Mading Digital

NESAMA
  • Sarana dan Prasarana

    Sarana dan Prasarana SMPN 1 Malangbong

  • Home

    Mading Digital SMPN 1 Malangbong

  • Informasi

    Info Grafis SMPN 1 Malangbong

  • Informasi

    Program Unggulan SMPN 1 Malangbong

Misteri Dibalik Hilangnya Ibuku

 Misteri Dibalik Hilangnya Ibuku


Karya: Naira Hilmiyah 

Kelas: 9G 



Jalanan gelap menemani diriku. Gelapnya malam di hari ini cukup membuat hatiku terpuruk. Dengan langkah kecil aku terus berjalan menyelusuri germelap di malam ini. 

Samar-samar aku mendengar suara seorang anak kecil dari jalanan yang ada di depan sana. Dengan rasa penasaran yang membara, aku pun berlari untuk menemukan sumber suara tersebut. 



Langkah kaki ini berhenti saat mendengar suara seorang wanita paruh baya yang memanggilku.


" Gadis kecil!! Jangan kesana."

Ucap wanita paruh baya itu. Aku mengerutkan kening ku, binggung akan perkataan dari wanita paruh baya itu.



" Pergi dari sini gadis kecil !!"


"Tapi nek, aku ga tau jalan pulangnyaa."

Ucapku sambil mendekatkan diriku pada nenek tua itu.


"Lantas mengapa kamu bisa berada di sini, Rena!!"

Terdengar jika nada suara dari nenek tua itu meninggi. Aku terdiam selama beberapa saat, belum akhirnya aku memberanikan diriku untuk memberitahukan tujuan ku ke sini.


"A-aku, aku sedang mencari seorang gadis yang telah membunuh ibuku."

Ucapku dengan raut wajah penuh dengan kesedihan. Nenek tua itu membelai lembut rambutku dan menggenggam jemari tangan ku.


"Kalo begitu mari ikut nenek, ini sudah malam."

Ucapnya yang ku balas anggukan. 




Selang beberapa menit akhirnya aku sampai di rumah nenek tua itu. Tak ku sangka jika nenek tua ini memiliki rumah mewah di tengah hutan seperti ini.


"Nek? Ini beneran rumah Nenek?"

Tanyaku memastikan, terlihat jika nenek tua itu mengukir senyuman manisnya. 


"Iya cu, ini rumah nenek."

Aku tersenyum saat nenek tua itu mempersilahkan aku untuk masuk ke dalam rumahnya.


Suasana sepi itu mengiringi setiap ruangan yang ada di dalam rumah nenek tua ini.



"Cuu, kalo kamu mau tidur kamu bisa tidur di dalam kamar ini yah?"

Aku menganggukkan kepalaku dan masuk ke dalam salah satu kamar yang cukup besar.



Suara pintu kamar tertutup. Pandanganku menatap rinci setiap penjuru kamar ini. Mataku terpaku saat melihat sebuah buku tua yang tersimpan rapih di atas lemari tua itu.


Dengan susah payah aku mengambil buku tua itu. Rasa penasaran terus melanda diriku, hingga pada akhirnya aku memberanikan diri untuk membaca setiap hal yang tertulis di dalam buku tersebut.


***


Tepatnya di pukul 00:00 malam, aku masuk kedalam kamar nenek tua itu. 


"Ngapain kamu di sini cu?"

Tanya nenek tua itu yang membuatku bergejolak kaget. Aku tersenyum tipis saat melihat nenek tua itu mendekat ke arahku.



Brak


"Aww, APA APAAN KAMU!!"

Bentak nenek tua itu saat aku membanting tubuh nenek tua itu ke lantai. Tanpa menjawab pertanyaan dari nenek tua itu, aku tersenyum sambil menampilkan satu buku tua yang aku temukan di malam tadi.


Nenek tua itu membelototkan matanya, saat melihat buku tua itu berada di tanganku.


"K-kenapa buku itu bisa ada di kamu? S-siapa kamu sebenarnya!!"



"Aku? Aku adalah anak dari wanita yang pernah kamu bunuh!!"



Flashback on 



Di saat aku tengah asik membaca buku tua itu, aku di kejutkan oleh beberapa lembar Poto yang tercantum jelas di sana. Dimana Poto tersebut menampilkan seorang wanita cantik yang tengah asik berbincang bersama nenek tua itu.


Lalu di gambar selanjutnya, terlihat jika nenek tua itu tengah berusaha untuk membunuh wanita cantik itu yang ternyata ia adalah ibuku. 


Amarahku semakin memuncak saat melihat nenek tua itu yang tengah tertawa puas melihat ibuku yang sudah tak bernyawa. 



