Mading Digital

NESAMA
  • Sarana dan Prasarana

    Sarana dan Prasarana SMPN 1 Malangbong

  • Home

    Mading Digital SMPN 1 Malangbong

  • Informasi

    Info Grafis SMPN 1 Malangbong

  • Informasi

    Program Unggulan SMPN 1 Malangbong

Misteri Dibalik Hilangnya Ibuku

 Misteri Dibalik Hilangnya Ibuku


Karya: Naira Hilmiyah 

Kelas: 9G 



Jalanan gelap menemani diriku. Gelapnya malam di hari ini cukup membuat hatiku terpuruk. Dengan langkah kecil aku terus berjalan menyelusuri germelap di malam ini. 

Samar-samar aku mendengar suara seorang anak kecil dari jalanan yang ada di depan sana. Dengan rasa penasaran yang membara, aku pun berlari untuk menemukan sumber suara tersebut. 



Langkah kaki ini berhenti saat mendengar suara seorang wanita paruh baya yang memanggilku.


" Gadis kecil!! Jangan kesana."

Ucap wanita paruh baya itu. Aku mengerutkan kening ku, binggung akan perkataan dari wanita paruh baya itu.



" Pergi dari sini gadis kecil !!"


"Tapi nek, aku ga tau jalan pulangnyaa."

Ucapku sambil mendekatkan diriku pada nenek tua itu.


"Lantas mengapa kamu bisa berada di sini, Rena!!"

Terdengar jika nada suara dari nenek tua itu meninggi. Aku terdiam selama beberapa saat, belum akhirnya aku memberanikan diriku untuk memberitahukan tujuan ku ke sini.


"A-aku, aku sedang mencari seorang gadis yang telah membunuh ibuku."

Ucapku dengan raut wajah penuh dengan kesedihan. Nenek tua itu membelai lembut rambutku dan menggenggam jemari tangan ku.


"Kalo begitu mari ikut nenek, ini sudah malam."

Ucapnya yang ku balas anggukan. 




Selang beberapa menit akhirnya aku sampai di rumah nenek tua itu. Tak ku sangka jika nenek tua ini memiliki rumah mewah di tengah hutan seperti ini.


"Nek? Ini beneran rumah Nenek?"

Tanyaku memastikan, terlihat jika nenek tua itu mengukir senyuman manisnya. 


"Iya cu, ini rumah nenek."

Aku tersenyum saat nenek tua itu mempersilahkan aku untuk masuk ke dalam rumahnya.


Suasana sepi itu mengiringi setiap ruangan yang ada di dalam rumah nenek tua ini.



"Cuu, kalo kamu mau tidur kamu bisa tidur di dalam kamar ini yah?"

Aku menganggukkan kepalaku dan masuk ke dalam salah satu kamar yang cukup besar.



Suara pintu kamar tertutup. Pandanganku menatap rinci setiap penjuru kamar ini. Mataku terpaku saat melihat sebuah buku tua yang tersimpan rapih di atas lemari tua itu.


Dengan susah payah aku mengambil buku tua itu. Rasa penasaran terus melanda diriku, hingga pada akhirnya aku memberanikan diri untuk membaca setiap hal yang tertulis di dalam buku tersebut.


***


Tepatnya di pukul 00:00 malam, aku masuk kedalam kamar nenek tua itu. 


"Ngapain kamu di sini cu?"

Tanya nenek tua itu yang membuatku bergejolak kaget. Aku tersenyum tipis saat melihat nenek tua itu mendekat ke arahku.



Brak


"Aww, APA APAAN KAMU!!"

Bentak nenek tua itu saat aku membanting tubuh nenek tua itu ke lantai. Tanpa menjawab pertanyaan dari nenek tua itu, aku tersenyum sambil menampilkan satu buku tua yang aku temukan di malam tadi.


Nenek tua itu membelototkan matanya, saat melihat buku tua itu berada di tanganku.


"K-kenapa buku itu bisa ada di kamu? S-siapa kamu sebenarnya!!"



"Aku? Aku adalah anak dari wanita yang pernah kamu bunuh!!"



Flashback on 



Di saat aku tengah asik membaca buku tua itu, aku di kejutkan oleh beberapa lembar Poto yang tercantum jelas di sana. Dimana Poto tersebut menampilkan seorang wanita cantik yang tengah asik berbincang bersama nenek tua itu.


Lalu di gambar selanjutnya, terlihat jika nenek tua itu tengah berusaha untuk membunuh wanita cantik itu yang ternyata ia adalah ibuku. 


Amarahku semakin memuncak saat melihat nenek tua itu yang tengah tertawa puas melihat ibuku yang sudah tak bernyawa. 



" SELANJUTNYA ANAKMU LAH YANG AKAN MENJADI KORBAN KU, KIRANTI."


Tulisan itu lah yang terpampang jelas di bawah Poto itu. 



Flashback off 



"Hahaha, ternyata kamu adalah anak dari wanita kupu-kupu itu. Siap-siap saja kamu akan menjadi korbanku selanjutnya."

Ucap nenek tua itu sambil menampilkan sorot mata tajam penuh dendam.


Srettt



"Ga semudah itu, nenek tua!!"

Ucapku sambil menggoreskan satu sayatan di pipi wanita tua bangka itu.



"ARGH!! SAMPAI KAPAN PUN AKU GA BAKALAN BIARIN KELUARGA KALIAN LEPAS BEGITU SAJA!! KAMU HARUS MATI DI TANGANKU!!"


Aku berjalan mendekat ke arahnya dan mengcengkram kuat rahangnya.


"Apa salah ibuku sampai-sampai kamu tega melakukan ini semua!!"

Ucapku sambil terus mencekram erat rahang nenek tua itu.


"Karna wanita itu yang pandai dalam memfitnah seseorang, aku harus merasakan bagaimana rasanya di siksa dan di usir oleh satu kampung!! Ibumu bukan wanita baik-baik cu!! Dia ga pantas hidup!!!"



Dor



"KAMU GA PANTES BUAT HINA IBU AKU!!"

Bentak ku sambil melepaskan satu peluru yang langsung menembus wajahnya. 


"K-kamu akan menyesal cu."

Tekan nenek tua itu sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.



BRUG



"Awww"

Ringisku saat ada seseorang wanita yang memukul kepala ku dari belakang. Aku mengalihkan pandangan ku untuk bisa lihat siapa wanita yang ada di belakang ku.



"Hai anakku, terima kasih karna sudah membantu ibumu untuk membunuh wanita tua bangka ini. Berkat mu akhirnya ibu bisa terus berkeliaran di dunia ini. Ternyata kamu bodo Rena, kamu telah menghabisi seseorang yang tidak berdosa itu. Haha tapi aku bahagia akan hal ini."

 Ucap ibuku sambil tersenyum licik dan melemparkan beberapa benda tajam yang mengenai tubuhku.


"Aww, apa yang ibu lakukan? Bagaimana bisa ibu hidup kembali?"



"Haha, aku tidak pernah mati, Rena. Jiwaku hanya terkurung di dalam tubuh wanita tua bangka itu. Oh ya, yang wanita tua bangka itu katakan semuanya benar, aku bukan orang baik Rena. HAHAHA"


Seluruh tubuhku membiru saat melihat ibuku mengeluarkan beberapa ramuan berwarna biru itu dan nyembur kannya kedalam tubuhku. Lama kelamaan aku kehilangan kesadaranku dan kini aku udah pergi dari dunia ini.



Ternyata penjahat yang selama ini aku cari-cari adalah ibuku sendiri. Ia yang selama ini membuat kericuhan dan kegaduhan di kampung itu.



Setelah kematian Rena, kampung tersebut kembali menjadi sunyi dan damai. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Ibu Rena, yang telah membunuh banyak orang, tidak pernah ditemukan lagi. Beberapa orang mengatakan bahwa dia telah melarikan diri ke tempat yang jauh, sementara yang lain mengatakan bahwa dia telah mati bersama dengan Rena.


Tahun-tahun berlalu, dan kampung tersebut kembali menjadi tempat yang indah dan damai. Namun, ada satu hal yang tidak pernah berubah. Cerita tentang Rena dan ibunya masih hidup di hati masyarakat kampung tersebut. Cerita tentang cinta, kebencian, dan pengorbanan.


Dan di tengah-tengah kampung tersebut, ada sebuah makam yang sederhana namun indah. Makam itu adalah makam Rena, anak yang telah mati untuk membela kampungnya. Di atas makam itu, terdapat sebuah prasasti yang bertuliskan:


"Rena, Semoga cintamu dan pengorbananmu tidak pernah dilupakan."

RAMADAN PERTAMA TANPA ABI

 RAMADAN PERTAMA TANPA ABI

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Kelas: 9K

Desember kelabu menyelimuti Jakarta. Hujan deras mengguyur kota, seolah ikut merasakan duka tiga bersaudara itu. Abu, Ari, dan Zaky duduk berdekatan di ruang keluarga, mata mereka terpaku pada foto Abi yang tersenyum hangat. Tepat di malam pergantian tahun, 31 Desember 2024, Abi mereka berpulang untuk selamanya.

"Ini Ramadan pertama tanpa Abi," bisik Abu, si sulung, suaranya tercekat. Ari, anak tengah, hanya mengangguk pelan, sementara Zaky, si bungsu, menunduk dalam, air matanya menetes tanpa bisa ditahan.

Kepergian Abi meninggalkan luka yang menganga, terutama bagi Zaky yang masih duduk di bangku SMP. Abi adalah pahlawan bagi mereka, sosok yang selalu ada di setiap langkah, memberikan semangat dan perlindungan. Kini, semua itu tinggal kenangan yang menyakitkan.

"Ingat, Umi selalu bilang, kita harus kuat," ucap Ari, berusaha tegar. Ia teringat pesan Umi yang telah lebih dulu berpulang enam tahun lalu. "Kita harus saling menjaga, seperti Abi dan Umi menjaga kita."

Ramadan kali ini terasa sangat berbeda. Tak ada lagi suara Abi yang membangunkan mereka untuk sahur, tak ada lagi canda tawa saat berbuka. Biasanya, Abi selalu mengajak mereka salat tarawih berjamaah di masjid dekat rumah. Kini, semua itu hanya bayangan yang berputar di kepala mereka.

"Kita harus tetap menjalankan Ramadan dengan sebaik-baiknya," kata Abu, berusaha menyemangati adik-adiknya. "Ini pasti berat, tapi kita tidak sendiri. Allah selalu bersama kita."

Malam pertama Ramadan, mereka bertiga salat tarawih di masjid. Suasana masjid yang ramai biasanya terasa menyenangkan, kini terasa sunyi dan hampa. Mereka merindukan kehadiran Abi di samping mereka, merindukan senyum teduh dan nasihat bijaknya.

Usai salat, mereka berziarah ke makam Abi dan Umi. Di sana, mereka berdoa, memohon ampunan dan rahmat bagi kedua orang tua mereka. Zaky tak kuasa menahan tangis, ia merindukan pelukan hangat Umi, senyum teduh Abi.

"Abi, Umi, kami merindukan kalian," bisiknya di antara isak tangis.

Sepanjang Ramadan, mereka berusaha mengisi hari-hari dengan kegiatan positif. Mereka membantu tetangga yang membutuhkan, berbagi takjil di masjid, dan membaca Al-Qur'an bersama. Mereka ingin membuat Abi dan Umi bangga di sana.

Di malam Lailatul Qadar, mereka bertiga bermunajat di kamar, memohon ampunan dan petunjuk dari Allah. Mereka berjanji akan menjaga amanah Abi dan Umi, untuk selalu rukun dan saling menyayangi.

Hari raya Idulfitri tiba. Mereka bertiga mengenakan baju baru, pemberian dari kerabat. Mereka saling bermaaf-maafan, berusaha memaafkan segala kesalahan.

"Ini Idulfitri pertama tanpa Abi," kata Abu, matanya berkaca-kaca. "Tapi kita harus tetap bersyukur, karena kita masih memiliki satu sama lain."

Mereka bertiga berziarah ke makam Abi dan Umi, lalu berkumpul bersama keluarga besar. Meski tanpa kehadiran orang tua, mereka tetap merasakan kehangatan dan kasih sayang dari keluarga.

Ramadan kali ini mengajarkan mereka tentang arti kehilangan, kesabaran, dan ketegaran. Mereka belajar bahwa hidup terus berjalan, dan mereka harus tetap kuat menghadapinya.

"Abi dan Umi selalu ada di hati kita," kata Aru, menatap kedua adiknya. "Kita akan selalu menjaga kenangan indah bersama mereka."

Mereka bertiga berpelukan, saling menguatkan. Mereka tahu, meski tanpa Abi dan Umi, mereka tidak sendiri. Mereka memiliki satu sama lain, dan mereka memiliki Allah yang selalu menyayangi mereka.

Enam tahun berlalu sejak kepergian Umi, dan kini Abi menyusulnya. Meski waktu telah berlalu, rindu mereka tak pernah padam. Kenangan tentang Umi dan Abi selalu hadir dalam setiap langkah mereka.

Abu, Ari, dan Zaky telah tumbuh menjadi pemuda yang mandiri dan bertanggung jawab. Mereka berusaha mewujudkan impian Abi dan Umi, untuk menjadi anak-anak yang saleh dan sukses.

