimpinya kepada neneknya. Neneknya tersenyum dan berkata, "Rumah tua itu menyimpan banyak rahasia, Nak. Dulu, ada seorang wanita muda yang tinggal di rumah itu. Ia sangat sedih karena ditinggal pergi oleh kekasihnya. Kesedihannya begitu mendalam hingga ia meninggal di dalam rumah itu."

Nenek melanjutkan ceritanya, "Konon katanya, arwah wanita itu masih bergentayangan di sekitar rumah itu. Ia mencari cinta yang tak pernah ia dapatkan."

Dina terdiam mendengar cerita neneknya. Ia baru menyadari bahwa lukisan yang dilihatnya dalam mimpi adalah gambaran dari wanita muda yang malang itu.

Sejak saat itu, Dina tidak pernah lagi berani mendekati rumah tua itu. Ia sadar bahwa ada kekuatan mistis yang bekerja di balik rumah tua tersebut. Rumah tua itu menjadi sebuah misteri yang belum terpecahkan.

Pesan Moral:

Cerita ini mengajarkan kita untuk menghargai masa lalu dan menghormati keberadaan makhluk halus. Setiap tempat memiliki sejarahnya sendiri, dan kita harus berhati-hati dalam menjelajahi tempat-tempat yang menyimpan banyak misteri.

KOTA YANG TERANCAM

 KOTA YANG TERANCAM

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan yang ramai, tersembunyi sebuah kelompok yang terdiri dari enam individu luar biasa. Mereka adalah Fadhil, Nizar, Najia, Wardah, Riziq, dan Rahil, masing-masing dianugerahi kekuatan super unik yang membuat mereka berbeda dari manusia biasa.

Fadhil, dengan kepekaan alaminya, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan hewan. Nizar, seorang pemikir ulung, mampu membaca pikiran orang lain. Najia, dengan tatapan mata yang menembus waktu, dapat melihat masa lalu yang telah terjadi. Wardah, seorang visioner, mampu melihat masa depan yang akan datang. Riziq, dengan kekuatan yang menakjubkan, dapat membelah dirinya menjadi lima individu yang identik. Dan Rahil, dengan kelincahan dan kecepatan yang luar biasa, dapat menghilang dalam sekejap mata.

Mereka berenam, yang dikenal sebagai "The Six", telah berjanji untuk menggunakan kekuatan mereka untuk melindungi kota dari segala ancaman. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa, selalu siap untuk turun tangan ketika kejahatan dan ketidakadilan merajalela.

Namun, kedamaian kota terusik ketika muncul sebuah kelompok penjahat yang dipimpin oleh seorang dalang misterius. Kelompok ini, yang dikenal sebagai "The Syndicate", berencana untuk mengambil alih kota dan mengubahnya menjadi wilayah kekuasaan mereka.

The Syndicate tidak beraksi sendiri. Mereka memiliki sekutu yang kuat, sebuah geng beranggotakan individu-individu berbahaya yang dipimpin oleh Fathan, Alwi, Azki, Isna, Zahira, dan Hilya. Geng ini, yang dikenal sebagai "The Shadow Syndicate", bertugas untuk mengganggu dan menggagalkan setiap upaya The Six untuk menggagalkan rencana The Syndicate

The Six dan The Shadow Syndicate terlibat dalam serangkaian pertarungan sengit di seluruh penjuru kota. Fadhil menggunakan kemampuannya untuk berkomunikasi dengan hewan-hewan, mengumpulkan informasi tentang pergerakan musuh. Nizar membaca pikiran para anggota The Shadow Syndicate, mencari tahu rencana mereka yang sebenarnya. Najia melihat masa lalu para penjahat, mencari kelemahan yang bisa dieksploitasi. Wardah melihat masa depan, mencari tahu strategi terbaik untuk menghadapi musuh. Riziq, dengan kelima dirinya, menyerang dari berbagai arah, membingungkan dan mengacaukan musuh. Dan Rahil, dengan kemampuan menghilangnya, menyusup ke markas musuh, mengumpulkan informasi penting.

Pertarungan demi pertarungan dimenangkan oleh The Six. Mereka berhasil menggagalkan rencana The Syndicate untuk meracuni sumber air kota, menghentikan mereka dari mencuri teknologi canggih, dan menggagalkan upaya mereka untuk menyebarkan ketakutan dan kekacauan di antara warga kota.

Namun, The Shadow Syndicate tidak menyerah begitu saja. Mereka terus berupaya untuk melemahkan The Six, mencoba untuk memecah belah persatuan mereka. Mereka menyebarkan desas-desus dan fitnah, mencoba untuk menanamkan keraguan dan ketidakpercayaan di antara para pahlawan super.

Di tengah tekanan yang semakin besar, The Six menghadapi ujian berat. Salah satu dari mereka, Rahil, ternyata memiliki masa lalu yang kelam yang terkait dengan The Syndicate. Rahil, yang merasa bersalah dan tertekan, akhirnya berkhianat dan bergabung dengan musuh.

Pengkhianatan Rahil mengguncang The Six. Mereka merasa marah, kecewa, dan bingung. Bagaimana bisa salah satu dari mereka mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan?

Namun, di saat-saat sulit ini, persahabatan dan kesetiaan mereka diuji. Mereka belajar untuk saling memaafkan dan melupakan kesalahan masa lalu. Mereka menyadari bahwa kekuatan sejati mereka bukan hanya terletak pada kekuatan super yang mereka miliki, tetapi juga pada ikatan persahabatan yang kuat di antara mereka.

Dengan semangat baru, The Six bersatu kembali. Mereka menghadapi The Syndicate dan The Shadow Syndicate dengan keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan.

Pertempuran terakhir terjadi di pusat kota. The Six dan The Syndicate terlibat dalam pertarungan epik yang menentukan nasib kota.