" SELANJUTNYA ANAKMU LAH YANG AKAN MENJADI KORBAN KU, KIRANTI."


Tulisan itu lah yang terpampang jelas di bawah Poto itu. 



Flashback off 



"Hahaha, ternyata kamu adalah anak dari wanita kupu-kupu itu. Siap-siap saja kamu akan menjadi korbanku selanjutnya."

Ucap nenek tua itu sambil menampilkan sorot mata tajam penuh dendam.


Srettt



"Ga semudah itu, nenek tua!!"

Ucapku sambil menggoreskan satu sayatan di pipi wanita tua bangka itu.



"ARGH!! SAMPAI KAPAN PUN AKU GA BAKALAN BIARIN KELUARGA KALIAN LEPAS BEGITU SAJA!! KAMU HARUS MATI DI TANGANKU!!"


Aku berjalan mendekat ke arahnya dan mengcengkram kuat rahangnya.


"Apa salah ibuku sampai-sampai kamu tega melakukan ini semua!!"

Ucapku sambil terus mencekram erat rahang nenek tua itu.


"Karna wanita itu yang pandai dalam memfitnah seseorang, aku harus merasakan bagaimana rasanya di siksa dan di usir oleh satu kampung!! Ibumu bukan wanita baik-baik cu!! Dia ga pantas hidup!!!"



Dor



"KAMU GA PANTES BUAT HINA IBU AKU!!"

Bentak ku sambil melepaskan satu peluru yang langsung menembus wajahnya. 


"K-kamu akan menyesal cu."

Tekan nenek tua itu sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.



BRUG



"Awww"

Ringisku saat ada seseorang wanita yang memukul kepala ku dari belakang. Aku mengalihkan pandangan ku untuk bisa lihat siapa wanita yang ada di belakang ku.



"Hai anakku, terima kasih karna sudah membantu ibumu untuk membunuh wanita tua bangka ini. Berkat mu akhirnya ibu bisa terus berkeliaran di dunia ini. Ternyata kamu bodo Rena, kamu telah menghabisi seseorang yang tidak berdosa itu. Haha tapi aku bahagia akan hal ini."

 Ucap ibuku sambil tersenyum licik dan melemparkan beberapa benda tajam yang mengenai tubuhku.


"Aww, apa yang ibu lakukan? Bagaimana bisa ibu hidup kembali?"



"Haha, aku tidak pernah mati, Rena. Jiwaku hanya terkurung di dalam tubuh wanita tua bangka itu. Oh ya, yang wanita tua bangka itu katakan semuanya benar, aku bukan orang baik Rena. HAHAHA"


Seluruh tubuhku membiru saat melihat ibuku mengeluarkan beberapa ramuan berwarna biru itu dan nyembur kannya kedalam tubuhku. Lama kelamaan aku kehilangan kesadaranku dan kini aku udah pergi dari dunia ini.



Ternyata penjahat yang selama ini aku cari-cari adalah ibuku sendiri. Ia yang selama ini membuat kericuhan dan kegaduhan di kampung itu.



Setelah kematian Rena, kampung tersebut kembali menjadi sunyi dan damai. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Ibu Rena, yang telah membunuh banyak orang, tidak pernah ditemukan lagi. Beberapa orang mengatakan bahwa dia telah melarikan diri ke tempat yang jauh, sementara yang lain mengatakan bahwa dia telah mati bersama dengan Rena.


Tahun-tahun berlalu, dan kampung tersebut kembali menjadi tempat yang indah dan damai. Namun, ada satu hal yang tidak pernah berubah. Cerita tentang Rena dan ibunya masih hidup di hati masyarakat kampung tersebut. Cerita tentang cinta, kebencian, dan pengorbanan.


Dan di tengah-tengah kampung tersebut, ada sebuah makam yang sederhana namun indah. Makam itu adalah makam Rena, anak yang telah mati untuk membela kampungnya. Di atas makam itu, terdapat sebuah prasasti yang bertuliskan:


"Rena, Semoga cintamu dan pengorbananmu tidak pernah dilupakan."

RAMADAN PERTAMA TANPA ABI

 RAMADAN PERTAMA TANPA ABI

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Kelas: 9K

Desember kelabu menyelimuti Jakarta. Hujan deras mengguyur kota, seolah ikut merasakan duka tiga bersaudara itu. Abu, Ari, dan Zaky duduk berdekatan di ruang keluarga, mata mereka terpaku pada foto Abi yang tersenyum hangat. Tepat di malam pergantian tahun, 31 Desember 2024, Abi mereka berpulang untuk selamanya.