Setiap Ramadan, mereka selalu mengenang kebersamaan mereka bersama Abi dan Umi. Mereka ingat bagaimana Umi selalu menyiapkan hidangan sahur dan berbuka yang lezat, bagaimana Abi selalu mengajak mereka salat tarawih berjamaah, dan bagaimana mereka selalu berkumpul bersama keluarga besar di hari raya Idulfitri.

"Umi selalu mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dan berbagi," kata Abu, mengenang Umi.

"Abi selalu mengajarkan kita untuk selalu jujur dan bertanggung jawab," timpal Ari, mengenang Abi.

"Aku merindukan pelukan hangat Umi dan nasihat bijak Abi," kata Zaky, matanya berkaca-kaca.

Meski rindu, mereka tidak larut dalam kesedihan. Mereka berusaha mengisi hari-hari mereka dengan kegiatan positif, seperti yang diajarkan Abi dan Umi. Mereka aktif dalam kegiatan sosial, membantu sesama yang membutuhkan, dan menjaga silaturahmi dengan keluarga dan teman-teman.

Setiap malam, mereka selalu berdoa untuk Abi dan Umi, memohon ampunan dan rahmat bagi mereka. Mereka yakin, Abi dan Umi selalu mengawasi mereka dari sana, dan mereka ingin membuat Abi dan Umi bangga.

Ramadan kali ini, mereka bertekad untuk menjalankan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya. Mereka ingin merasakan keberkahan Ramadan, seperti yang selalu diajarkan Abi dan Umi.

"Kita harus menjaga amanah Abi dan Umi," kata Abu, menyemangati adik-adiknya. "Kita harus menjadi anak-anak yang saleh dan sukses, seperti yang mereka harapkan."

Ari dan Zaky mengangguk setuju. Mereka berjanji akan selalu menjaga amanah Abi dan Umi, dan mereka akan selalu menyayangi satu sama lain.

"Kita akan selalu bersama, seperti Abi dan Umi selalu bersama," kata Zaky, tersenyum.

Mereka bertiga berpelukan, saling menguatkan. Mereka tahu, meski tanpa Abi dan Umi, mereka tidak sendiri. Mereka memiliki satu sama lain, dan mereka memiliki Allah yang selalu menyayangi mereka.

RINDU YANG BERTEMU TINJU

 RINDU YANG BERTEMU TINJU

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Kelas: 9K

Fadhil menatap nanar foto kakaknya, Faiz, yang terpajang di dinding kamar. Senyum Faiz di foto itu terlihat hangat dan bersahabat, sangat berbeda dengan wajahnya yang sering kali masam saat mereka bertengkar. Sudah tiga bulan Faiz di pesantren, dan Fadhil merasa rumah mereka terlalu sepi.

"Kak Faiz, kapan pulang?" gumam Fadhil sambil mengusap debu di bingkai foto. Ia merindukan Faiz, meskipun setiap kali kakaknya pulang, mereka selalu bertengkar.

Fadhil ingat, Faiz selalu mengganggunya. Menyembunyikan buku pelajaran, menarik selimut saat tidur, atau mengolok-oloknya di depan teman-teman. Tapi, di balik itu, Faiz selalu melindunginya dari anak-anak nakal di lingkungan rumah. Faiz juga yang mengajarinya bermain sepak bola, meskipun seringkali berakhir dengan Fadhil yang menangis karena kalah.

"Mungkin kalau Kak Faiz pulang, kita bisa main sepak bola lagi," pikir Fadhil. Ia membayangkan mereka berdua tertawa bersama di lapangan, tanpa pertengkaran.

Suatu sore, Ibu memberi kabar bahwa Faiz akan pulang akhir pekan ini. Fadhil melonjak kegirangan. Ia langsung membersihkan kamar mereka, menata buku-buku, dan menyusun mainan. Ia ingin kamar itu terlihat rapi dan nyaman saat Faiz pulang.

Hari kepulangan Faiz tiba. Fadhil menunggu di depan pintu dengan hati berdebar. Ketika mobil yang membawa Faiz tiba, Fadhil langsung berlari dan memeluk kakaknya erat-erat.

"Kak Faiz, aku kangen banget!" seru Fadhil.

Faiz tersenyum dan membalas pelukan adiknya. "Kakak juga kangen sama kamu, Fadhil."

Mereka masuk ke rumah bersama, dan suasana langsung berubah menjadi ramai. Fadhil menceritakan semua hal yang terjadi selama Faiz pergi, dari nilai ulangan yang bagus hingga pertandingan sepak bola yang dimenangkannya. Faiz mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menyelipkan lelucon yang membuat mereka berdua tertawa.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Saat mereka sedang bermain video game, terjadi perbedaan pendapat tentang strategi permainan. Faiz menyalahkan Fadhil yang dianggapnya tidak becus, dan Fadhil membela diri.

"Kakak juga salah! Kenapa malah nyalahin aku?" bentak Fadhil.

"Kamu yang salah, Fadhil! Gak bisa main game aja belagu!" balas Faiz.

Pertengkaran pun pecah. Mereka saling dorong dan pukul, seperti yang sering mereka lakukan dulu. Ibu datang dan melerai mereka, lalu menyuruh mereka masuk ke kamar masing-masing.

Fadhil duduk di tempat tidur dengan perasaan kesal dan sedih. Ia merindukan Faiz, tapi kenapa setiap kali mereka bertemu, mereka selalu bertengkar?

Malam harinya, Fadhil tidak bisa tidur. Ia memikirkan Faiz, kakaknya yang selalu membuatnya kesal tapi juga selalu melindunginya. Ia ingat saat Faiz membelanya dari anak-anak nakal, saat Faiz mengajarinya naik sepeda, dan saat Faiz membelikannya es krim favoritnya.

Fadhil merasa bersalah. Ia tahu bahwa ia juga sering memancing pertengkaran dengan Faiz. Ia selalu ingin menang sendiri dan tidak mau mengalah.

Fadhil memutuskan untuk meminta maaf kepada Faiz. Ia keluar dari kamar dan mengetuk pintu kamar kakaknya.

"Kak Faiz, boleh aku masuk?" tanya Fadhil.

Faiz membuka pintu dan mempersilakan adiknya masuk. Mereka duduk di tempat tidur, saling berhadapan.

"Kak, maafin aku ya," kata Fadhil. "Aku tahu aku sering bikin Kakak kesal."

Faiz tersenyum dan mengangguk. "Kakak juga minta maaf, Fadhil. Kakak juga sering kelewatan."

Mereka berdua terdiam sejenak, lalu Fadhil berkata, "Kak, besok kita main sepak bola ya?"

"Boleh," jawab Faiz. "Tapi jangan nangis kalau kalah ya."

Fadhil tertawa dan memukul lengan kakaknya pelan. "Siapa takut!"

Mereka berdua tertawa bersama, dan Fadhil merasa lega. Ia tahu bahwa meskipun mereka sering bertengkar, Faiz tetaplah kakaknya yang ia sayangi.

Keesokan harinya, mereka bermain sepak bola di lapangan seperti yang mereka janjikan. Mereka tertawa, bercanda, dan saling menggoda. Tidak ada pertengkaran, hanya kebahagiaan.

Fadhil menyadari bahwa ia tidak perlu memilih antara merindukan Faiz dan bertengkar dengannya. Ia bisa merindukan Faiz dan tetap bertengkar dengannya, karena itulah dinamika persaudaraan mereka. Dan di balik semua pertengkaran itu, ada kasih sayang yang tulus dari seorang kakak kepada adiknya.

Mimpi yang terkubur

 Mimpi yang terkubur



Karya: Dhia Silmi Atiyah
Kelas: 8E


sudah lama aku bermimpi menjadi seseorang yang berprestasi. Aku memiliki banyak cita-cita yang tinggi, harapan yang besar, dan tekad yang kuat. Segala usaha telah kulakukan demi menggapai mimpi itu.

 Aku sering membayangkan betapa indahnya jika namaku disebut karena sebuah prestasi, bagaimana rasanya berdiri dengan bangga atas pencapaianku sendiri.


Namun, kenyataan berkata lain. Setiap hari, aku hanya bisa membayangkan semua itu tanpa benar-benar meraihnya. Tugasku lebih banyak di rumah, membantu orang tuaku. Terkadang, ketika teman-temanku berbicara tentang keluarga mereka, aku merasa iri. Aku ingin merasakan apa yang mereka rasakan, tetapi aku juga berusaha tetap bersyukur atas apa yang kumiliki.


Bukan berarti aku tidak bersyukur, tetapi mengapa takdirku seperti ini? aku tidak menyalahkan siapa pun, apalagi ayah dan ibuku. Justru, aku menyalahkan diriku sendiri. Mengapa aku tidak bisa menjadi seperti mereka? mengapa mimpiku terasa begitu jauh?.


Setiap pagi, aku mendengar tangisan orang tuaku. Mereka meratapi keadaan ekonomi yang sulit, tetapi tetap berusaha sekuat tenaga demi masa depanku. Aku tahu mereka selalu ingin memberikan yang terbaik untukku, meskipun aku tak pernah meminta mereka untuk mengorbankan segalanya.


Hal yang paling aku sesali adalah aku belum bisa membalas semua pengorbanan mereka. Mereka telah berusaha sebaik mungkin untukku, tetapi aku belum mampu menjadi yang terbaik untuk mereka.

PELUKAN TERAKHIR NENEK

 PELUKAN TERAKHIR NENEK

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Kelas: 9K

Senja itu, langit desa yang biasanya cerah, berubah menjadi kelabu. Awan-awan tebal menggantung, seolah ikut merasakan kesedihan yang menyelimuti rumah kecil di ujung desa. Di dalam rumah itu, Rahma, seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun, duduk di sisi ranjang neneknya.

Nenek, yang selalu menjadi pelita dalam hidup Rahma, kini terbaring lemah. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal, namun matanya yang teduh masih menatap Rahma dengan penuh cinta. Rahma menggenggam erat tangan keriput nenek, berharap kehangatan itu akan menular dan mengembalikan kekuatan nenek.

"Nenek, jangan pergi," bisik Rahma, air matanya menetes membasahi pipi. Ia tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya. Orang tuanya, yang sibuk dengan pekerjaan di kota, jarang mengunjunginya. Neneklah yang selalu ada, merawat, mendidik, dan mencintainya tanpa syarat.

Nenek tersenyum tipis, berusaha mengangkat tangannya untuk mengusap pipi cucu kesayangannya. "Rahma, cucu nenek yang kuat," ucapnya dengan suara serak. "Jangan sedih, nenek akan selalu ada di hatimu."

Rahma terisak, menggenggam erat tangan nenek. Ia ingat semua kenangan indah bersama nenek. Saat mereka menanam bunga di halaman belakang, saat nenek mengajarinya memasak kue cucur, saat nenek mendongeng sebelum tidur, dan saat nenek memeluknya erat saat ia menangis.

Nenek adalah segalanya bagi Rahma. Nenek adalah ibu, ayah, sahabat, dan tempatnya berlindung. Nenek selalu ada untuknya, mendengarkan keluh kesahnya, menghiburnya saat sedih, dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. "Nenek, Rahma sayang sekali sama nenek," ucap Rahma, air matanya semakin deras.

Nenek tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Nenek juga sayang Rahma. Sangat sayang. "Nenek menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Rahma, mendekatlah."

Rahma mendekatkan wajahnya ke wajah nenek. Nenek memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskannya. Pelukan itu hangat, meskipun tubuh nenek terasa sangat lemah. Rahma membalas pelukan nenek, merasakan setiap detik kebersamaan mereka.

"Ingat semua yang nenek ajarkan, ya, Nak," bisik nenek di telinga Rahma. "Jadilah anak yang baik, jujur, dan penyayang. Jangan pernah menyerah, apapun yang terjadi."

Rahma mengangguk, memeluk neneknya lebih erat. Ia ingin menyimpan pelukan itu selamanya, pelukan yang penuh cinta dan kehangatan.

Pelukan itu berlangsung lama, seolah waktu berhenti berputar. Kemudian, nenek melepaskan pelukannya, menatap Rahma dengan senyum terakhirnya."Nenek sayang Rahma," bisiknya, lalu matanya terpejam.

Rahma menatap wajah nenek yang damai. Ia tahu, nenek telah pergi untuk selamanya. Namun, ia juga tahu, cinta nenek akan selalu bersamanya, dalam setiap langkah hidupnya.

Malam itu, Rahma tidur dengan hati yang hancur. Namun, ia memeluk erat selimut yang beraroma nenek, dan ia merasa seolah nenek masih memeluknya erat.

Keesokan harinya, Rahma bangun dengan mata sembab. Ia menatap ke luar jendela, melihat matahari terbit dengan indahnya. Ia teringat kata-kata nenek, "Jangan pernah menyerah, apapun yang terjadi."

Rahma tersenyum tipis, air matanya menetes lagi. Ia tahu, hidup tanpa nenek tidak akan mudah. Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi anak yang kuat dan mandiri, seperti yang diinginkan neneknya.

Rahma tahu, pelukan terakhir nenek adalah pelukan yang akan selalu ia kenang. Pelukan itu adalah simbol cinta abadi, yang akan selalu menghangatkan hatinya, meskipun nenek telah tiada. Ia akan menjaga kenangan tentang nenek, dan ia akan berusaha menjadi anak yang baik dan berguna, seperti yang selalu diajarkan nenek.