Fadhil memimpin pasukan hewan-hewan, menyerang musuh dari segala arah. Nizar menggunakan kemampuan membaca pikirannya untuk memprediksi gerakan musuh, memberikan informasi penting kepada rekan-rekannya. Najia melihat masa lalu para penjahat, mencari tahu kelemahan mereka yang tersembunyi. Wardah melihat masa depan, mencari cara terbaik untuk mengalahkan musuh. Riziq, dengan kelima dirinya, bertarung dengan gagah berani, melumpuhkan musuh-musuh yang kuat. Dan Rahil, yang telah kembali ke sisi kebenaran, menggunakan kemampuan menghilangnya untuk menyusup ke markas musuh, menghancurkan sumber kekuatan mereka.

Setelah pertarungan yang panjang dan melelahkan, The Six akhirnya berhasil mengalahkan The Syndicate dan The Shadow Syndicate. Kota kembali aman dan damai.

The Six telah membuktikan bahwa kekuatan super bukanlah jaminan kemenangan. Yang terpenting adalah bagaimana mereka menggunakan kekuatan tersebut untuk kebaikan dan bagaimana mereka bekerja sama sebagai tim yang solid.

Mereka juga belajar bahwa setiap orang memiliki kekuatan tersembunyi di dalam diri mereka. Kekuatan untuk berbuat baik, kekuatan untuk mencintai, dan kekuatan untuk tidak pernah menyerah.

The Six akan terus melindungi kota mereka dan menjadi inspirasi bagi semua orang. Mereka adalah pahlawan super yang tidak hanya memiliki kekuatan super, tetapi juga hati yang penuh kasih dan semangat yang tak pernah padam.

APA ITU AYAH

 APA ITU AYAH

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Apa Itu Ayah

Dina selalu bertanya pada ibunya, "Bu, apa itu ayah?" Ibunya tersenyum lembut, mengusap rambut halus Dina. "Ayah itu, sayang, seperti pohon besar yang melindungi kita dari terik matahari dan hujan. Akarnya kuat menancap di tanah, menjaga kita agar tetap teguh."

Dina masih belum mengerti. "Tapi, Bu, aku belum pernah melihat ayah." Ibunya terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. "Ayahmu ada di surga, sayang. Dia menjaga kita dari sana."

Dina mengangguk, walaupun ia tak benar-benar paham. Setiap malam, sebelum tidur, Dina selalu menatap langit. "Ayah, apakah kamu melihatku? Aku merindukanmu."

Bertahun-tahun berlalu, Dina tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan baik hati. Ia sering mendengar cerita tentang ayahnya dari ibunya. Tentang bagaimana ayahnya sangat menyayanginya, tentang tawa cerahnya, dan tentang pelukan hangat yang selalu membuatnya merasa aman.

Suatu hari, Dina menemukan sebuah buku harian di lemari ibunya. Di dalamnya, ia menemukan banyak sekali surat cinta dari ayahnya untuk ibunya. Surat-surat itu begitu indah, penuh dengan kata-kata kasih sayang. Dina membaca surat-surat itu berulang kali, hatinya terasa hangat.

Dari surat-surat itu, Dina mulai mengerti apa arti seorang ayah. Ayah adalah sosok yang kuat, penyayang, dan selalu ada untuk keluarganya. Meskipun ayahnya sudah tidak ada di sisinya, cinta ayahnya tetap hidup di dalam hatinya.

Dina teringat akan sebuah cerita yang pernah diceritakan ibunya. Dulu, ketika Dina masih kecil, ayahnya selalu membacakan dongeng sebelum tidur. Salah satu dongeng yang paling disukai Dina adalah tentang seorang pangeran yang menyelamatkan seorang putri dari naga jahat. Dina bertanya pada ibunya, "Bu, apakah ayahku seperti pangeran itu?" Ibunya tersenyum, "Ayahmu lebih dari seorang pangeran, sayang. Ayahmu adalah pahlawanmu."

Sejak saat itu, Dina tidak lagi bertanya, "Apa Itu Ayah?" Ia sudah menemukan jawabannya sendiri. Ayah adalah sosok yang abadi, yang cinta kasihnya akan selalu menyertainya sepanjang hidup. Dina yakin, di mana pun ayahnya berada, ayahnya pasti bangga melihatnya tumbuh menjadi gadis yang kuat dan mandiri.

Suatu hari, Dina pergi ke taman yang sering ia kunjungi bersama ibunya. Di sana, ia melihat seorang anak kecil sedang menangis tersedu-sedu karena kehilangan bola. Tanpa ragu, Dina menghampiri anak itu dan membantunya mencari bola. Setelah menemukan bola itu, anak kecil itu tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih.

Dina teringat pada dirinya sendiri ketika masih kecil. Ia merasa senang bisa membantu anak itu. Dalam hati, Dina berbisik, "Ayah, lihatlah aku. Aku sudah tumbuh besar dan bisa membantu orang lain, seperti yang selalu ayah ajarkan."

Dina melanjutkan studinya di kota besar. Ia merindukan rumah dan ibunya, tetapi ia selalu ingat pesan ayahnya untuk terus belajar dan meraih cita-cita. Di kota besar, Dina bertemu dengan banyak orang baru. Salah satunya adalah seorang guru yang sangat menginspirasinya. Guru itu sering menceritakan kisah tentang ayahnya, seorang pelaut yang menjelajahi lautan luas.

Dari guru itu, Dina belajar tentang keberanian, keteguhan hati, dan semangat petualangan. Ia menyadari bahwa nilai-nilai yang dimiliki ayahnya juga dimiliki oleh banyak orang lain. Ayah adalah sosok yang universal, yang bisa ditemukan dalam berbagai bentuk dan rupa.

Suatu hari, Dina memutuskan untuk mengunjungi makam ayahnya. Di sana, ia duduk termenung sambil mengingat semua kenangan indah bersama ayahnya. Ia merasa sangat bersyukur memiliki ayah yang luar biasa.

Dina menyadari bahwa meskipun ayahnya sudah tiada, ia tetap hidup di dalam hati Dina. Cinta ayahnya akan selalu menjadi kekuatan yang mendorongnya untuk terus maju. Dina berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi orang yang berguna bagi orang lain, seperti ayahnya.