"Ini Ramadan pertama tanpa Abi," bisik Abu, si sulung, suaranya tercekat. Ari, anak tengah, hanya mengangguk pelan, sementara Zaky, si bungsu, menunduk dalam, air matanya menetes tanpa bisa ditahan.

Kepergian Abi meninggalkan luka yang menganga, terutama bagi Zaky yang masih duduk di bangku SMP. Abi adalah pahlawan bagi mereka, sosok yang selalu ada di setiap langkah, memberikan semangat dan perlindungan. Kini, semua itu tinggal kenangan yang menyakitkan.

"Ingat, Umi selalu bilang, kita harus kuat," ucap Ari, berusaha tegar. Ia teringat pesan Umi yang telah lebih dulu berpulang enam tahun lalu. "Kita harus saling menjaga, seperti Abi dan Umi menjaga kita."

Ramadan kali ini terasa sangat berbeda. Tak ada lagi suara Abi yang membangunkan mereka untuk sahur, tak ada lagi canda tawa saat berbuka. Biasanya, Abi selalu mengajak mereka salat tarawih berjamaah di masjid dekat rumah. Kini, semua itu hanya bayangan yang berputar di kepala mereka.

"Kita harus tetap menjalankan Ramadan dengan sebaik-baiknya," kata Abu, berusaha menyemangati adik-adiknya. "Ini pasti berat, tapi kita tidak sendiri. Allah selalu bersama kita."

Malam pertama Ramadan, mereka bertiga salat tarawih di masjid. Suasana masjid yang ramai biasanya terasa menyenangkan, kini terasa sunyi dan hampa. Mereka merindukan kehadiran Abi di samping mereka, merindukan senyum teduh dan nasihat bijaknya.

Usai salat, mereka berziarah ke makam Abi dan Umi. Di sana, mereka berdoa, memohon ampunan dan rahmat bagi kedua orang tua mereka. Zaky tak kuasa menahan tangis, ia merindukan pelukan hangat Umi, senyum teduh Abi.

"Abi, Umi, kami merindukan kalian," bisiknya di antara isak tangis.

Sepanjang Ramadan, mereka berusaha mengisi hari-hari dengan kegiatan positif. Mereka membantu tetangga yang membutuhkan, berbagi takjil di masjid, dan membaca Al-Qur'an bersama. Mereka ingin membuat Abi dan Umi bangga di sana.

Di malam Lailatul Qadar, mereka bertiga bermunajat di kamar, memohon ampunan dan petunjuk dari Allah. Mereka berjanji akan menjaga amanah Abi dan Umi, untuk selalu rukun dan saling menyayangi.

Hari raya Idulfitri tiba. Mereka bertiga mengenakan baju baru, pemberian dari kerabat. Mereka saling bermaaf-maafan, berusaha memaafkan segala kesalahan.

"Ini Idulfitri pertama tanpa Abi," kata Abu, matanya berkaca-kaca. "Tapi kita harus tetap bersyukur, karena kita masih memiliki satu sama lain."

Mereka bertiga berziarah ke makam Abi dan Umi, lalu berkumpul bersama keluarga besar. Meski tanpa kehadiran orang tua, mereka tetap merasakan kehangatan dan kasih sayang dari keluarga.

Ramadan kali ini mengajarkan mereka tentang arti kehilangan, kesabaran, dan ketegaran. Mereka belajar bahwa hidup terus berjalan, dan mereka harus tetap kuat menghadapinya.

"Abi dan Umi selalu ada di hati kita," kata Aru, menatap kedua adiknya. "Kita akan selalu menjaga kenangan indah bersama mereka."

Mereka bertiga berpelukan, saling menguatkan. Mereka tahu, meski tanpa Abi dan Umi, mereka tidak sendiri. Mereka memiliki satu sama lain, dan mereka memiliki Allah yang selalu menyayangi mereka.

Enam tahun berlalu sejak kepergian Umi, dan kini Abi menyusulnya. Meski waktu telah berlalu, rindu mereka tak pernah padam. Kenangan tentang Umi dan Abi selalu hadir dalam setiap langkah mereka.

Abu, Ari, dan Zaky telah tumbuh menjadi pemuda yang mandiri dan bertanggung jawab. Mereka berusaha mewujudkan impian Abi dan Umi, untuk menjadi anak-anak yang saleh dan sukses.

Setiap Ramadan, mereka selalu mengenang kebersamaan mereka bersama Abi dan Umi. Mereka ingat bagaimana Umi selalu menyiapkan hidangan sahur dan berbuka yang lezat, bagaimana Abi selalu mengajak mereka salat tarawih berjamaah, dan bagaimana mereka selalu berkumpul bersama keluarga besar di hari raya Idulfitri.