PELUKAN TERAKHIR AYAH DAN MAMAH

 PELUKAN TERAKHIR AYAH DAN MAMAH

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Kelas; 9K

Fakhira, seorang gadis remaja berusia enam belas tahun, berdiri terpaku di depan pintu rumahnya. Hujan deras mengguyur kota, seolah ikut merasakan kesedihan yang meremukkan hatinya. Di dalam rumah itu, ayah dan mamahnya terbaring kaku, korban kecelakaan tragis yang terjadi beberapa jam lalu.

Air mata Fakhira mengalir deras, bercampur dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Ia tidak percaya, kedua orang yang paling dicintainya telah pergi untuk selamanya. Ayah, dengan senyum hangatnya, dan mamah, dengan pelukan lembutnya, kini hanya tinggal kenangan.

Fakhira melangkah masuk ke dalam rumah, kakinya terasa lemas. Ia berjalan menuju kamar ayah dan mamahnya, tempat jasad mereka disemayamkan. Wajah ayah dan mamahnya tampak damai, seolah mereka sedang tertidur lelap. Namun, Fakhira tahu, mereka tidak akan pernah bangun lagi.

Fakhira mendekati jasad ayah dan mamahnya, berlutut di samping mereka. Ia menggenggam tangan ayah dan mamahnya, merasakan dingin yang menusuk tulang. Ia teringat semua kenangan indah bersama mereka.

Ia ingat saat ayah mengajarinya naik sepeda, saat mamah membantunya mengerjakan tugas sekolah, saat mereka tertawa bersama menonton film komedi, dan saat mereka berpelukan erat sebelum tidur.

Ayah dan mamah adalah segalanya bagi Fakhira. Mereka adalah pelindung, pendukung, dan sahabat terbaiknya. Mereka selalu ada untuknya, memberikan cinta dan kasih sayang tanpa syarat. "Ayah, Mamah, Fakhira kangen," bisik Fakhira, suaranya bergetar. "Kenapa Ayah dan Mamah pergi secepat ini?"

Fakhira memeluk jasad ayah dan mamahnya, mencium pipi mereka yang dingin. Ia ingin merasakan kehangatan mereka sekali lagi, pelukan yang selalu membuatnya merasa aman dan nyaman.

Pelukan itu berlangsung lama, seolah Fakhira ingin menghentikan waktu. Ia ingin menyimpan pelukan itu selamanya, pelukan yang penuh cinta dan perpisahan.

Kemudian, Fakhira melepaskan pelukannya, menatap wajah ayah dan mamahnya dengan tatapan kosong. Ia tahu, ia harus melepaskan mereka, meskipun hatinya terasa hancur berkeping-keping.

Malam itu, Fakhira tidur di kamar ayah dan mamahnya, memeluk bantal yang beraroma mereka. Ia merasa seolah ayah dan mamahnya masih ada di sana, menjaganya dari mimpi buruk.

Keesokan harinya, Fakhira bangun dengan mata sembab. Ia menatap ke luar jendela, melihat matahari terbit dengan sinarnya yang redup. Ia teringat kata-kata ayah, "Jadilah anak yang kuat dan mandiri," dan kata-kata mamah, "Jangan pernah menyerah, apapun yang terjadi."

Fakhira tersenyum tipis, air matanya menetes lagi. Ia tahu, hidup tanpa ayah dan mamahnya tidak akan mudah. Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi anak yang kuat dan mandiri, seperti yang mereka inginkan.

Fakhira tahu, pelukan terakhir ayah dan mamahnya adalah pelukan yang akan selalu ia kenang. Pelukan itu adalah simbol cinta abadi, yang akan selalu menghangatkan hatinya, meskipun mereka telah tiada. Ia akan menjaga kenangan tentang ayah dan mamahnya, dan ia akan berusaha menjadi anak yang baik dan berguna, seperti yang selalu mereka ajarkan.

Bunga Terakhir

  Bunga Terakhir 

Karya: Naira Hilmiyah 

Kelas: 9G

"Selamat ulang tahun putri kecil ayahh"

Aku mengulum senyum saat melihat satu buket bunga di hadapannya. 

"Ini beneran buat Eva, yah?"

Ayah pun menganggukan kepalanya dan memberikan satu bucket bunga itu. 

"Maaf yah Eva, Ayah cuman bisa kasih Eva bunga."

Ucap ayahku sambil membelai lembut rambutku. Aku tersenyum sambil mencium aroma wangi dari bunga mawar itu.

"Eva suka bunga, apa pun yang ayah kasih Eva pasti suka."

Ucapku sambil memeluk erat tubuhnya. Entah mengapa sangat berat bagiku untuk melepaskan pelukan ini , seolah-olah aku tak akan pernah bisa merasakannya kembali.

"Yah, ramadhan tahun ini kita ga sama ibu lagi yah? Padahal Eva kangen kebersamaan kita dulu."

"Eva, kan masih ada bapa, bapa bakalan selalu ada buat Eva."

Aku mengganggu kan kepalaku sambil terus mencium aroma bunga mawar itu. 

"Mm, Eva sesuka itu yah sama bunga mawar?"

Aku menatap ke arah sang ayah dan tersenyum.

"Awalnya Eva ga suka, cuman karna ayah yang kasih Eva bunga mawar jadi Eva suka deh!!"

Jawabku dengan excited. Terlihat jika ayahku tengah mengulum senyum manisnya. Hufttt...rasanya aku ingin sekali terus melihat senyuman itu. 

Kruyuk-kryuk 

"Haha Eva laper yah?"

Dengan perasaan malu-malu akupun menggangukan kepalaku. 

Selang beberapa menit, ayahku datang dengan satu piring nasi di tangan kanannya.

"Sini ayah suapin"

Dengan perasaan senang, aku pun menganggukan kepalaku.

Suapan demi suapan terasa begitu istimewa, meskipun aku makan dengan lauk seadanya tapi masakan ayah akan selalu menjadi pemenangnya. Bahkan aku sempat berpikir untuk mendaftarkan ayahku menjadi master chef.

***

"Hufft... Capek banget sih hari ini, mana perut laper banget lagi. Kira kira ayah masak apa yah hari ini."

Ucapku sambil melanjutkan perjalanan ku menuju rumahku. 

Selang beberapa menit, akhirnya aku tiba di teras rumahku. Di sana ada ayahku yang tengah menungguku di kursi yang ada di teras rumahku. Senyuman ku mengembang saat melihat satu tangkai bunga mawar yang tersimpan jelas di atas meja itu.

"Ayah!!"

"Eh anak ayah sudah pulang, bagaimana sekolahnya hari ini? Seru?"

"Seru banget yah!!! Tapi Eva laper"

Ayahku tersenyum saat mendengar suara perutku yang terus  demo minta di isi makan.

"Ayok duduk nak, ayah sudah masakan makanan kesukaan Eva."

Aku pun mendudukkan diriku di kursi yang ada di samping ayahku. Tak lupa aku pun mengambil setangkai bunga mawar itu dan ku genggam dengan erat.

"Ayah, kenapa ayah selalu nungguin Eva pulang di sini? Emng ayah ga bosen?"

Ayah pun tersenyum sambil terus menatap mataku dengan lekat.

"Eva, besok ayah udah mulai kerja, jadi mulai besok ayah ga bisa nungguin Eva pulang sekolah lagi."

Aku mengerutkan keningku.

"Kerja? Kerja apa maksud ayah?"

"Besok kamu juga tau kok, Eva."

Di keesokan harinya, seperti biasa aku bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.

"Nak, kamu udah sarapannya?"

Ucap ayahku sambil membelai lembut rambutku. Dengan cepat aku menggelengkan kepalaku.

"Loh kenapa belum nak? Mau ayah suapin?"

"Boleh yah?"

"Boleh dong, apa sih yang ga boleh buat putri kesayangan ayah."

Selesai sarapan aku langsung bergegas untuk berangkat kesekolah. 

"Hai Eva!!"

Sapa teman sekelas ku, yakni Rani.

"Eh, hai Rani!! Oh iya kamu udah ngerjain tugas yang kemarin?"

"Heheh, belum. Liat dong va"

Yaa... Beginilah kelakuan temanku, setiap hari pasti saja dia menyontek tugas ku. Benar-benar menyebalkan.

Namun, di saat aku dan Rani tengah asik berbincang. Tiba-tiba terdengar keributan dari arah taman sekolah. Karna penasaran aku dan Rani pun langsung bergegas menghampiri keributan itu.

"Alah, cuman babu doang pake ngatur-ngatur segala."

Ucap salah satu siswi pada seorang pria paru baya yang bekerja sebagai tukang sapu di SMA tribakti.

"Bapa tau nak, tapi tidak bisakah kamu menghargai usaha orang lain? Apakah bapa salah jika mengingatkan mu untuk tiba merusak fasilitas sekolah?"

Plak!!

"Bullshitt lu babu!! Inget yah, gue ini adalah anak donatur terbesar di sini!"

Ucap Wina anak dari donatur sekolah ini. Melihat jika ada satu tangkai bunga mawar di tangan bapa itu Wina langsung merebutnya dan menginjak setangkai bunga mawar itu ke tanah.

Melihat bunga mawar miliknya jatuh, beliau langsung mencoba memungutnya. Namun, dengan tega Wina menginjak tangan bapa tukang sapu itu.

"Aww, sakit nak lepasin bapa"

Erang sang bapa sambil berusaha melepaskan tangannya.

"A-ayah!!!"

Pekikku yang baru saja sampai di taman dan melihat ayahku yang tengah di tindas oleh siswi itu.

"Ayah, ayah ga papa kak?"

Ucapku dengan air mata yang sudah membasahi pipiku.

"Oh jadi babu ini bapa lu? Haha anak sama bapa sama-sama kayak sampah."

Plak!!

"Jaga yah mulut kamu Wina!! Aku tau kamu adalah anak donatur terbesar di sini, tapi bukan berarti kamu bisa nindas semua orang yang ada di bawah kamu, termasuk ayahku!!"

Wina menatap ku dengan sorot mata merah, memancarkan kebencian yang mendalam. Namun, aku tak memperdulikan hal itu, dengan cepat aku menjongkokkan diriku untuk memastikan keadaan ayahku.

"Ayah ga papa kan? Ayah maafin Eva karna telat datang ke sini."

Mendengar ucapan ku ayahku hanya bisa tersenyum lirih dan memberikan aku satu tangkai bunga mawar yang sudah hancur itu.

Tanpa aku sadari Wina mengambil batu besar dan siap menimpa ku dengan batu besar itu. Namun, dengan cepat ayah menghalanginya. Alhasil batu besar itu mengenai ayahku.

"AYAH!!"

Teriakku saat mendapati ayahku yang terkulai lemas dengan darah segar yang terus keluar dari kepalanya.

"Maafin ayah yah nak.. semoga kamu bahagia di sini."

Ucap ayahku lirih sebelum akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

Aku menggempalkan tangannya kuat.

Plak!!.

"PUAS KAMU BIKIN AYAHKU MENINGGAL, HAH?!!! KENAOA KAMU SETEGA ITU WINA!! HIKS HIKS, APA SALAH AYAHKU SAMPE-SAMPE KAMU TEGA MENGHILANGKAN NYAWANYA?"

Entah apa yang terjadi selanjutnya, aku benar-benar tidak tau, pandangan ku gelap segelap-gelapnya.

Perlahan-lahan aku membuka mataku. Aku terkejut saat mendapati diriku yang sudah berada di dalam rumahku.

"Eva, akhirnya kamu sadar juga. Kamu yang sabar yah nak."

Ucap seorang ibu-ibu sambil terus membelai lembut rambutku.

"Ayah? Dimana ayahku? Di mana ayah Eva Bu? Hiks hiks ayah Eva mana Bu?"

Tangisku sambil meredarkan pandangan ku ke setiap penjuru ruangan.

"Ayah kamu sudah di makamkan Eva."

Mendengar itu dengan cepat aku berlari menuju pemakaman. Sesampainya di sana aku langsung menangis sambil memeluk batu nisan itu dengan erat.

"Ayah...maafin Eva. Eva gagal jadi anak yang baik buat ayah. Ayah kenapa tega ninggalin Eva? Katanya ayah mau melaksanakan ramadhan tahun ini bareng Eva? Tapi kenapa ayah bohong? N-nanti siapa yang bakalan nungguin kepulangan Eva dari sekolah? Terus siapa yang bakalan suapin Eva makan? Siapa juga yang bakalan kasih bunga mawar setiap harinya buat Eva?"

Tangisku sambil terus memeluk batu nisan itu.

"Eva!! Kamu yang sabar yah? Masih ada aku di sini. Kamu bisa tinggal di rumah aku."

Ucap Rina sambil berusaha menenangkanku. Namun aku menggelengkan kepalaku.

"Makasih Rina, tapi aku mau tinggal di rumah milik ayahku aja. Di sana banyak kenangan aku bersama ayah dan bunda di kala itu."

Mendengar ucapan ku Rina hanya mengganggukan kepalanya sambil terus mengelus-elus punggung ku.

"Ayah, makasih yah udah kasih Eva kebahagiaan ini, dan makasih juga karna ayah udah mau mengajarkan Eva apa itu arti kehilangan."