Pesan Moral:

Cerita ini ingin menyampaikan bahwa meskipun seseorang tidak pernah bertemu dengan ayahnya, cinta seorang ayah tetap bisa dirasakan melalui cerita, kenangan, dan warisan yang ditinggalkan. Ayah adalah sosok yang sangat penting dalam kehidupan seseorang, dan kasih sayangnya akan selalu menjadi sumber kekuatan dan inspirasi. Cinta seorang ayah tidak terbatas oleh ruang dan waktu, bahkan setelah ia tiada, kasih sayangnya akan selalu hidup di hati anak-anaknya.

Rumah Ternyaman

 Rumah Ternyaman 


By : Naira Hilmiyah 


"Ude, Rara kok tinggal di sini sih? Sedangkan Ade sama mama di rumah?"

Tanya seorang gadis kecil kepada uwanya dengan linangan air mata di matanya. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil mengelus-elus rambut kepala milik Anara.

"Emngnya Rara ga seneng tinggal di sini?"

Gadis kecil yang baru berusia lima tahun itu menggelengkan kepalanya pelan. "Rara seneng kok tinggal sama ude, sama kakak sama wa gede juga."

Ucap Anara kembali sambil menghapus air mata miliknya.

"Terus kenapa Rara sedih? Masa anak seceria Rara sedih sihh."

Ucap ude sambil mencubit gemas pipi Ara.

"ara cuman penasaran aja ude, masa Ade Rara di rumah sama mama tapi raranya di sini. Eum.. mama sayang ga yah sama Rara?"

Mendengar pertanyaan dari gadis itu ude menatap ke arah sang anaknya atau biasa di sebut dengan panggilan kakak itu. Keduanya saling menatap satu sama lain dan tersenyum.

"Rara, semua orang sayang tau sama Rara. Jangan bilang gitu lagi yah? Kakak, ude, wa gede, semuanya sayang sama Rara. Jangan sedih lagi yah Rara."

Ucap kakak sambil menghapus jejak air mata Rara. Gadis kecil itu tersenyum mendengar ucapan dari sang kakak.

"Kakak, Rara mau susu."

Ucap gadis itu yang membuat sang kakak tersenyum.

"Mau buat susu rasa apa?"

"Coklat kak, di dot Rara yah bikinnya?"

Sang kakak menganggukkan kepalanya dan berlalu untuk membuatkan gadis kecil itu satu botol susu coklat.

"Ini dia pesanan Rara datang."

Ucap sang kakak sambil memberikan dot yang berisii susu coklat itu kepada Rara.

"Makasih kakak."

Terdengar suara ayam jantan berkokok. Seorang gadis terbangun dari tidurnya dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.

"Ude? Kakak? Wa gede? Ara kangen kayak dulu."

Ucap Anara dengan lirih. Ternyata kejadian itu hanyalah sebuah mimpi untuk mengenang masa lalunya yang indah selama beberapa tahun di sana.

"Sekarang Ara udah gede yah? Ara kangen di ajarin baca sama kakak, Ara kangen di bikinin susu sama kakak, Ara juga kangen di pukpuk sebelum tidur sama ude, Ara juga kangen di ajak main ke kebun sama wa gede."

Lanjut gadis itu sambil terus menangis.

Semenjak Anara akan memasuki kelas 1 SD gadis itu tiba tiba di ajak pulang kerumahnya untuk tinggal di sana. Anara sangat senang saat dirinya mulai kembali tinggal di sana. Namun, setiap malam gadis itu selalu merenung memikirkan momen momen indah bersama mereka.

"Kenapa baru sekarang yah Ara di pulangin? Kenapa dari kecil Ara tinggal di sana terus? Tapi Ara seneng di sana, semuanya sayang sama Ara."

Ucap sang gadis di kala itu.

***

Kini Anara susah menginjak usia 15 tahun. Di saat gadis itu baru saja pulang mengaji gadis itu menghampiri sang mama yang tengah bermain di rumah uwanya, sebut saja wa Ani.

Di saat gadis itu akan memasuki rumahnya, Anara mendengar jika sang ibu tengah membicarakan mengenai dirinya.

Anara pun memutuskan untuk mendengarkan semua pembicaraan itu, hingga tak terasa air matanya mengalir dengan begitu deras. Karna sudah tak kuasa untuk terus mendengarkan ucapan itu semua, Anara pun memutuskan untuk pulang kerumahnya dan mendudukkan dirinya di atas kasur miliknya.

"Hiks, hiks kenapa harus aku, tuhan? Aku ga sekuat itu..."

Gadis itu menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. 

"Ara"

Panggil seseorang dengan lirih sambil mengusap lembut rambut kepalanya. Menyadari itu Anara pun mendongakan kepalanya melihat siapa orang yang ada di belakangnya.

"Sakit yah? Ga papa masih ada kakak di sini. Rara jangan nangis lagi yah? Lupain luka itu dan cari kebahagiaan Rara, gak harus dari mereka Rara, kamu bisa cipatin semuanya sendiri."

Rara tersenyum saat mendapati sang kakak yang ada di sampingnya. Belaian lembut di kepalanya membuat Rara semakin tenang.

"Kak, makasih yah? Makasih udah selalu ada buat Rara, dan masih juga udah mau jadi rumah ternyaman buat Rara."

Sang kakak pun memeluk Anara dengan erat. Keduanya menangis sambil menatap jendela yang ada di kamar Rara.

"Kakak akan selalu jadi rumah buat Rara, jangan pernah berpikir kalo orang lain ga sayang sama Rara, masih ada ude, Kakak sama wa gede yang akan selalu bersama dengan Rara."

Keduanya pun saling tersenyum dan kembali berpelukan setelah sekian lamanya.

"Makasih ya tuhan, karna engkau telah memberikan obat yang terbaik buat rara."

Monolog gadis itu sambil tersenyum.