"Umi selalu mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dan berbagi," kata Abu, mengenang Umi.

"Abi selalu mengajarkan kita untuk selalu jujur dan bertanggung jawab," timpal Ari, mengenang Abi.

"Aku merindukan pelukan hangat Umi dan nasihat bijak Abi," kata Zaky, matanya berkaca-kaca.

Meski rindu, mereka tidak larut dalam kesedihan. Mereka berusaha mengisi hari-hari mereka dengan kegiatan positif, seperti yang diajarkan Abi dan Umi. Mereka aktif dalam kegiatan sosial, membantu sesama yang membutuhkan, dan menjaga silaturahmi dengan keluarga dan teman-teman.

Setiap malam, mereka selalu berdoa untuk Abi dan Umi, memohon ampunan dan rahmat bagi mereka. Mereka yakin, Abi dan Umi selalu mengawasi mereka dari sana, dan mereka ingin membuat Abi dan Umi bangga.

Ramadan kali ini, mereka bertekad untuk menjalankan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya. Mereka ingin merasakan keberkahan Ramadan, seperti yang selalu diajarkan Abi dan Umi.

"Kita harus menjaga amanah Abi dan Umi," kata Abu, menyemangati adik-adiknya. "Kita harus menjadi anak-anak yang saleh dan sukses, seperti yang mereka harapkan."

Ari dan Zaky mengangguk setuju. Mereka berjanji akan selalu menjaga amanah Abi dan Umi, dan mereka akan selalu menyayangi satu sama lain.

"Kita akan selalu bersama, seperti Abi dan Umi selalu bersama," kata Zaky, tersenyum.

Mereka bertiga berpelukan, saling menguatkan. Mereka tahu, meski tanpa Abi dan Umi, mereka tidak sendiri. Mereka memiliki satu sama lain, dan mereka memiliki Allah yang selalu menyayangi mereka.

RINDU YANG BERTEMU TINJU

 RINDU YANG BERTEMU TINJU

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Kelas: 9K

Fadhil menatap nanar foto kakaknya, Faiz, yang terpajang di dinding kamar. Senyum Faiz di foto itu terlihat hangat dan bersahabat, sangat berbeda dengan wajahnya yang sering kali masam saat mereka bertengkar. Sudah tiga bulan Faiz di pesantren, dan Fadhil merasa rumah mereka terlalu sepi.

"Kak Faiz, kapan pulang?" gumam Fadhil sambil mengusap debu di bingkai foto. Ia merindukan Faiz, meskipun setiap kali kakaknya pulang, mereka selalu bertengkar.

Fadhil ingat, Faiz selalu mengganggunya. Menyembunyikan buku pelajaran, menarik selimut saat tidur, atau mengolok-oloknya di depan teman-teman. Tapi, di balik itu, Faiz selalu melindunginya dari anak-anak nakal di lingkungan rumah. Faiz juga yang mengajarinya bermain sepak bola, meskipun seringkali berakhir dengan Fadhil yang menangis karena kalah.

"Mungkin kalau Kak Faiz pulang, kita bisa main sepak bola lagi," pikir Fadhil. Ia membayangkan mereka berdua tertawa bersama di lapangan, tanpa pertengkaran.

Suatu sore, Ibu memberi kabar bahwa Faiz akan pulang akhir pekan ini. Fadhil melonjak kegirangan. Ia langsung membersihkan kamar mereka, menata buku-buku, dan menyusun mainan. Ia ingin kamar itu terlihat rapi dan nyaman saat Faiz pulang.

Hari kepulangan Faiz tiba. Fadhil menunggu di depan pintu dengan hati berdebar. Ketika mobil yang membawa Faiz tiba, Fadhil langsung berlari dan memeluk kakaknya erat-erat.

"Kak Faiz, aku kangen banget!" seru Fadhil.

Faiz tersenyum dan membalas pelukan adiknya. "Kakak juga kangen sama kamu, Fadhil."

Mereka masuk ke rumah bersama, dan suasana langsung berubah menjadi ramai. Fadhil menceritakan semua hal yang terjadi selama Faiz pergi, dari nilai ulangan yang bagus hingga pertandingan sepak bola yang dimenangkannya. Faiz mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menyelipkan lelucon yang membuat mereka berdua tertawa.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Saat mereka sedang bermain video game, terjadi perbedaan pendapat tentang strategi permainan. Faiz menyalahkan Fadhil yang dianggapnya tidak becus, dan Fadhil membela diri.