BERTAHAN TAPI TERLUKA

 BERTAHAN TAPI TERLUKA



Karya: Anisya Rahmadani
Kelas: 8H

   "Huh" aku menghela nafas lelah dan menjawab pertanyaan Revan.

   "Aku gak seperti itu, Van!" seruku

   "Alahh! Mana mungkin itu semua bohong," ucapnya tak percaya.

   Capek! Satu kata yang memenuhi pikiranku saat ini. Lelah rasanya aku harus menjelaskan sesuatu terus-menerus. Aku merasa tengah berada di hubungan yang toxic.

   "Udahlah. Mau dijelasin berapa kali pun kamu masih gak percaya," ucapku lelah.

   Aku ingin melangkahkan kaki tapi Revan menahanku.

   Dia memegang pergelangan tanganku dengan kuat. Matanya memerah menatapku dengan tajam. Aku meringis, merasakan perih di area pergelangan tangan kananku.

   "Lepaskan!" ucapku tercekat,

   Dia seolah-olah menulikan telinganya dan malah memperkuat genggamannya. Aku mencoba untuk melepaskannya dengan sekuat tenaga namun kekuatanku tak sebanding dengannya.

   "Kamu mau ke mana, Putri?" ucapnya dengan amarah yang terpendam.

   Aku tertunduk, tidak berani melihat matanya. Mulutku terasa terkunci rapat dan hanya bisa terisak.

   "Setelah kamu mengkhianatiku dan kamu bilang ini semua bohong?" ucapnya dengan tajam.

   Aku menggeleng kuat, seraya melihat matanya sekilas.

   "Lalu apa ini, Putri?" bentaknya dengan marah.

   Bibirku bergetar, mataku mulai sembab karena terlalu lama menangis. Aku menjawab pertanyaan Revan dengan cepat.

   "Aku udah bilang, aku cuma tidak mengkhianati kamu! Itu cuma kerja kelompok doang, Van," ucapku dengan lemah.

   "Arghhh..Selalu saja nangis! Alay, tau gak?" ucapnya seraya pergi meninggalkanku di taman.

   Aku terduduk dengan kepala yang tertunduk. Tangisku pecah seketika. Mataku melihat kepergian Revan dengan pandangan yang kosong. Tiba-tiba...

   "Put..Put..," panggil seseorang dengan melambaikan tangannya di depan wajaku. Aku tersentak.

   "Eh," ucapku dengan kikuk.

   Sadar dengan kehadiran seseorang itu. Seketika aku langsung menghapus air mataku. Aku segera pergi dari hadapannya tanpa melihat wajahnya sama sekali.

   "Apa yang kamu sembunyiin sih, Put? Kenapa kamu malah pergi?" ucap Zara seraya menatap kepergianku.

   Tak lama kemudian, Zara pun pergi dari taman karena hari sudah menjelang malam.

   Keesokan harinya..

   Bel sekolah berbunyi. Aku duduk di bangku dan di sebelahku ada Zara yang sedari tadi menatapku.

   "Ada apa Zara?" tanyaku seolah-olah tak tahu,

   "Apa yang terjadi kemarin?" tanya Zara dengan muka datarnya,

   "Gak ada apa-apa," elakku,

   "Jawab, Putri!" tekan Zara,

   "Huh," aku menghela nafas dan langsung menceritakan semua yang sudah terjadi kemarin. Mataku berembun menahan tangis 

   "Aku capek, Zar," lirihku,

   "Dia selalu saja begitu. Aku gak bisa bertahan lebih lama lagi, Zar," lanjutku,

   "Segini aja kamu udak kuat banget loh, Put! Aku salut sama kamu," jawab Zara sebari memelukku.

   Aku mengulas senyum yang semanis mungkin. Terkadang aku ingin sekali meninggalkan dia. Karena sikapnya yang red flag itu. Dia seperti tidak mempunyai kepercayaan terhadapku. Bagiku, sebuah hubungan tanpa adanya kepercayaan, bagaikan sebuah rumah tanpa fondasi. Tanpa adanya fondasi rumah tidak akan kuat.

   Selain itu, dia juga sering bermain kasar padaku. Dia sangat cemburuan, bahkan dia sama sekali tidak menghargaiku. Karena sikapnya yang seperti itu, aku ingin pergi meninggalkannya.

Untuk Keluarga

Untuk Keluarga



Karya: Dhia Silmi Atiyah
Kelas: 8E

Rumah berantakan, pecahan piring berserakan di lantai, suara bentakan memenuhi udara.

Ayah... Ibu... mengapa kalian harus berpisah? apakah kalian tidak saling mencintai lagi? ataukah kalian memang sudah tidak menginginkan anak ini?
sejak hari itu, kalian meninggalkan luka yang dalam di hatiku.

"Aku nggak tahan lagi hidup denganmu! kita cerai saja!"
Teriak ibu, suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca.

Ayah membalas dengan nada yang sama, penuh amarah.

"Baik! kita cerai saja! dan jangan harap aku membawa anak bodoh ini!"
Lalu, ia pergi tanpa menoleh lagi.

Hatiku hancur. seharusnya, di usiaku yang masih remaja, aku mendapatkan kasih sayang, bukan makian. Jika memang aku yang menghancurkan rumah tangga kalian, aku minta maaf. Aku ikhlas jika harus menghilang dari dunia ini.

Ayah... terkadang aku iri melihat anak-anak lain yang punya sosok ayah sebagai panutan dalam hidupnya.
Ibu... aku juga iri melihat anak-anak lain yang memiliki ibu penuh kasih sayang. Sedangkan aku? hanya hidup sendiri di jalanan, tanpa siapa-siapa.

Ayah... Ibu... sungguh, aku sangat mencintai kalian. Tapi mengapa kalian membenciku? mengapa kalian tega menyebutku "anak bodoh"? tidakkah kalian sadar bahwa kata-kata sekecil itu telah menggores hatiku dan meninggalkan trauma dalam hidupku?.

Saat anak-anak lain tertidur dengan elusan lembut di kepala dan kecupan di kening dari orang tua mereka, aku hanya bisa memeluk diriku sendiri di trotoar yang dingin. Saat mereka tertawa bahagia bersama keluarga, aku hanya bisa menangis dalam kesepian.

Aku selalu berharap memiliki keluarga yang harmonis dan bahagia. Tapi harapan itu kini terkubur dalam-dalam, karena aku tahu, itu tidak akan pernah menjadi kenyataan.

Rumah Yang Hilang

Rumah Yang Hilang

Karya: Naira Hilmiyah

Kelas: 9G

Hujan deras terus membasahi bumi. Aku berusaha susah payah untuk menerjang hujan yang deras ini, untuk segera sampai di rumah. Baju biru putih, tas, sepatu semuanya basah akibat hujan deras ini. "Sungguh hari Senin yang menyebalkan!!" Monologku.

Sekitar pukul 16:00 wib, aku sampai di rumah. Dengan perasaan kesal aku menghentakkan kakiku di teras rumahku. Baru saja aku akan melepas tali sepatuku, tiba-tiba datang seorang anak kecil dengan nafasnya yang bergemuruh. 

"Hey!! Kamu kenapa?"

Tanyaku pada anak laki-laki itu. Terlihat jika anak itu tengah mengambil nafasnya dalam-dalam.

"R-rara, ude, ude udah ga ada."

Deg!!!

Bagaikan di sambar petir hati ini hancur sehancur-hancurnya. Aku terdiam selama beberapa detik, 

sebelum akhirnya aku berlari menuju rumah udeku.

Baru saja aku sampai di depan rumahnya, terlihat banyak sekali ibu-ibu dan bapak-bapak yang berkumpul dengan suara Isak tangis yang memenuhi sunyinya sore di hari itu.

"UDE!!!"

Teriakku sambil berusaha menggapai tubuhnya, namun dengan cepat mama memelukku dan memberiku satu gelas air putih.

"Maa...ini bohong kan yah?" Mama terdiam saat mendengar ucapan ku, sedetik kemudian mama menggelengkan kepalanya. Dengan cepat aku alihkan pandanganku ke arah sang kakak yang tengah menangis sambil memeluk erat jasad ude.

"Kak? Ude cuman tidur doang kan yah? Ude masih hidup kan yah? Kak? Kenapa diem kak? Kakak?"

Aku memeluk tubuh sang kakak dengan erat, berusaha untuk saling menguatkan satu sama lain.


"Raa... Nanti kakak gimana kalo ga ada ude?"

Satu kalimat itu cukup membuat aku terdiam, aku tau begitu hancurnya perasaan kakak saat ini. 


"Kak....masih ada Rara di sini, masih ada mama Rara dan semua orang di sini. Kakak jangan takut."

Kakak pun menganggukan kepalanya dan kembali memelukku dengan erat. 

***

"Ude? Ude masih hidup?"

Terlihat seorang wanita paruh baya itu melambaikan tangannya kepadaku. Aku tersenyum sambil berjalan menghampirinya. 

"Ude kenapa tinggalin semua orang yang ude sayang? Ude ga kasian sama wa gede? Ude juga ga kasian sama kakak? Ude kenapa diem aja? Rara kangen, maafin Rara yah karna udah jarang main lagi sama ude lagi."

Wanita paruh baya itu mengulum senyum manis nya dan membelai lembut rambutku.

"Ude.. ramadhan kali ini udah ga ada ude, Rara ga nyangka kalo ramadhan kemarin adalah Ramadan terakhir sama ude. 

"

Sambungku sambil tersenyum lirih menatap bola matanya wanita yang ada di hadapannya ini.

"Rara..jangan sedih lagi yah? Ude udah bahagia di sini, ude udah ga sakit-sakitan lagi. Di sini ada kakek sama nenek Rara, mereka di sini jagain ude. Oh iya..bilang juga sama kakak empi jangan sedih lagi, ude udah bahagia di sini."

Ucap wanita paruh baya itu sambil menghentikan belaian tangan dari rambutku.

Aku pun menganggukan kepalaku, mengerti akan apa yang beliau ucapkan. 

"Ude..makasih udah pernah jadi rumah ternyaman buat Rara, jangan lupain Rara. Rara sayang sama ude."

Ucapku yang mendapatkan anggukan dari ude. Sedetik kemudian beliau melambaikan tangannya dan menghilang begitu saja.

****

Di keesokan harinya, tepatnya di pukul 06:30 pagi. Aku ikut serta hadir dalam acara pemakaman beliau. Dengan perasaan hancur, aku mendudukkan diriku di atas tanah sambil mengelus-elus batu nisan itu. 

"Ude.. tenang-tenang yah di sana yah, makasih...makasih udah mau jadi cahaya buat Rara, makasih juga udah kasih Ara rumah ternyaman itu, i Miss you ude."

Monologku sambil berusaha untuk menampilkan senyuman itu.

Sakit rasanya saat kehilangan orang yang kita sayang, meskipun ude bukan orang tua Ara tapi sedari kecil ude lah yang selalu jagain Rara dan rawat Rara dengan sepenuh hati.

Tak bisa berlama-lama di sana, aku beranjak dari dudukku dan berjalan menjauh dari pemakaman itu. Entah apa yang aku rasakan saat itu, di pikiran ku saat itu hanya ada perasaan untuk terus menengok kebelakang. Siapa sangka jika di belakangku terdapat seorang wanita paruh baya yang tengah tersenyum manis dengan pakaian putih rapi yang ia kenakan, cantik, sungguh cantik. Tidak sampai di situ ternyata di belakang ude terdapat nenek ku yang terus menggenggam erat kamari ude. Kedua wanita itu tersenyum Manis ke arah ku sambil melambaikan tangannya.

Dengan perasaan senang, aku membalas lambaian tangan itu dan pergi meninggalkan pemakaman itu untuk berangkat kesekolah.

"Semoga kita bisa ketemu kembali di dunia yang berbeda"

Masakan Nenek

 Masakan Nenek

Karya: Dhia Silmi Atiyah

Kelas: 8E

 Aku terbangun dari tidurku, aku pergi ke dapur lalu aku mencium bau yang lezat ( ohh, baunya seperti ayam goreng ) aku melihat nenek ku sedang menyiapkan ayam goreng, aku cepat cepat makan ayam itu dengan lahap tanpa memikirkan apapun.


Tetapi ada yang aneh, daging itu banyak sekali setahuku aku dan nenekku tidak mempunyai perternakan ayam atau sapi.


Tiba-tiba suara sirine polisi terdengar dari kejauhan aku pikir hanya sedang berkeliling saja, entah mengapa suara itu terdengar semakin keras di telinga ku dan kurasa semakin dekat. 


Mobil polisi itu berhenti di sebelah rumah ku dan nenek ku aku menghiraukan suara sirine itu tetapi, tiba - tiba ada yang mengetuk pintu rumah ku. Nenek membuka pintu tidak lama Nenek kembali dengan muka yang datar.


"Nek, siapa yang mengetuk?".


"Ahh, polisi dari tetangga menanyakan tentang tetangga kita yang hilang sudah tidak usah di pikirkan kamu lanjut makan saja".


"Baiklah". tanpa basa basi akupun memakan ayam itu lagi tanpa memikirkan apapun.


"Nek, enak sekali ayamnya. Tapi, sejak kapan nenek punya daging? Biasanya kan nenek gapunya daging." 