Kuéh Kakarén Taun Pulitik

                                                          Kuéh Kakarén Taun Pulitik

Karya: Muhammad Farid Rubiansyah

Kelas: 9K

          “Sah…!” Kitu ceuk urang lembur Sugih kabéh harita basa pa Dadang punjul jadi RT di dinya. Urang lembur pada kaleprok ka pa Dadang anu geus punjul dina pemilihan ketua RT di lembur Sugih.

          “Wah,, haturan pa, tos janten RT lima periode, ayeuna meureun anu ka genep. Mugia apanjang-upunjung lemburna.” Cék sainganana.

          “Alhamdulillah, aamiin. Hatur nuhun kana perhatosanna, hapunten nya pajeng waé,” saur pa Dadang bari sura-seuri.

          Salila Pa Dadang nyepeng kalungguhan RT lima periode, manéhna nyieun rupa-rupa kagiatan di lembur Sugih, salah sahijina mekarkeun paguyuban ibu-ibu PKK. Tapi, najan paguyuban ibu-ibu PKK geus aya kira dua taunna, anu jadi anggotana mah ngan tiluan, nyéta ceu Linda, ceu Mumun, jeung ceu Isah.

          Saréngséna kagiatan pemilihan ketua RT, ceu Mumun boboléh ka pa Dadang. “Pa, ayeuna bapa jadi deui pa RT deui. Kanggé tasyakur bini’mahna punjul janten RT jadi anu ka genep periodena, abdi salaku ‘budak asuhan’ bapa badé ngapromosikeun ‘kuéh législatif’ ka bapa sareng ka urang lembur.”

          “Euleuh-euleuh, kueh naon éta, mani asa kakara nadéngé, ceu? Buatan ibu-ibu PKK?” saur pa Dadang bari kerung mikiran éta kadaharan.

          “Pokona mah, antosan pagéto tamat pa, engké ogé bapa terang nyalira. Lamun tiasa mah pa, mangga dibéwarakeun ka urang lembur, supados janten mitra UMKM.” Cék ceu Mumun bari cungar-cengir, tuluy ngaléos nyampeurkeun balad sapaguyubanna.

          Pa Dadang anu masih bingung kana omongan ceu Mumun, tuluy leumpang kana podium pemilihan, pa Dadang ngahurungkeun mik sepiker tuluy méré béwara ka urang lembur Sugih sadaya. “Ka bapa-bapa kalih ibu-ibu sadaya. Dina raraga tasyakur sim kuring jadi RT anu ka genep kalina, kuring ngulem ka bapa-ibu sadaya, diantos di bumina ceu Mumun dina dinten salasa minggon payun”Baris diwanohkeun “kue législatif.”

          Puguh, ngadéngé béwara ti pa Dadang siga kitu, urang lembur Sugih pada baringung. Kabéh panasaran naon ari kue legislative. Saharita langsung raribut. Malah aya ogé urang lembur anu neundeun duit ka pa Dadang, panasaran hayang nyaho kumaha “kuéh législatif” téh. Kawénéhan harita oge keur usumna calon législatif daratang ka lembur-lembur sabab rék mayunan pilkada, caritana rék ménta dukungan.

Budak ceu Linda anu kabeneran keur aya di éta patempatan nyikikik seuri tuluy ngomong ka budakna ceu Mumun. “Watir teuing pa RT jeung urang lembur beunang ‘scam’ ti indung manéh.”

          “Baé lah. Berarti bener ceuk pamaréntah ogé, urang pilemburan mah masih loba kénéh anu telmi, telat mikir.” Ceuk budakna ceu Mumun bari seseurian. Geus kitu mah, soloyor duanana rék arulin jeung balad-baladna nu lian.

***

          Isukna, ceu Mumun datang ka imahna ceu Linda bari mamawa kérések eusi balanjaan ti pasar. Manéhna keketrok panto bari luak-lieuk ka sakuriling, teuing naon alesanna. Barang bral pantona dibukakeun ku ceu Linda, ceu Mumun langsung berebet asup ka jero tuluy ngajak diuk sagancangna.

          “Kunaon sih ceu, mani buru-buru pisan atuh.” Ceuk ceu Linda semu kesel pédah reuwaseun ku ceu Mumun.

          “Pokona mah kieu. Kamari abi janji ka pa Dadang rék nyieun kuéh, ayeuna bantuan abi nyieun ‘kuéh législatif’.” Cék ceu Mumun bari nutupkeun panto

          “Euleuh, paingan buru-buru kitu. Hayu atuh kadieu, kaluarkeun bahan-bahanna.”

          Ceu Mumun jeung ceu Linda tuluy pak pik pek di dapur nyieun “kuéh législatif”. Ari keur sibuk di dapur, torojol budakna ceu Mumun rék nyampeur budakna ceu Linda ulin. Ari budakna ceu Mumun nempo indungna keur aya di dapurna. Manéhna tuluy nanya. “Mah, keur nyieun naon di dieu?”

          “Keur nyieun ‘kuéh législatif’, émang naon kitu?” Ceu Mumun malik nanya.

          “Oh…” Ceuk budakna. Tuluy manéhna ngomong deui. “Mah, pamali siah mamah geus nipu pa RT jeung urang lembur kabéh.”

          “Manéh wé éta mah. Ari mamah nipu naon?”

          “Ari éta ‘kuéh législatif’ ideu mamah, pan éta téh sabenerna mah lain nu kitu. Terus ku mamah ké dijualan ka urang lembur, pédah urang lembur teu terangeun rusiahna. Watir atuh, urang lembur beunang ‘scam’ ti mamah.” Budak ceu Mumun mamatahan.

          “Yeuh, mamah mah ngan bade jualan, terus dimana salahna?”

          “Nya salah. Mamah geus méré arepan palsu. Urang lembur mah meureun ngarep-ngarep nu kumaha kuéh téh, ari pék téh sami-sami kénéh nu kitu.”

          “Baé ah éta mah lain salah mamah, bongan saha hayang waé percaya omongan mamah.”