"Kakak juga salah! Kenapa malah nyalahin aku?" bentak Fadhil.

"Kamu yang salah, Fadhil! Gak bisa main game aja belagu!" balas Faiz.

Pertengkaran pun pecah. Mereka saling dorong dan pukul, seperti yang sering mereka lakukan dulu. Ibu datang dan melerai mereka, lalu menyuruh mereka masuk ke kamar masing-masing.

Fadhil duduk di tempat tidur dengan perasaan kesal dan sedih. Ia merindukan Faiz, tapi kenapa setiap kali mereka bertemu, mereka selalu bertengkar?

Malam harinya, Fadhil tidak bisa tidur. Ia memikirkan Faiz, kakaknya yang selalu membuatnya kesal tapi juga selalu melindunginya. Ia ingat saat Faiz membelanya dari anak-anak nakal, saat Faiz mengajarinya naik sepeda, dan saat Faiz membelikannya es krim favoritnya.

Fadhil merasa bersalah. Ia tahu bahwa ia juga sering memancing pertengkaran dengan Faiz. Ia selalu ingin menang sendiri dan tidak mau mengalah.

Fadhil memutuskan untuk meminta maaf kepada Faiz. Ia keluar dari kamar dan mengetuk pintu kamar kakaknya.

"Kak Faiz, boleh aku masuk?" tanya Fadhil.

Faiz membuka pintu dan mempersilakan adiknya masuk. Mereka duduk di tempat tidur, saling berhadapan.

"Kak, maafin aku ya," kata Fadhil. "Aku tahu aku sering bikin Kakak kesal."

Faiz tersenyum dan mengangguk. "Kakak juga minta maaf, Fadhil. Kakak juga sering kelewatan."

Mereka berdua terdiam sejenak, lalu Fadhil berkata, "Kak, besok kita main sepak bola ya?"

"Boleh," jawab Faiz. "Tapi jangan nangis kalau kalah ya."

Fadhil tertawa dan memukul lengan kakaknya pelan. "Siapa takut!"

Mereka berdua tertawa bersama, dan Fadhil merasa lega. Ia tahu bahwa meskipun mereka sering bertengkar, Faiz tetaplah kakaknya yang ia sayangi.

Keesokan harinya, mereka bermain sepak bola di lapangan seperti yang mereka janjikan. Mereka tertawa, bercanda, dan saling menggoda. Tidak ada pertengkaran, hanya kebahagiaan.

Fadhil menyadari bahwa ia tidak perlu memilih antara merindukan Faiz dan bertengkar dengannya. Ia bisa merindukan Faiz dan tetap bertengkar dengannya, karena itulah dinamika persaudaraan mereka. Dan di balik semua pertengkaran itu, ada kasih sayang yang tulus dari seorang kakak kepada adiknya.

Mimpi yang terkubur

 Mimpi yang terkubur



Karya: Dhia Silmi Atiyah
Kelas: 8E


sudah lama aku bermimpi menjadi seseorang yang berprestasi. Aku memiliki banyak cita-cita yang tinggi, harapan yang besar, dan tekad yang kuat. Segala usaha telah kulakukan demi menggapai mimpi itu.

 Aku sering membayangkan betapa indahnya jika namaku disebut karena sebuah prestasi, bagaimana rasanya berdiri dengan bangga atas pencapaianku sendiri.


Namun, kenyataan berkata lain. Setiap hari, aku hanya bisa membayangkan semua itu tanpa benar-benar meraihnya. Tugasku lebih banyak di rumah, membantu orang tuaku. Terkadang, ketika teman-temanku berbicara tentang keluarga mereka, aku merasa iri. Aku ingin merasakan apa yang mereka rasakan, tetapi aku juga berusaha tetap bersyukur atas apa yang kumiliki.


Bukan berarti aku tidak bersyukur, tetapi mengapa takdirku seperti ini? aku tidak menyalahkan siapa pun, apalagi ayah dan ibuku. Justru, aku menyalahkan diriku sendiri. Mengapa aku tidak bisa menjadi seperti mereka? mengapa mimpiku terasa begitu jauh?.


Setiap pagi, aku mendengar tangisan orang tuaku. Mereka meratapi keadaan ekonomi yang sulit, tetapi tetap berusaha sekuat tenaga demi masa depanku. Aku tahu mereka selalu ingin memberikan yang terbaik untukku, meskipun aku tak pernah meminta mereka untuk mengorbankan segalanya.


Hal yang paling aku sesali adalah aku belum bisa membalas semua pengorbanan mereka. Mereka telah berusaha sebaik mungkin untukku, tetapi aku belum mampu menjadi yang terbaik untuk mereka.