Lalu nenek berkata 


" Sejak tetangga kita menghilang dan tidak di temukan keberadaanya. "

Dia dan Penyesalannya

 Dia dan Penyesalannya

Karya: Anisya
Kelas: 8H

 Siang berganti malam, dengan hembusan angin yang datang menyertainya. Tiba-tiba.. 

 "Ting" Suara pesan berbunyi

 Aku heran, siapa yang mengirimiku pesan di malam hari? Aku mencoba untuk tidak membuka pesan itu, namun pada akhirnya aku kalah dengan rasa penasaranku sendiri, dan segera membuka pesan itu. 

.... 

.... 

"Lysa, bisakah kamu kasih aku satu kali lagi kesempatan untuk memperbaiki semuanya? Nyatanya selama 5 bulan kebelakang sulit rasanya untuk menemukan cinta kembali. Karena rumahku tetap ada di kamu, I always love you, tomorrow, later, forever only you" Ungkap Resa

Deg! Aku terpaku, dan tidak menyangka sama sekali setelah membacanya. 

" Mengapa disaat aku sudah mulai terbiasa tanpa kamu, gak mau tau tentang kamu lagi, udah mulai terbiasa tanpa kamu lagi, tapi kenapa kamu malahan datang menghubungiku lagi? " Ucapku lirih

 "Apakah kamu tahu perasaanku bagaimana? Aku capek! Apa luka yang selama ini kamu berikan semua itu masih kurang? " Aku tersenyum hambar, lalu bergegas untuk tidur daripada memikirkan apa yang tidak harus dipikirkan.

 Pagi pun tiba. Aku memutuskan untuk pergi ke rumah sahabatku untuk memberitahu kejadian semalam. Aku pergi dengan mata yang sembab. 

 Sesampainya disana, aku langsung memencet bel dan menunggu diluar. Tidak lama kemudian sahabatku langsung membuka pintu. 

 "ceklek"

 " Ada ap- " ucapannya terputus karena aku langsung memeluknya. 

 " Hiks.. hiks..hiks.. "

 Rina bingung karena punggungnya tiba-tiba basah dan langsung membalas pelukku. 

 Seketika aku mulai tenang dengan dekapan dan elusan hangat yang rina berikan. 

 " Lysa ada apa? " Khawatir Rina

 Aku menggeleng, kemudian dia membawaku masuk dan duduk di satu kursi. Setelah itu aku menceritakan kejadian waktu semalam. 

.... 

.... 

 Deg! Rina pun sama halnya denganku. Ia terkejut setelah mengetahui semuanya.

" Rina.. Aku harus gimana? " Tanyaku dengan lirih

 Rina tak kuasa melihatku seperti ini, dan tak sadar meneteskan beberapa bulir air matanya. 

" Lysa, apa kamu masih cinta sama dia? " Tanya Rina dengan cepat 

 Skamak! Aku terdiam. Aku melihat Rina tengah menanti jawaban dariku. Aku menghembuskan nafas

" Aku tak tahu Rina, entah mengapa disaat ada orang yang hanya menyebut namanya saja seketika rindu dan sakit langsung berperang dalam benakku " Ungkapku

" Mungkin kamu hanya sebatas rindu Lysa " Jawab Rina

" Sadar Lysa sadar! Disaat kamu menyembuhkan luka-luka yang dia berikan, apa dia pernah menoleh kepadamu? Tidak Lysa, malah dia dengan bangganya bermesraan dengan perempuan lain, aku gak mau kamu kembali ke masa itu lagi Lysa.." lanjutnya

 Karena ucapan Rina seketika aku pun tersadar, bahwa memang benar dia adalah laki-laki yang begitu aku cintai sampai sedalam ini namun pada masanya. 

 Rina yang tidak tega melihatku seperti ini, dia memutuskan mengajakku ke sebuah taman supaya lebih rileks katanya. 

Saat di perjalanan, tiba tiba.. 

Duk

" Aduhh " Ringisku

 Aku tersandung dan hampir saja terjatuh, mataku terpejam tapi.." kenapa tidak jatuh juga? " Fikirku. Tidak ku sangka ternyata orang yang menopang tubuhku. ketika ku sadar aku segera melepaskannya. 

" Eh, maaf ya? " Ujarnya

" Iya, lagian itu salahku juga " jawabku reflek

" Lysa? " kejutnya

   Aku tersentak, " Kenapa dia tahu namaku ya? " ucapku dalam hati tapi suara itu tak begitu asing.

   Dengan rasa penasaran aku mendongakkan kepalaku, seketika mataku melebar dan hatiku berdetak tidak karuan. Aku merasa tanganku seperti ada yang memegang dan dugaanku benar. Dia memegang kedua tanganku. 

   Karenanya, entah kenapa memori-memori dan kenangan itu seketika langsung menghantuiku. Hanya karena genggaman saja. 

" Apa ini yang dimaksud dejavu ya? " tanyaku dalan hati.

" Lysa maafin aku, aku ingin kita perbaiki lagi ya? " mohonnya 

  Set, aku segera melepaskan genggaman itu, dan langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.

   Ia tersentak, mungkin kaget atas perlakuanku dan terus saja mengejarku dengan memanggil namaku.

" LYSAA..LYSAA..." 

   Kami pun terpisah karena terhalang oleh sebuah mobil.

" Maaf, mungkin ini saatnya kita berpisah untuk selamanya " ucapku lirih dan segera meninggalkan tempat itu.

Dar...Dar..Dar..

   Suara petir bergemuruh dengan hujan yang sangat deras, sehingga yang tadinya ramai seketika mendadak sunyi bak sedang berada di tengah hutan. Aku pun akhirnya berteduh,

" Mungkin pada masanya aku lebih baik kehujanan bersamamu daripada berteduh tetapi tidak denganmu. Namun sekarang aku memilih berteduh dengan orang baru daripada kehujanan bersamamu. Karena kita hanya sebatas masalalu yang tidak akan pernah bersatu, meski rindu terus saja berperang dalam hatiku " ucapku dalam hati

" Lysa maapkan aku " sesal Resa

" Ternyata benar penyesalan hanya ada di akhir, maap selama bersamaku kamu selalu saja sakit hati. Aku nyesel Lysa! Kenapa disaat sudah seperti ini, aku baru sadar, " ucap Resa 

" Mungkin ini saatnya kamu merasakan penyesalan itu karena ulahmu sendiri, nikmatilah hidupmu dengan penuh rasa sesal! Aku tidak dendam ataupun benci terhadapmu, hanya saja aku tidak terima aku diperlakukan seperti itu. Semoga dari kisah ini kamu belajar untuk lebih baik kedepannya. See you, the man I love so much, but in time. Jikala kamu ingin kembali padaku, maaf aku tidak akan ingin kembali lagi. Cukup kemarin yang merubah diriku menjadi seperti ini. Karena aku akan membuka lembaran baru untuk orang yang akan hadir dalam hidupku, " batinku

   Berapa bulan kemudian, aku akhirnya menemukan orang yang meratukanku dan menjadikanku segalanya. Mungkin ini balasanku karena dulu aku diperlakukan semena-mena oleh kekasihku. 

Ada yang menanyakan gimana keaadan Resa? Ternyata ia sudah mengakhiri hidupnya sendiri karena tidak sanggup hidup tanpa Lysa.


CAHAYA DI BALIK BAYANGAN

 CAHAYA DI BALIK BAYANGAN

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Syifa adalah gadis cerdas dengan senyum manis yang selalu

menghiasi wajahnya. Namun, di balik senyum itu, tersimpan

luka mendalam yang hanya ia sendiri yang tahu. Orang tuanya,

yang memiliki standar yang sangat tinggi, selalu menuntut Syifa

untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal. Setiap kali Alya

mendapatkan nilai kurang dari sempurna, hukuman tak

terelakkan menimpanya.

Untungnya, Syifa memiliki sahabat setia bernama Anya. Anya

adalah gadis ceria dengan semangat juang yang tinggi. Ia

selalu ada untuk syifa, baik dalam suka maupun duka. Anya

tahu betul betapa berat beban yang harus dipikul Syifa. Ia

seringkali menghibur Syifa dengan cerita-cerita lucu atau

mengajaknya bermain untuk melupakan sejenak masalahnya.

Suatu hari, Syifa mengikuti lomba menulis tingkat nasional. Ia

sangat berharap bisa meraih prestasi dan membanggakan

orang tuanya. Namun, saat pengumuman hasil, namanya tidak

terpanggil. Hati Syifa hancur berkeping-keping. Ia merasa telah

mengecewakan semua orang yang menyayanginya, terutama

orang tuanya.

Syifa pulang ke rumah dengan perasaan sedih dan kecewa.

Ia takut menghadapi reaksi orang tuanya. Namun, Anya sudah

menunggunya di depan rumah. Anya memeluk Syifa erat-erat

dan berkata, "Aku tahu kamu sudah berusaha sekuat tenaga,

Syifa. Jangan terlalu memikirkan kata-kata mereka. Kamu

adalah gadis yang luar biasa."

Mendengar kata-kata semangat dari Anya, hati Syifa sedikit

terobati. Anya mengajak Syifa pergi ke taman untuk

menenangkan diri. Di sana, mereka mengobrol sambil

menikmati pemandangan matahari terbenam. Anya

menceritakan pengalamannya saat mengikuti lomba-lomba

sebelumnya, di mana ia juga pernah mengalami kegagalan.

"Kegagalan itu adalah hal yang wajar, Syifa," kata Anya.

"Yang penting adalah kita belajar dari kesalahan dan terus

berusaha menjadi lebih baik."

Kata-kata Anya membuat Syifa tersadar. Ia menyadari bahwa

nilai bukanlah segalanya. Ada banyak hal penting lain dalam

hidup, seperti persahabatan, keluarga, dan kebahagiaan. Syifa

mulai berpikir untuk mengubah hidupnya. Ia tidak ingin

terus-menerus hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan

tekanan.

Keesokan harinya, Syifa memberanikan diri untuk berbicara

dengan orang tuanya. Ia mengungkapkan perasaannya yang

sebenarnya dan meminta mereka untuk lebih memahami

dirinya. Awalnya, orang tuanya tampak terkejut dan marah.

Namun, setelah mendengar penjelasan Syifa, mereka mulai

menyadari kesalahan mereka.

Orang tua Syifa akhirnya berjanji untuk berubah. Mereka

akan lebih menghargai usaha Syifa dan tidak lagi memberikan

tekanan yang berlebihan. Syifa merasa sangat lega dan

bahagia. Ia tahu bahwa hubungannya dengan orang tuanya

akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Dengan dukungan dari Anya dan orang tuanya, Syifa

semakin bersemangat untuk meraih mimpinya. Ia aktif

mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan

mengembangkan bakatnya di bidang menulis. Tulisan-tulisan

Syifa banyak mendapat pujian dari guru dan teman-temannya.

Beberapa tahun kemudian, Syifa berhasil menerbitkan buku

pertamanya. Buku itu menjadi best seller dan menginspirasi

banyak orang, terutama anak-anak muda yang sedang

berjuang menghadapi tekanan dari lingkungan sekitar.

Kisah Syifa mengajarkan kita tentang pentingnya

persahabatan, keluarga, dan dukungan dari orang-orang

terdekat. Ia juga mengajarkan kita bahwa kesuksesan tidak

hanya diukur dari prestasi akademik, tetapi juga dari

kebahagiaan dan kepuasan diri.

Pesan moral :

Cerita Syifa mengajarkan kita bahwa hidup lebih dari sekadar

mengejar kesempurnaan. Setiap individu memiliki nilai dan

potensi yang unik. Kebahagiaan sejati terletak pada

penerimaan diri, dukungan dari orang-orang terdekat, dan

kemampuan untuk mengatasi tantangan hidup. Dengan kata

lain, cerita ini mengajak kita untuk menghargai diri sendiri,

membangun hubungan yang sehat, dan mengejar mimpi

dengan semangat yang tak pernah padam

DIBALIK SENYUMAN PALSU

 DIBALIK SENYUMAN PALSU

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Alya selalu tersenyum ceria di sekolah. Rambutnya yang

panjang terurai indah, matanya berbinar, dan tawanya merdu.

Teman-temannya menyukainya. Tak ada yang menyangka di

balik penampilan cerianya, Alya menyimpan luka mendalam.

Luka yang hanya ia sendiri yang tahu.

Setiap kali ujian, jantung Alya berdebar kencang. Bukan

karena soal yang sulit, melainkan karena bayangan hukuman

yang menanti jika nilainya kurang memuaskan. Ayahnya,

seorang dokter terkenal, dan ibunya, seorang guru, memiliki

standar yang sangat tinggi untuk Alya. Keduanya percaya

bahwa kecerdasan adalah segalanya.

Jika Alya mendapatkan nilai kurang dari sempurna, hukuman

akan menimpanya. Mulai dari omelan panjang yang menusuk

kalbu, hingga tindakan fisik seperti tamparan dan cubitan.

Ayahnya akan berkata, "Bagaimana bisa anak seorang dokter

bodoh?" Ibunya akan menambahkan, "Kamu mengecewakan

saya!"

Alya tumbuh dalam ketakutan. Ia belajar mati-matian, tapi tak

pernah merasa cukup. Setiap kali ujian, ia selalu berharap

mendapatkan nilai sempurna. Jika tidak, ia akan bersembunyi

di kamar, menangis tersedu-sedu.