          “Oh terserah. Ngan engké ku abi bade dibocorkeun rusiahna éta kuéh téh ka warga sadayana.” Cék budakna ceu Mumun bari ngemu kakesel. Ngadéngé budakna rék ngabocorkeun rusiahna, ceu Mumun langsung ngupahan. Tapi tetep baé budakna kesel.

          “Naon atuh kahayang manéh téh. Duit jang jajan?” Ceu Mumun masih keur ngupahan budakna ngarah teu ngabocorkeun rusiah “kuéh législatif”.

          “Enya atuh, meni teu pekaan pisan kana kahayang abi” Cék budakna bari kukulutus.

          “Tah duit mah, bawa wé. Tapi inget tong dibéja-béja ka sasaha mamah geus nipu.” Ceuk ceu Mumun bari nuluykeun ngaduk. Budakna seuri bari ugeuk-ugeukan, tuluy ngaléos jeung budakna ceu Linda anu geus nungguan ti tadi.

          Teu sawatara lila, torojol ceu Isah datang ka imahna ceu Linda. Sanggeus asup, ceu Isah ngomong. “Meni teu béja-béja rék nyieun kuéh téh.”

          “Tadina tuda buru-buru, bisi kanyahoan ku urang lembur ari rék ukur nyieun nu kieu hungkul mah.”

          “Oh nya, tadi abi pendak jeung pamajikanna pa Dadang, cénah ké pa Dadang rék kadieu isukan nempo heula barangna, geus jadi atawa acan.”

          Puguh, ngadéngé béja siga kitu mah, ceu Mumun jeung ceu Linda hariweusweus, sabab rusiah “kuéh législatif” téh bakal kabongkar. Tungtungna mah, pagawéan téh ditunda heula sapoéeun deui, da sieun kanyahoan ku pa Dadang yén éta téh lain adonan kuéh législatif pesenanna urang lembur.

***

          Heuleut sapoé. pabeubeurang, pa Dadang jeung pamajikanna datang ka imahna ceu Linda, rék nempo hasil pagawéan paguyuban ibu-ibu PKK téh. Barang neupi ka imahna, kasampak ceu Linda, ceu Mumun, jeung ceu Isah geus ngariung di dapur. Ana pa Dadang ningalian saeusi dapur, tuluy ngomong. “Euleuh-euleuh, geningan masih kénéh ngadonan kuéh, ari sugan téh tos aya anu asak.”

          Ceu Mumun seuri heureuy, tuluy ngomong. “Muhun pa RT. Adonanna téh can siap, margi kamari aya masalah sakedik, tapi da ayeuna mah tos lancar deui.”

          Sabenerna mah ceu Mumun jeung balad sapaguyubanna rada geumpeur lantaran pa Dadang jeung pamajikanna geus aya tilu jamna nempoan maranéhanana gawé nyieun “kuéh législatif” téh, sieuneun kapanggiheun maranéhanana geus nipu. Adonan kawas teu maju-maju waé jadi kuéh, angger baé cicing dina wadah baskom ngajentul, ari maranéhanana ukur gawé teu puguh. Ceu Mumun anteng dina wastafel, ceu Linda tonggoy dina lomari wadah samara, ceu Isah cindekul nunungguan oven anu ditagogkeun luhureun kompor.

          Tungtungna mah pa RT Dadang jeung pamajikanna ninggalkeun paguyuban ibu-ibu PKK rék nguruskeun pagawéan séjén. Geus euweuh mah, ceu Mumun, ceu Linda, jeung ceu Isah geuwat nuluykeun deui pagawéanna nyieun “kuéh législatif” anu can bérés. Adonan anu geus jadi ditambrukeun kabéh dina Loyang, tuluy diasupkeun kana oven anu handapana geus cakeutreuk hideung ku jalaga bales lila teuing ditagogkeun saluhureun kompor hurung tilu jamna. Hadéna wé teu matak picilakaeun.

***

          Kocap isukna geus dongkap kana poé salasa. Pasosoré, urang lembur Sugih jeung pa RT Dadang nyumpingan ka imahna ceu Mumun rék nempo naon sabenerna anu ngaranna “kuéh législatif” téh. Caritanana téh, urang lembur ogé rék niat bari silaturahmi, jadi maranéhanana mamawa dus kotak dahareun séwang-séwangan bari dikérésékan.

          Barang datang ka imahna ceu Mumun, urang lembur geus nempoan panggung leutik di buruan imahna. Di dinya geus aya paguyuban ibu-ibu PKK, taratih hareupeun méja anu kacirina aya barang anu ngahaja ditutupan ku sangku. Sagigireunna, aya pa RT Dadang jeung pamajikanna kaciri geus nunungguan éta sangku dibuka.

          Datang budakna ceu Mumun jeung ceu Linda bari ngangajak budakna pa Dadang anu karék bérés ulin jeung maranéhanana. Bari luak-lieuk, budak ceu Mumun tuluy ngaharéwos ka budakna pa Dadang. “Éh, ari kuéh téh kumaha?”

          “Geus aman lah. Ayeuna mah nu bakal kapok téh indung manéh, bongan geus nipu. Baé nya indung manéh bakal dinyenyeri haténa.” Ceuk budakna pa Dadang.

          “Baé lah, tuman. Sina Insaf saenggeus kieu mah.” Budak ceu Mumun rada semu camberut bari tungkul.

          Sedengkeun éta budak anu tiluan haharéwosan. Ceu Mumun jeung dua baladna ngabagikeun dus dahareun eusi “kuéh législatif” ka tamu-tamu anu haladir. Bari dipasihan saurang sadus, ceu Mumun ogé nampi dus dahareun ti urang lembur. Ti katinggaleun, pa Dadang ogé kabagéan dus dahaeun ti ceu Mumun.

          Geus kabagéan kabéh, tuluy ceu Mumun unjukan ka pa RT sangkan ngitung mundur ngarah urang lembur bisa muka dus eusi kuéh téh babarengan. Bari nyikikik seuri, ceu Mumun tuluy ngumpulkeun dus dahareun ti urang lembur di saluhureun méja panggung.