Suatu hari, Alya mengikuti lomba menulis tingkat nasional.

Dengan penuh semangat, ia menuangkan segala perasaan

dan ketakutannya ke dalam tulisan. Tak disangka, tulisannya

berhasil meraih juara pertama. Saat menerima penghargaan,

Alya merasa sangat bahagia. Akhirnya, ia bisa membuktikan

pada orang tuanya bahwa ia lebih dari sekadar nilai ujian.

Dengan penuh harap, Alya membawa pulang piala dan

sertifikatnya. Ia berharap orang tuanya akan bangga padanya.

Namun, reaksi mereka di luar dugaan. Ayahnya hanya

berkomentar singkat, "Baguslah. Tapi jangan lengah, ya."

Ibunya bahkan tidak mengucapkan selamat.

Hati Alya hancur. Ia merasa semua yang ia lakukan sia-sia. Ia

menyadari bahwa orang tuanya tidak pernah benar-benar

menghargai dirinya apa adanya. Mereka hanya melihatnya

sebagai mesin pembuat prestasi.

Malam itu, Alya memutuskan untuk kabur dari rumah. Ia tak

ingin lagi hidup dalam ketakutan dan tekanan. Dengan

membawa sedikit pakaian dan uang saku, ia pergi tanpa pamit.

Alya mengembara ke sebuah kota kecil. Di sana, ia bekerja

sebagai pelayan di sebuah kafe. Pemilik kafe adalah seorang

wanita tua yang baik hati. Ia memberikan Alya tempat tinggal

dan kasih sayang yang selama ini ia rindukan.

Di kafe itu, Alya bertemu dengan banyak orang dari berbagai

kalangan. Mereka mengajarkan Alya tentang arti kehidupan

yang sebenarnya. Mereka membuatnya menyadari bahwa

kebahagiaan tidak hanya bisa diperoleh dari prestasi.

Bertahun-tahun kemudian, Alya menjadi seorang penulis

terkenal. Buku-bukunya banyak dibaca dan menginspirasi

banyak orang. Ia juga sering memberikan seminar tentang

pentingnya menghargai diri sendiri dan orang lain.

Suatu hari, Alya bertemu kembali dengan orang tuanya.

Mereka sudah tua dan tampak menyesal atas apa yang telah

mereka lakukan. Alya memaafkan mereka, namun ia tidak ingin

kembali ke masa lalu. Ia telah menemukan kebahagiaan yang

sesungguhnya jauh dari mereka.

Kisah Alya mengajarkan kita bahwa nilai ujian bukanlah

segalanya. Setiap individu memiliki potensi dan bakat yang

berbeda-beda. Sebagai orang tua, kita harus mendukung dan

memberikan kasih sayang kepada anak-anak kita tanpa syarat.

Jangan pernah membandingkan anak kita dengan orang lain.

Ingatlah, setiap anak adalah istimewa.

Pesan Moral Utama:

Nilai ujian bukan segalanya: Prestasi akademik memang

penting, namun bukan satu-satunya penentu kebahagiaan dan

keberhasilan seseorang. Setiap individu memiliki potensi dan

bakat yang unik, yang tidak selalu terukur melalui nilai.

Pentingnya dukungan keluarga: Keluarga seharusnya

menjadi tempat teraman bagi anak untuk tumbuh dan

berkembang. Dukungan tanpa syarat dari orang tua sangat

penting untuk membangun kepercayaan diri dan harga diri

anak.

Kebahagiaan sejati datang dari dalam diri: Kebahagiaan tidak

bisa dibeli dengan uang atau prestasi. Kebahagiaan sejati

berasal dari penerimaan diri, hubungan yang sehat, dan

perasaan puas dengan hidup.

Jangan takut untuk berbeda: Setiap individu unik dan tidak

perlu merasa tertekan untuk menjadi seperti orang lain.

Mengejar kesempurnaan yang tidak realistis hanya akan

membawa pada kekecewaan.

Secara keseluruhan, cerita Alya adalah sebuah pengingat

bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada pencapaian

eksternal, melainkan pada penerimaan diri dan hubungan yang

berarti dengan orang lain.

HARAPAN DI TENGAH

 HARAPAN DI TENGAH

KEPUTUSASAAN

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Di jantung kota metropolitan Jakarta, kehidupan berjalan

seperti biasa. Hiruk pikuk kendaraan, ramainya pasar, dan tawa

anak-anak bermain menjadi pemandangan sehari-hari. Namun,

kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.

Berita tentang virus baru yang mematikan mulai menyebar

dari Wuhan, China. Virus itu diberi nama c-25. Gejala awalnya

mirip flu biasa, namun dalam hitungan hari, tubuh penderita

akan melemah, demam tinggi hingga 45 derajat Celsius, dan

akhirnya meninggal dunia.

Virus c-25 menyebar dengan cepat ke seluruh dunia.

Kota-kota besar menjadi sunyi, jalanan lengang, dan

rumah-rumah dipenuhi isak tangis. Pemerintah di seluruh dunia

memberlakukan lockdown, menutup perbatasan, dan

mengisolasi wilayah-wilayah yang terpapar virus c-25.

Ekonomi dunia lumpuh, bisnis bangkrut, dan jutaan orang

kehilangan pekerjaan. Dunia berada di ambang kehancuran.

Di sebuah laboratorium kecil di pinggiran kota Jakarta,

enam anak muda Indonesia, Shakira, Chindita, Emilda, Alfie

Maxwell, dan Brian, berjuang melawan waktu. Mereka adalah

harapan terakhir umat manusia, tumpuan asa di tengah

keputusasaan.

Shakira dan Maxwell, seorang ahli virologi yang berbakat,

dengan tekun meneliti sampel virus c-25. Alfie dan Emilda,

seorang ahli kimia yang jenius, meracik berbagai senyawa

untuk menemukan formula yang tepat. Serta Brian dan

Chindita, seorang ahli biologi molekuler yang handal, bertugas

menganalisis struktur virus dan mencari titik lemahnya.

Hari-hari mereka lalui dengan kerja keras dan doa. Mereka

tidur di laboratorium, makan makanan instan, dan

mengabaikan kehidupan pribadi mereka. Yang ada di benak

mereka hanyalah bagaimana menyelamatkan dunia dari

kehancuran.

Setelah berbulan-bulan melakukan penelitian yang

melelahkan, Shakira, Chindita, Emilda, Maxwell, Alfie, dan

Brian akhirnya menemukan titik terang. Mereka berhasil

mengidentifikasi struktur virus c-25 dan menemukan senyawa

yang dapat melumpuhkannya.

"Ini dia!" seru Shakira dan Maxwell, matanya berbinar-binar.

"Senyawa ini dapat menghancurkan protein virus c-25!"

Alfie dan Emilda segera meracik formula obat berdasarkan

senyawa tersebut. Brian dan Chindita memastikan bahwa obat

tersebut aman dan efektif untuk digunakan pada manusia.

Setelah melalui serangkaian uji coba yang ketat, obat c-25

akhirnya siap diproduksi massal. Kabar baik ini menyebar

dengan cepat ke seluruh dunia, membawa harapan baru bagi

umat manusia.

Pemerintah di seluruh dunia bekerja sama untuk mendistribusikan obat c-25 secara gratis kepada seluruh penduduk. Rumah sakit-rumah sakit dipenuhi pasien yang ingin mendapatkan obat c-25.

Dalam beberapa minggu, virus c-25 berhasil dilumpuhkan. Jutaan nyawa berhasil diselamatkan. Dunia kembali bernafas lega.

Shakira, Chindita, Emilda, Maxwell, Alfie, dan Brian menjadi pahlawan dunia. Mereka tidak hanya menyelamatkan umat manusia dari kepunahan, tetapi juga memberikan inspirasi bahwa harapan selalu ada, bahkan di saat-saat tergelap.

Pesan Moral

Cerpen ini menggambarkan betapa pentingnya kerja keras, kerjasama, dan keyakinan dalam menghadapi tantangan. Di tengah krisis global, ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi senjata ampuh untuk menyelamatkan umat manusia.

Selain itu, cerpen ini juga mengingatkan kita untuk tidak pernah menyerah dan selalu berharap, karena keajaiban bisa datang dari mana saja, bahkan dari tempat yang tidak terduga.

MISTERI DIBALIK LUKISAN

 MISTERI DIBALIK LUKISAN

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Rumah tua itu berdiri kokoh di ujung kampung. Catnya mengelupas, kayu-kayunya lapuk, namun aura mistisnya masih terasa kuat. Anak-anak kecil di kampung sering berbisik tentang hantu yang menghuni rumah itu, membuat suasana semakin mencekam.

Dina, gadis remaja penuh rasa ingin tahu, tak pernah takut pada cerita-cerita hantu. Justru, ia penasaran dengan rumah tua itu. Suatu sore, saat matahari mulai condong ke barat, Dina memberanikan diri memasuki halaman rumah tua tersebut.

Halaman rumah penuh dengan semak belukar. Daun-daun kering bertebaran di mana-mana, seakan menyambut kedatangannya. Dina berjalan perlahan, hati berdebar kencang. Sesekali, ia mendengar suara-suara aneh yang membuatnya merinding.

Akhirnya, Dina sampai di depan pintu rumah. Pintu kayu itu terlihat usang dan berkarat. Dengan hati-hati, Dina mendorong pintu itu. Bunyi derit pintu kayu menambah rasa tegangnya.

Di dalam rumah, suasana gelap dan pengap. Debu menyelimuti seluruh ruangan. Dina menyalakan senter ponselnya dan mulai menjelajahi ruangan demi ruangan. Ia menemukan banyak barang-barang antik yang sudah berlumuran debu. Ada jam dinding besar yang sudah berhenti, sebuah piano tua yang tertutup kain, dan beberapa lukisan yang digantung di dinding.

Salah satu lukisan menarik perhatian Dina. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita muda yang sedang menangis. Wajahnya terlihat sangat sedih dan kesepian. Dina merasa ada sesuatu yang aneh dengan lukisan itu. Semakin lama ia menatap lukisan itu, semakin ia merasa tidak nyaman.

Tiba-tiba, lampu senter Dina mati. Ruangan menjadi gelap gulita. Dina berusaha mencari saklar lampu, namun tidak menemukannya. Ia mulai panik. Tiba-tiba, ia mendengar suara tangisan yang sangat sedih. Suara itu berasal dari arah lukisan.

Dina mendekati lukisan itu dengan hati-hati. Saat jarinya menyentuh bingkai lukisan, lampu senternya menyala kembali. Namun, lukisan itu sudah berubah. Wanita muda yang sedang menangis itu sekarang menatapnya dengan tatapan kosong.

Dina berteriak ketakutan dan berlari keluar dari rumah. Ia berlari sekencang-kencangnya hingga sampai di ujung kampung. Tiba-tiba, ia merasa sangat lelah dan jatuh tersungkur.

Ketika Dina membuka matanya, ia sudah berada di kamarnya. Ternyata, tadi hanya mimpi buruk. Namun, rasa takut masih menghantuinya.

Keesokan harinya, Dina menceritakan mimpinya kepada neneknya. Neneknya tersenyum dan berkata, "Rumah tua itu menyimpan banyak rahasia, Nak. Dulu, ada seorang wanita muda yang tinggal di rumah itu. Ia sangat sedih karena ditinggal pergi oleh kekasihnya. Kesedihannya begitu mendalam hingga ia meninggal di dalam rumah itu."

Nenek melanjutkan ceritanya, "Konon katanya, arwah wanita itu masih bergentayangan di sekitar rumah itu. Ia mencari cinta yang tak pernah ia dapatkan."

Dina terdiam mendengar cerita neneknya. Ia baru menyadari bahwa lukisan yang dilihatnya dalam mimpi adalah gambaran dari wanita muda yang malang itu.

Sejak saat itu, Dina tidak pernah lagi berani mendekati rumah tua itu. Ia sadar bahwa ada kekuatan mistis yang bekerja di balik rumah tua tersebut. Rumah tua itu menjadi sebuah misteri yang belum terpecahkan.

Pesan Moral:

Cerita ini mengajarkan kita untuk menghargai masa lalu dan menghormati keberadaan makhluk halus. Setiap tempat memiliki sejarahnya sendiri, dan kita harus berhati-hati dalam menjelajahi tempat-tempat yang menyimpan banyak misteri.

KOTA YANG TERANCAM

 KOTA YANG TERANCAM

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan yang ramai, tersembunyi sebuah kelompok yang terdiri dari enam individu luar biasa. Mereka adalah Fadhil, Nizar, Najia, Wardah, Riziq, dan Rahil, masing-masing dianugerahi kekuatan super unik yang membuat mereka berbeda dari manusia biasa.

Fadhil, dengan kepekaan alaminya, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan hewan. Nizar, seorang pemikir ulung, mampu membaca pikiran orang lain. Najia, dengan tatapan mata yang menembus waktu, dapat melihat masa lalu yang telah terjadi. Wardah, seorang visioner, mampu melihat masa depan yang akan datang. Riziq, dengan kekuatan yang menakjubkan, dapat membelah dirinya menjadi lima individu yang identik. Dan Rahil, dengan kelincahan dan kecepatan yang luar biasa, dapat menghilang dalam sekejap mata.

Mereka berenam, yang dikenal sebagai "The Six", telah berjanji untuk menggunakan kekuatan mereka untuk melindungi kota dari segala ancaman. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa, selalu siap untuk turun tangan ketika kejahatan dan ketidakadilan merajalela.

Namun, kedamaian kota terusik ketika muncul sebuah kelompok penjahat yang dipimpin oleh seorang dalang misterius. Kelompok ini, yang dikenal sebagai "The Syndicate", berencana untuk mengambil alih kota dan mengubahnya menjadi wilayah kekuasaan mereka.

The Syndicate tidak beraksi sendiri. Mereka memiliki sekutu yang kuat, sebuah geng beranggotakan individu-individu berbahaya yang dipimpin oleh Fathan, Alwi, Azki, Isna, Zahira, dan Hilya. Geng ini, yang dikenal sebagai "The Shadow Syndicate", bertugas untuk mengganggu dan menggagalkan setiap upaya The Six untuk menggagalkan rencana The Syndicate

The Six dan The Shadow Syndicate terlibat dalam serangkaian pertarungan sengit di seluruh penjuru kota. Fadhil menggunakan kemampuannya untuk berkomunikasi dengan hewan-hewan, mengumpulkan informasi tentang pergerakan musuh. Nizar membaca pikiran para anggota The Shadow Syndicate, mencari tahu rencana mereka yang sebenarnya. Najia melihat masa lalu para penjahat, mencari kelemahan yang bisa dieksploitasi. Wardah melihat masa depan, mencari tahu strategi terbaik untuk menghadapi musuh. Riziq, dengan kelima dirinya, menyerang dari berbagai arah, membingungkan dan mengacaukan musuh. Dan Rahil, dengan kemampuan menghilangnya, menyusup ke markas musuh, mengumpulkan informasi penting.

Pertarungan demi pertarungan dimenangkan oleh The Six. Mereka berhasil menggagalkan rencana The Syndicate untuk meracuni sumber air kota, menghentikan mereka dari mencuri teknologi canggih, dan menggagalkan upaya mereka untuk menyebarkan ketakutan dan kekacauan di antara warga kota.

Namun, The Shadow Syndicate tidak menyerah begitu saja. Mereka terus berupaya untuk melemahkan The Six, mencoba untuk memecah belah persatuan mereka. Mereka menyebarkan desas-desus dan fitnah, mencoba untuk menanamkan keraguan dan ketidakpercayaan di antara para pahlawan super.

Di tengah tekanan yang semakin besar, The Six menghadapi ujian berat. Salah satu dari mereka, Rahil, ternyata memiliki masa lalu yang kelam yang terkait dengan The Syndicate. Rahil, yang merasa bersalah dan tertekan, akhirnya berkhianat dan bergabung dengan musuh.

Pengkhianatan Rahil mengguncang The Six. Mereka merasa marah, kecewa, dan bingung. Bagaimana bisa salah satu dari mereka mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan?

Namun, di saat-saat sulit ini, persahabatan dan kesetiaan mereka diuji. Mereka belajar untuk saling memaafkan dan melupakan kesalahan masa lalu. Mereka menyadari bahwa kekuatan sejati mereka bukan hanya terletak pada kekuatan super yang mereka miliki, tetapi juga pada ikatan persahabatan yang kuat di antara mereka.

Dengan semangat baru, The Six bersatu kembali. Mereka menghadapi The Syndicate dan The Shadow Syndicate dengan keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan.

Pertempuran terakhir terjadi di pusat kota. The Six dan The Syndicate terlibat dalam pertarungan epik yang menentukan nasib kota.

Fadhil memimpin pasukan hewan-hewan, menyerang musuh dari segala arah. Nizar menggunakan kemampuan membaca pikirannya untuk memprediksi gerakan musuh, memberikan informasi penting kepada rekan-rekannya. Najia melihat masa lalu para penjahat, mencari tahu kelemahan mereka yang tersembunyi. Wardah melihat masa depan, mencari cara terbaik untuk mengalahkan musuh. Riziq, dengan kelima dirinya, bertarung dengan gagah berani, melumpuhkan musuh-musuh yang kuat. Dan Rahil, yang telah kembali ke sisi kebenaran, menggunakan kemampuan menghilangnya untuk menyusup ke markas musuh, menghancurkan sumber kekuatan mereka.

Setelah pertarungan yang panjang dan melelahkan, The Six akhirnya berhasil mengalahkan The Syndicate dan The Shadow Syndicate. Kota kembali aman dan damai.

The Six telah membuktikan bahwa kekuatan super bukanlah jaminan kemenangan. Yang terpenting adalah bagaimana mereka menggunakan kekuatan tersebut untuk kebaikan dan bagaimana mereka bekerja sama sebagai tim yang solid.

Mereka juga belajar bahwa setiap orang memiliki kekuatan tersembunyi di dalam diri mereka. Kekuatan untuk berbuat baik, kekuatan untuk mencintai, dan kekuatan untuk tidak pernah menyerah.

The Six akan terus melindungi kota mereka dan menjadi inspirasi bagi semua orang. Mereka adalah pahlawan super yang tidak hanya memiliki kekuatan super, tetapi juga hati yang penuh kasih dan semangat yang tak pernah padam.

APA ITU AYAH

 APA ITU AYAH

By : Muhammad Fadhil Nurhikam

Apa Itu Ayah

Dina selalu bertanya pada ibunya, "Bu, apa itu ayah?" Ibunya tersenyum lembut, mengusap rambut halus Dina. "Ayah itu, sayang, seperti pohon besar yang melindungi kita dari terik matahari dan hujan. Akarnya kuat menancap di tanah, menjaga kita agar tetap teguh."

Dina masih belum mengerti. "Tapi, Bu, aku belum pernah melihat ayah." Ibunya terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. "Ayahmu ada di surga, sayang. Dia menjaga kita dari sana."

Dina mengangguk, walaupun ia tak benar-benar paham. Setiap malam, sebelum tidur, Dina selalu menatap langit. "Ayah, apakah kamu melihatku? Aku merindukanmu."

Bertahun-tahun berlalu, Dina tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan baik hati. Ia sering mendengar cerita tentang ayahnya dari ibunya. Tentang bagaimana ayahnya sangat menyayanginya, tentang tawa cerahnya, dan tentang pelukan hangat yang selalu membuatnya merasa aman.

Suatu hari, Dina menemukan sebuah buku harian di lemari ibunya. Di dalamnya, ia menemukan banyak sekali surat cinta dari ayahnya untuk ibunya. Surat-surat itu begitu indah, penuh dengan kata-kata kasih sayang. Dina membaca surat-surat itu berulang kali, hatinya terasa hangat.

Dari surat-surat itu, Dina mulai mengerti apa arti seorang ayah. Ayah adalah sosok yang kuat, penyayang, dan selalu ada untuk keluarganya. Meskipun ayahnya sudah tidak ada di sisinya, cinta ayahnya tetap hidup di dalam hatinya.

Dina teringat akan sebuah cerita yang pernah diceritakan ibunya. Dulu, ketika Dina masih kecil, ayahnya selalu membacakan dongeng sebelum tidur. Salah satu dongeng yang paling disukai Dina adalah tentang seorang pangeran yang menyelamatkan seorang putri dari naga jahat. Dina bertanya pada ibunya, "Bu, apakah ayahku seperti pangeran itu?" Ibunya tersenyum, "Ayahmu lebih dari seorang pangeran, sayang. Ayahmu adalah pahlawanmu."

Sejak saat itu, Dina tidak lagi bertanya, "Apa Itu Ayah?" Ia sudah menemukan jawabannya sendiri. Ayah adalah sosok yang abadi, yang cinta kasihnya akan selalu menyertainya sepanjang hidup. Dina yakin, di mana pun ayahnya berada, ayahnya pasti bangga melihatnya tumbuh menjadi gadis yang kuat dan mandiri.

Suatu hari, Dina pergi ke taman yang sering ia kunjungi bersama ibunya. Di sana, ia melihat seorang anak kecil sedang menangis tersedu-sedu karena kehilangan bola. Tanpa ragu, Dina menghampiri anak itu dan membantunya mencari bola. Setelah menemukan bola itu, anak kecil itu tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih.

Dina teringat pada dirinya sendiri ketika masih kecil. Ia merasa senang bisa membantu anak itu. Dalam hati, Dina berbisik, "Ayah, lihatlah aku. Aku sudah tumbuh besar dan bisa membantu orang lain, seperti yang selalu ayah ajarkan."

Dina melanjutkan studinya di kota besar. Ia merindukan rumah dan ibunya, tetapi ia selalu ingat pesan ayahnya untuk terus belajar dan meraih cita-cita. Di kota besar, Dina bertemu dengan banyak orang baru. Salah satunya adalah seorang guru yang sangat menginspirasinya. Guru itu sering menceritakan kisah tentang ayahnya, seorang pelaut yang menjelajahi lautan luas.

Dari guru itu, Dina belajar tentang keberanian, keteguhan hati, dan semangat petualangan. Ia menyadari bahwa nilai-nilai yang dimiliki ayahnya juga dimiliki oleh banyak orang lain. Ayah adalah sosok yang universal, yang bisa ditemukan dalam berbagai bentuk dan rupa.

Suatu hari, Dina memutuskan untuk mengunjungi makam ayahnya. Di sana, ia duduk termenung sambil mengingat semua kenangan indah bersama ayahnya. Ia merasa sangat bersyukur memiliki ayah yang luar biasa.

Dina menyadari bahwa meskipun ayahnya sudah tiada, ia tetap hidup di dalam hati Dina. Cinta ayahnya akan selalu menjadi kekuatan yang mendorongnya untuk terus maju. Dina berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi orang yang berguna bagi orang lain, seperti ayahnya.

Pesan Moral:

Cerita ini ingin menyampaikan bahwa meskipun seseorang tidak pernah bertemu dengan ayahnya, cinta seorang ayah tetap bisa dirasakan melalui cerita, kenangan, dan warisan yang ditinggalkan. Ayah adalah sosok yang sangat penting dalam kehidupan seseorang, dan kasih sayangnya akan selalu menjadi sumber kekuatan dan inspirasi. Cinta seorang ayah tidak terbatas oleh ruang dan waktu, bahkan setelah ia tiada, kasih sayangnya akan selalu hidup di hati anak-anaknya.

Rumah Ternyaman

 Rumah Ternyaman 


By : Naira Hilmiyah 


"Ude, Rara kok tinggal di sini sih? Sedangkan Ade sama mama di rumah?"

Tanya seorang gadis kecil kepada uwanya dengan linangan air mata di matanya. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil mengelus-elus rambut kepala milik Anara.

"Emngnya Rara ga seneng tinggal di sini?"

Gadis kecil yang baru berusia lima tahun itu menggelengkan kepalanya pelan. "Rara seneng kok tinggal sama ude, sama kakak sama wa gede juga."

Ucap Anara kembali sambil menghapus air mata miliknya.

"Terus kenapa Rara sedih? Masa anak seceria Rara sedih sihh."

Ucap ude sambil mencubit gemas pipi Ara.

"ara cuman penasaran aja ude, masa Ade Rara di rumah sama mama tapi raranya di sini. Eum.. mama sayang ga yah sama Rara?"

Mendengar pertanyaan dari gadis itu ude menatap ke arah sang anaknya atau biasa di sebut dengan panggilan kakak itu. Keduanya saling menatap satu sama lain dan tersenyum.

"Rara, semua orang sayang tau sama Rara. Jangan bilang gitu lagi yah? Kakak, ude, wa gede, semuanya sayang sama Rara. Jangan sedih lagi yah Rara."

Ucap kakak sambil menghapus jejak air mata Rara. Gadis kecil itu tersenyum mendengar ucapan dari sang kakak.

"Kakak, Rara mau susu."

Ucap gadis itu yang membuat sang kakak tersenyum.

"Mau buat susu rasa apa?"

"Coklat kak, di dot Rara yah bikinnya?"

Sang kakak menganggukkan kepalanya dan berlalu untuk membuatkan gadis kecil itu satu botol susu coklat.

"Ini dia pesanan Rara datang."

Ucap sang kakak sambil memberikan dot yang berisii susu coklat itu kepada Rara.

"Makasih kakak."

Terdengar suara ayam jantan berkokok. Seorang gadis terbangun dari tidurnya dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.

"Ude? Kakak? Wa gede? Ara kangen kayak dulu."

Ucap Anara dengan lirih. Ternyata kejadian itu hanyalah sebuah mimpi untuk mengenang masa lalunya yang indah selama beberapa tahun di sana.

"Sekarang Ara udah gede yah? Ara kangen di ajarin baca sama kakak, Ara kangen di bikinin susu sama kakak, Ara juga kangen di pukpuk sebelum tidur sama ude, Ara juga kangen di ajak main ke kebun sama wa gede."

Lanjut gadis itu sambil terus menangis.

Semenjak Anara akan memasuki kelas 1 SD gadis itu tiba tiba di ajak pulang kerumahnya untuk tinggal di sana. Anara sangat senang saat dirinya mulai kembali tinggal di sana. Namun, setiap malam gadis itu selalu merenung memikirkan momen momen indah bersama mereka.

"Kenapa baru sekarang yah Ara di pulangin? Kenapa dari kecil Ara tinggal di sana terus? Tapi Ara seneng di sana, semuanya sayang sama Ara."