          “Hiji… dua… tilu…, sok atuh mangga dibaruka sareng mangga geura dilaleueut haturanna.” Ceuk pa Dadang.

          Ana brak dibaruka dusna, ceu Mumun, ceu Linda jeung ceu Isah kalah pada ngajéréwét, urang lembur Sugih pada héran bari sawaréh aya nu sareuri. Singhoréng ceu Linda jeung paguyubaan ibu-ibu PKK meunang jebakan ti urang lembur. Maranéhanana meunang dahareun sarua anu dibikeun ka urang lembur, si kuéh ”legislatif” tea. Nyatana “kuéh législatih” téh  ukur kuéh lapis legit anu geus pasaran.

          “Kumaha ceu Mumun, katampi kuéhna?” Cék pa Dadang bari nyikikik seuri.

          “Euh…! Ieu saha anu wani ngabongkar rusiahna kuéh jieunan urang, kan teu jadi untung kalah jadi buntung. Pasti ulah manéh ieu mah!” Ceu Mumun kukulutus bari nyentikkeun curukna ka budakna.

          “Sanes abi, mah. Tuh budakna pa Dadang anu ngabéjaan urang salembur téh, manéhna geus nyahoeun rencana mamah jadi teu anéh matak gagal ogé,” ceuk budakna bari nunjuk budakna pa RT.

          “Euleuh-euleuh ceu Mumun, matakna ari jadi jalma ulah sok nipu ka batur, kumaha lamunna dibalikkeun. Ulah karana hayang duit loba bari embung mikir jeung kerja keras, ideu kréatif anu sakirana ‘garing’ diréalisasikeun, tuluy dikoar-koar ka batur. Paribasana goong nabeuh manéh, hayang kaaku gawé ku batur…” Pa RT Dadang mani haripeut  mamatahan ceu Mumun jeung balad sapaguyubanna anu geus culas ka urang lembur.

          “Enya, hapunten abi. Abi rumasa geus culas ka urang lembur sadaya, tos nipu ka pala wargi sadaya ku ayana promosi ieu produk, tos nguciwakeun lantaran abi ngan tiasa ngapromosikeun kuéh siga kieu. Manawi pala wargi sadaya bade ngahapunten ka abi.” Cék ceu Mumun bari ngupahan.

          Singgetna mah, urang lembur Sugih embung manjangkeun masalah, ahirna mah ceu Mumun, ceu Linda, sareng ceu Isah dihampura. Tapi pa Dadang ngawanti-wanti mun hayang ngamekarkeun UMKM di lembur mah kudu laporan heula sing béntés ngarah jelas prak-prakanna, lamun bisa mah ngarahkeun urang lembur supaya bisa ilubiung dina saban kagiatan, boh kagiatan PKK atawa kagiatan sosial lianna. Nu matak pa Dadang bisa jadi pa RT genep période téh sabab manéhna bisa dipercaya pikeun jadi pamingpin urang lembur Sugih.

***

Kuéh Kakarén Taun Pulitik

          “Sah…!” Kitu ceuk urang lembur Sugih kabéh harita basa pa Dadang punjul jadi RT di dinya. Urang lembur pada kaleprok ka pa Dadang anu geus punjul dina pemilihan ketua RT di lembur Sugih.

          Wah,, haturan pa, tos janten RT lima periode, ayeuna meureun anu ka genep. Mugia apanjang-upunjung lemburna.” Cék sainganana.

          “Alhamdulillah, aamiin. Hatur nuhun kana perhatosanna, hapunten nya pajeng waé,” saur pa Dadang bari sura-seuri.

          Salila Pa Dadang nyepeng kalungguhan RT lima periode, manéhna nyieun rupa-rupa kagiatan di lembur Sugih, salah sahijina mekarkeun paguyuban ibu-ibu PKK. Tapi, najan paguyuban ibu-ibu PKK geus aya kira dua taunna, anu jadi anggotana mah ngan tiluan, nyéta ceu Linda, ceu Mumun, jeung ceu Isah.

          Saréngséna kagiatan pemilihan ketua RT, ceu Mumun boboléh ka pa Dadang. “Pa, ayeuna bapa jadi deui pa RT deui. Kanggé tasyakur bini’mahna punjul janten RT jadi anu ka genep periodena, abdi salaku ‘budak asuhan’ bapa badé ngapromosikeun ‘kuéh législatif’ ka bapa sareng ka urang lembur.”

          “Euleuh-euleuh, kueh naon éta, mani asa kakara nadéngé, ceu? Buatan ibu-ibu PKK?” saur pa Dadang bari kerung mikiran éta kadaharan.

          “Pokona mah, antosan pagéto tamat pa, engké ogé bapa terang nyalira. Lamun tiasa mah pa, mangga dibéwarakeun ka urang lembur, supados janten mitra UMKM.” Cék ceu Mumun bari cungar-cengir, tuluy ngaléos nyampeurkeun balad sapaguyubanna.

          Pa Dadang anu masih bingung kana omongan ceu Mumun, tuluy leumpang kana podium pemilihan, pa Dadang ngahurungkeun mik sepiker tuluy méré béwara ka urang lembur Sugih sadaya. “Ka bapa-bapa kalih ibu-ibu sadaya. Dina raraga tasyakur sim kuring jadi RT anu ka genep kalina, kuring ngulem ka bapa-ibu sadaya, diantos di bumina ceu Mumun dina dinten salasa minggon payun”Baris diwanohkeun “kue législatif.”

          Puguh, ngadéngé béwara ti pa Dadang siga kitu, urang lembur Sugih pada baringung. Kabéh panasaran naon ari kue legislative. Saharita langsung raribut. Malah aya ogé urang lembur anu neundeun duit ka pa Dadang, panasaran hayang nyaho kumaha “kuéh législatif” téh. Kawénéhan harita oge keur usumna calon législatif daratang ka lembur-lembur sabab rék mayunan pilkada, caritana rék ménta dukungan.

Budak ceu Linda anu kabeneran keur aya di éta patempatan nyikikik seuri tuluy ngomong ka budakna ceu Mumun. “Watir teuing pa RT jeung urang lembur beunang ‘scam’ ti indung manéh.”

          “Baé lah. Berarti bener ceuk pamaréntah ogé, urang pilemburan mah masih loba kénéh anu telmi, telat mikir.” Ceuk budakna ceu Mumun bari seseurian. Geus kitu mah, soloyor duanana rék arulin jeung balad-baladna nu lian.

***

          Isukna, ceu Mumun datang ka imahna ceu Linda bari mamawa kérések eusi balanjaan ti pasar. Manéhna keketrok panto bari luak-lieuk ka sakuriling, teuing naon alesanna. Barang bral pantona dibukakeun ku ceu Linda, ceu Mumun langsung berebet asup ka jero tuluy ngajak diuk sagancangna.

          “Kunaon sih ceu, mani buru-buru pisan atuh.” Ceuk ceu Linda semu kesel pédah reuwaseun ku ceu Mumun.

          “Pokona mah kieu. Kamari abi janji ka pa Dadang rék nyieun kuéh, ayeuna bantuan abi nyieun ‘kuéh législatif’.” Cék ceu Mumun bari nutupkeun panto

          “Euleuh, paingan buru-buru kitu. Hayu atuh kadieu, kaluarkeun bahan-bahanna.”

          Ceu Mumun jeung ceu Linda tuluy pak pik pek di dapur nyieun “kuéh législatif”. Ari keur sibuk di dapur, torojol budakna ceu Mumun rék nyampeur budakna ceu Linda ulin. Ari budakna ceu Mumun nempo indungna keur aya di dapurna. Manéhna tuluy nanya. “Mah, keur nyieun naon di dieu?”

          “Keur nyieun ‘kuéh législatif’, émang naon kitu?” Ceu Mumun malik nanya.

          “Oh…” Ceuk budakna. Tuluy manéhna ngomong deui. “Mah, pamali siah mamah geus nipu pa RT jeung urang lembur kabéh.”

          “Manéh wé éta mah. Ari mamah nipu naon?”

          “Ari éta ‘kuéh législatif’ ideu mamah, pan éta téh sabenerna mah lain nu kitu. Terus ku mamah ké dijualan ka urang lembur, pédah urang lembur teu terangeun rusiahna. Watir atuh, urang lembur beunang ‘scam’ ti mamah.” Budak ceu Mumun mamatahan.

          “Yeuh, mamah mah ngan bade jualan, terus dimana salahna?”

          “Nya salah. Mamah geus méré arepan palsu. Urang lembur mah meureun ngarep-ngarep nu kumaha kuéh téh, ari pék téh sami-sami kénéh nu kitu.”

          “Baé ah éta mah lain salah mamah, bongan saha hayang waé percaya omongan mamah.”

          “Oh terserah. Ngan engké ku abi bade dibocorkeun rusiahna éta kuéh téh ka warga sadayana.” Cék budakna ceu Mumun bari ngemu kakesel. Ngadéngé budakna rék ngabocorkeun rusiahna, ceu Mumun langsung ngupahan. Tapi tetep baé budakna kesel.

          “Naon atuh kahayang manéh téh. Duit jang jajan?” Ceu Mumun masih keur ngupahan budakna ngarah teu ngabocorkeun rusiah “kuéh législatif”.

          “Enya atuh, meni teu pekaan pisan kana kahayang abi” Cék budakna bari kukulutus.

          “Tah duit mah, bawa wé. Tapi inget tong dibéja-béja ka sasaha mamah geus nipu.” Ceuk ceu Mumun bari nuluykeun ngaduk. Budakna seuri bari ugeuk-ugeukan, tuluy ngaléos jeung budakna ceu Linda anu geus nungguan ti tadi.

          Teu sawatara lila, torojol ceu Isah datang ka imahna ceu Linda. Sanggeus asup, ceu Isah ngomong. “Meni teu béja-béja rék nyieun kuéh téh.”

          “Tadina tuda buru-buru, bisi kanyahoan ku urang lembur ari rék ukur nyieun nu kieu hungkul mah.”

          “Oh nya, tadi abi pendak jeung pamajikanna pa Dadang, cénah ké pa Dadang rék kadieu isukan nempo heula barangna, geus jadi atawa acan.”

          Puguh, ngadéngé béja siga kitu mah, ceu Mumun jeung ceu Linda hariweusweus, sabab rusiah “kuéh législatif” téh bakal kabongkar. Tungtungna mah, pagawéan téh ditunda heula sapoéeun deui, da sieun kanyahoan ku pa Dadang yén éta téh lain adonan kuéh législatif pesenanna urang lembur.

***

          Heuleut sapoé. pabeubeurang, pa Dadang jeung pamajikanna datang ka imahna ceu Linda, rék nempo hasil pagawéan paguyuban ibu-ibu PKK téh. Barang neupi ka imahna, kasampak ceu Linda, ceu Mumun, jeung ceu Isah geus ngariung di dapur. Ana pa Dadang ningalian saeusi dapur, tuluy ngomong. “Euleuh-euleuh, geningan masih kénéh ngadonan kuéh, ari sugan téh tos aya anu asak.”

          Ceu Mumun seuri heureuy, tuluy ngomong. “Muhun pa RT. Adonanna téh can siap, margi kamari aya masalah sakedik, tapi da ayeuna mah tos lancar deui.”

          Sabenerna mah ceu Mumun jeung balad sapaguyubanna rada geumpeur lantaran pa Dadang jeung pamajikanna geus aya tilu jamna nempoan maranéhanana gawé nyieun “kuéh législatif” téh, sieuneun kapanggiheun maranéhanana geus nipu. Adonan kawas teu maju-maju waé jadi kuéh, angger baé cicing dina wadah baskom ngajentul, ari maranéhanana ukur gawé teu puguh. Ceu Mumun anteng dina wastafel, ceu Linda tonggoy dina lomari wadah samara, ceu Isah cindekul nunungguan oven anu ditagogkeun luhureun kompor.

          Tungtungna mah pa RT Dadang jeung pamajikanna ninggalkeun paguyuban ibu-ibu PKK rék nguruskeun pagawéan séjén. Geus euweuh mah, ceu Mumun, ceu Linda, jeung ceu Isah geuwat nuluykeun deui pagawéanna nyieun “kuéh législatif” anu can bérés. Adonan anu geus jadi ditambrukeun kabéh dina Loyang, tuluy diasupkeun kana oven anu handapana geus cakeutreuk hideung ku jalaga bales lila teuing ditagogkeun saluhureun kompor hurung tilu jamna. Hadéna wé teu matak picilakaeun.

***

          Kocap isukna geus dongkap kana poé salasa. Pasosoré, urang lembur Sugih jeung pa RT Dadang nyumpingan ka imahna ceu Mumun rék nempo naon sabenerna anu ngaranna “kuéh législatif” téh. Caritanana téh, urang lembur ogé rék niat bari silaturahmi, jadi maranéhanana mamawa dus kotak dahareun séwang-séwangan bari dikérésékan.

          Barang datang ka imahna ceu Mumun, urang lembur geus nempoan panggung leutik di buruan imahna. Di dinya geus aya paguyuban ibu-ibu PKK, taratih hareupeun méja anu kacirina aya barang anu ngahaja ditutupan ku sangku. Sagigireunna, aya pa RT Dadang jeung pamajikanna kaciri geus nunungguan éta sangku dibuka.

          Datang budakna ceu Mumun jeung ceu Linda bari ngangajak budakna pa Dadang anu karék bérés ulin jeung maranéhanana. Bari luak-lieuk, budak ceu Mumun tuluy ngaharéwos ka budakna pa Dadang. “Éh, ari kuéh téh kumaha?”

          “Geus aman lah. Ayeuna mah nu bakal kapok téh indung manéh, bongan geus nipu. Baé nya indung manéh bakal dinyenyeri haténa.” Ceuk budakna pa Dadang.

          “Baé lah, tuman. Sina Insaf saenggeus kieu mah.” Budak ceu Mumun rada semu camberut bari tungkul.

          Sedengkeun éta budak anu tiluan haharéwosan. Ceu Mumun jeung dua baladna ngabagikeun dus dahareun eusi “kuéh législatif” ka tamu-tamu anu haladir. Bari dipasihan saurang sadus, ceu Mumun ogé nampi dus dahareun ti urang lembur. Ti katinggaleun, pa Dadang ogé kabagéan dus dahaeun ti ceu Mumun.

          Geus kabagéan kabéh, tuluy ceu Mumun unjukan ka pa RT sangkan ngitung mundur ngarah urang lembur bisa muka dus eusi kuéh téh babarengan. Bari nyikikik seuri, ceu Mumun tuluy ngumpulkeun dus dahareun ti urang lembur di saluhureun méja panggung.

          “Hiji… dua… tilu…, sok atuh mangga dibaruka sareng mangga geura dilaleueut haturanna.” Ceuk pa Dadang.

          Ana brak dibaruka dusna, ceu Mumun, ceu Linda jeung ceu Isah kalah pada ngajéréwét, urang lembur Sugih pada héran bari sawaréh aya nu sareuri. Singhoréng ceu Linda jeung paguyubaan ibu-ibu PKK meunang jebakan ti urang lembur. Maranéhanana meunang dahareun sarua anu dibikeun ka urang lembur, si kuéh ”legislatif” tea. Nyatana “kuéh législatih” téh  ukur kuéh lapis legit anu geus pasaran.

          “Kumaha ceu Mumun, katampi kuéhna?” Cék pa Dadang bari nyikikik seuri.

          “Euh…! Ieu saha anu wani ngabongkar rusiahna kuéh jieunan urang, kan teu jadi untung kalah jadi buntung. Pasti ulah manéh ieu mah!” Ceu Mumun kukulutus bari nyentikkeun curukna ka budakna.

          “Sanes abi, mah. Tuh budakna pa Dadang anu ngabéjaan urang salembur téh, manéhna geus nyahoeun rencana mamah jadi teu anéh matak gagal ogé,” ceuk budakna bari nunjuk budakna pa RT.

          “Euleuh-euleuh ceu Mumun, matakna ari jadi jalma ulah sok nipu ka batur, kumaha lamunna dibalikkeun. Ulah karana hayang duit loba bari embung mikir jeung kerja keras, ideu kréatif anu sakirana ‘garing’ diréalisasikeun, tuluy dikoar-koar ka batur. Paribasana goong nabeuh manéh, hayang kaaku gawé ku batur…” Pa RT Dadang mani haripeut  mamatahan ceu Mumun jeung balad sapaguyubanna anu geus culas ka urang lembur.

          “Enya, hapunten abi. Abi rumasa geus culas ka urang lembur sadaya, tos nipu ka pala wargi sadaya ku ayana promosi ieu produk, tos nguciwakeun lantaran abi ngan tiasa ngapromosikeun kuéh siga kieu. Manawi pala wargi sadaya bade ngahapunten ka abi.” Cék ceu Mumun bari ngupahan.

          Singgetna mah, urang lembur Sugih embung manjangkeun masalah, ahirna mah ceu Mumun, ceu Linda, sareng ceu Isah dihampura. Tapi pa Dadang ngawanti-wanti mun hayang ngamekarkeun UMKM di lembur mah kudu laporan heula sing béntés ngarah jelas prak-prakanna, lamun bisa mah ngarahkeun urang lembur supaya bisa ilubiung dina saban kagiatan, boh kagiatan PKK atawa kagiatan sosial lianna. Nu matak pa Dadang bisa jadi pa RT genep période téh sabab manéhna bisa dipercaya pikeun jadi pamingpin urang lembur Sugih.

***