Ucap sang gadis di kala itu.

***

Kini Anara susah menginjak usia 15 tahun. Di saat gadis itu baru saja pulang mengaji gadis itu menghampiri sang mama yang tengah bermain di rumah uwanya, sebut saja wa Ani.

Di saat gadis itu akan memasuki rumahnya, Anara mendengar jika sang ibu tengah membicarakan mengenai dirinya.

Anara pun memutuskan untuk mendengarkan semua pembicaraan itu, hingga tak terasa air matanya mengalir dengan begitu deras. Karna sudah tak kuasa untuk terus mendengarkan ucapan itu semua, Anara pun memutuskan untuk pulang kerumahnya dan mendudukkan dirinya di atas kasur miliknya.

"Hiks, hiks kenapa harus aku, tuhan? Aku ga sekuat itu..."

Gadis itu menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. 

"Ara"

Panggil seseorang dengan lirih sambil mengusap lembut rambut kepalanya. Menyadari itu Anara pun mendongakan kepalanya melihat siapa orang yang ada di belakangnya.

"Sakit yah? Ga papa masih ada kakak di sini. Rara jangan nangis lagi yah? Lupain luka itu dan cari kebahagiaan Rara, gak harus dari mereka Rara, kamu bisa cipatin semuanya sendiri."

Rara tersenyum saat mendapati sang kakak yang ada di sampingnya. Belaian lembut di kepalanya membuat Rara semakin tenang.

"Kak, makasih yah? Makasih udah selalu ada buat Rara, dan masih juga udah mau jadi rumah ternyaman buat Rara."

Sang kakak pun memeluk Anara dengan erat. Keduanya menangis sambil menatap jendela yang ada di kamar Rara.

"Kakak akan selalu jadi rumah buat Rara, jangan pernah berpikir kalo orang lain ga sayang sama Rara, masih ada ude, Kakak sama wa gede yang akan selalu bersama dengan Rara."

Keduanya pun saling tersenyum dan kembali berpelukan setelah sekian lamanya.

"Makasih ya tuhan, karna engkau telah memberikan obat yang terbaik buat rara."

Monolog gadis itu sambil tersenyum.

Kuéh Kakarén Taun Pulitik

                                                          Kuéh Kakarén Taun Pulitik

Karya: Muhammad Farid Rubiansyah

Kelas: 9K

          “Sah…!” Kitu ceuk urang lembur Sugih kabéh harita basa pa Dadang punjul jadi RT di dinya. Urang lembur pada kaleprok ka pa Dadang anu geus punjul dina pemilihan ketua RT di lembur Sugih.

          “Wah,, haturan pa, tos janten RT lima periode, ayeuna meureun anu ka genep. Mugia apanjang-upunjung lemburna.” Cék sainganana.

          “Alhamdulillah, aamiin. Hatur nuhun kana perhatosanna, hapunten nya pajeng waé,” saur pa Dadang bari sura-seuri.

          Salila Pa Dadang nyepeng kalungguhan RT lima periode, manéhna nyieun rupa-rupa kagiatan di lembur Sugih, salah sahijina mekarkeun paguyuban ibu-ibu PKK. Tapi, najan paguyuban ibu-ibu PKK geus aya kira dua taunna, anu jadi anggotana mah ngan tiluan, nyéta ceu Linda, ceu Mumun, jeung ceu Isah.

          Saréngséna kagiatan pemilihan ketua RT, ceu Mumun boboléh ka pa Dadang. “Pa, ayeuna bapa jadi deui pa RT deui. Kanggé tasyakur bini’mahna punjul janten RT jadi anu ka genep periodena, abdi salaku ‘budak asuhan’ bapa badé ngapromosikeun ‘kuéh législatif’ ka bapa sareng ka urang lembur.”

          “Euleuh-euleuh, kueh naon éta, mani asa kakara nadéngé, ceu? Buatan ibu-ibu PKK?” saur pa Dadang bari kerung mikiran éta kadaharan.

          “Pokona mah, antosan pagéto tamat pa, engké ogé bapa terang nyalira. Lamun tiasa mah pa, mangga dibéwarakeun ka urang lembur, supados janten mitra UMKM.” Cék ceu Mumun bari cungar-cengir, tuluy ngaléos nyampeurkeun balad sapaguyubanna.

          Pa Dadang anu masih bingung kana omongan ceu Mumun, tuluy leumpang kana podium pemilihan, pa Dadang ngahurungkeun mik sepiker tuluy méré béwara ka urang lembur Sugih sadaya. “Ka bapa-bapa kalih ibu-ibu sadaya. Dina raraga tasyakur sim kuring jadi RT anu ka genep kalina, kuring ngulem ka bapa-ibu sadaya, diantos di bumina ceu Mumun dina dinten salasa minggon payun”Baris diwanohkeun “kue législatif.”

          Puguh, ngadéngé béwara ti pa Dadang siga kitu, urang lembur Sugih pada baringung. Kabéh panasaran naon ari kue legislative. Saharita langsung raribut. Malah aya ogé urang lembur anu neundeun duit ka pa Dadang, panasaran hayang nyaho kumaha “kuéh législatif” téh. Kawénéhan harita oge keur usumna calon législatif daratang ka lembur-lembur sabab rék mayunan pilkada, caritana rék ménta dukungan.

Budak ceu Linda anu kabeneran keur aya di éta patempatan nyikikik seuri tuluy ngomong ka budakna ceu Mumun. “Watir teuing pa RT jeung urang lembur beunang ‘scam’ ti indung manéh.”

          “Baé lah. Berarti bener ceuk pamaréntah ogé, urang pilemburan mah masih loba kénéh anu telmi, telat mikir.” Ceuk budakna ceu Mumun bari seseurian. Geus kitu mah, soloyor duanana rék arulin jeung balad-baladna nu lian.

***

          Isukna, ceu Mumun datang ka imahna ceu Linda bari mamawa kérések eusi balanjaan ti pasar. Manéhna keketrok panto bari luak-lieuk ka sakuriling, teuing naon alesanna. Barang bral pantona dibukakeun ku ceu Linda, ceu Mumun langsung berebet asup ka jero tuluy ngajak diuk sagancangna.

          “Kunaon sih ceu, mani buru-buru pisan atuh.” Ceuk ceu Linda semu kesel pédah reuwaseun ku ceu Mumun.

          “Pokona mah kieu. Kamari abi janji ka pa Dadang rék nyieun kuéh, ayeuna bantuan abi nyieun ‘kuéh législatif’.” Cék ceu Mumun bari nutupkeun panto

          “Euleuh, paingan buru-buru kitu. Hayu atuh kadieu, kaluarkeun bahan-bahanna.”

          Ceu Mumun jeung ceu Linda tuluy pak pik pek di dapur nyieun “kuéh législatif”. Ari keur sibuk di dapur, torojol budakna ceu Mumun rék nyampeur budakna ceu Linda ulin. Ari budakna ceu Mumun nempo indungna keur aya di dapurna. Manéhna tuluy nanya. “Mah, keur nyieun naon di dieu?”

          “Keur nyieun ‘kuéh législatif’, émang naon kitu?” Ceu Mumun malik nanya.

          “Oh…” Ceuk budakna. Tuluy manéhna ngomong deui. “Mah, pamali siah mamah geus nipu pa RT jeung urang lembur kabéh.”

          “Manéh wé éta mah. Ari mamah nipu naon?”

          “Ari éta ‘kuéh législatif’ ideu mamah, pan éta téh sabenerna mah lain nu kitu. Terus ku mamah ké dijualan ka urang lembur, pédah urang lembur teu terangeun rusiahna. Watir atuh, urang lembur beunang ‘scam’ ti mamah.” Budak ceu Mumun mamatahan.

          “Yeuh, mamah mah ngan bade jualan, terus dimana salahna?”

          “Nya salah. Mamah geus méré arepan palsu. Urang lembur mah meureun ngarep-ngarep nu kumaha kuéh téh, ari pék téh sami-sami kénéh nu kitu.”

          “Baé ah éta mah lain salah mamah, bongan saha hayang waé percaya omongan mamah.”

          “Oh terserah. Ngan engké ku abi bade dibocorkeun rusiahna éta kuéh téh ka warga sadayana.” Cék budakna ceu Mumun bari ngemu kakesel. Ngadéngé budakna rék ngabocorkeun rusiahna, ceu Mumun langsung ngupahan. Tapi tetep baé budakna kesel.

          “Naon atuh kahayang manéh téh. Duit jang jajan?” Ceu Mumun masih keur ngupahan budakna ngarah teu ngabocorkeun rusiah “kuéh législatif”.

          “Enya atuh, meni teu pekaan pisan kana kahayang abi” Cék budakna bari kukulutus.

          “Tah duit mah, bawa wé. Tapi inget tong dibéja-béja ka sasaha mamah geus nipu.” Ceuk ceu Mumun bari nuluykeun ngaduk. Budakna seuri bari ugeuk-ugeukan, tuluy ngaléos jeung budakna ceu Linda anu geus nungguan ti tadi.

          Teu sawatara lila, torojol ceu Isah datang ka imahna ceu Linda. Sanggeus asup, ceu Isah ngomong. “Meni teu béja-béja rék nyieun kuéh téh.”

          “Tadina tuda buru-buru, bisi kanyahoan ku urang lembur ari rék ukur nyieun nu kieu hungkul mah.”

          “Oh nya, tadi abi pendak jeung pamajikanna pa Dadang, cénah ké pa Dadang rék kadieu isukan nempo heula barangna, geus jadi atawa acan.”

          Puguh, ngadéngé béja siga kitu mah, ceu Mumun jeung ceu Linda hariweusweus, sabab rusiah “kuéh législatif” téh bakal kabongkar. Tungtungna mah, pagawéan téh ditunda heula sapoéeun deui, da sieun kanyahoan ku pa Dadang yén éta téh lain adonan kuéh législatif pesenanna urang lembur.

***

          Heuleut sapoé. pabeubeurang, pa Dadang jeung pamajikanna datang ka imahna ceu Linda, rék nempo hasil pagawéan paguyuban ibu-ibu PKK téh. Barang neupi ka imahna, kasampak ceu Linda, ceu Mumun, jeung ceu Isah geus ngariung di dapur. Ana pa Dadang ningalian saeusi dapur, tuluy ngomong. “Euleuh-euleuh, geningan masih kénéh ngadonan kuéh, ari sugan téh tos aya anu asak.”

          Ceu Mumun seuri heureuy, tuluy ngomong. “Muhun pa RT. Adonanna téh can siap, margi kamari aya masalah sakedik, tapi da ayeuna mah tos lancar deui.”

          Sabenerna mah ceu Mumun jeung balad sapaguyubanna rada geumpeur lantaran pa Dadang jeung pamajikanna geus aya tilu jamna nempoan maranéhanana gawé nyieun “kuéh législatif” téh, sieuneun kapanggiheun maranéhanana geus nipu. Adonan kawas teu maju-maju waé jadi kuéh, angger baé cicing dina wadah baskom ngajentul, ari maranéhanana ukur gawé teu puguh. Ceu Mumun anteng dina wastafel, ceu Linda tonggoy dina lomari wadah samara, ceu Isah cindekul nunungguan oven anu ditagogkeun luhureun kompor.

          Tungtungna mah pa RT Dadang jeung pamajikanna ninggalkeun paguyuban ibu-ibu PKK rék nguruskeun pagawéan séjén. Geus euweuh mah, ceu Mumun, ceu Linda, jeung ceu Isah geuwat nuluykeun deui pagawéanna nyieun “kuéh législatif” anu can bérés. Adonan anu geus jadi ditambrukeun kabéh dina Loyang, tuluy diasupkeun kana oven anu handapana geus cakeutreuk hideung ku jalaga bales lila teuing ditagogkeun saluhureun kompor hurung tilu jamna. Hadéna wé teu matak picilakaeun.

***

          Kocap isukna geus dongkap kana poé salasa. Pasosoré, urang lembur Sugih jeung pa RT Dadang nyumpingan ka imahna ceu Mumun rék nempo naon sabenerna anu ngaranna “kuéh législatif” téh. Caritanana téh, urang lembur ogé rék niat bari silaturahmi, jadi maranéhanana mamawa dus kotak dahareun séwang-séwangan bari dikérésékan.

          Barang datang ka imahna ceu Mumun, urang lembur geus nempoan panggung leutik di buruan imahna. Di dinya geus aya paguyuban ibu-ibu PKK, taratih hareupeun méja anu kacirina aya barang anu ngahaja ditutupan ku sangku. Sagigireunna, aya pa RT Dadang jeung pamajikanna kaciri geus nunungguan éta sangku dibuka.

          Datang budakna ceu Mumun jeung ceu Linda bari ngangajak budakna pa Dadang anu karék bérés ulin jeung maranéhanana. Bari luak-lieuk, budak ceu Mumun tuluy ngaharéwos ka budakna pa Dadang. “Éh, ari kuéh téh kumaha?”

          “Geus aman lah. Ayeuna mah nu bakal kapok téh indung manéh, bongan geus nipu. Baé nya indung manéh bakal dinyenyeri haténa.” Ceuk budakna pa Dadang.

          “Baé lah, tuman. Sina Insaf saenggeus kieu mah.” Budak ceu Mumun rada semu camberut bari tungkul.

          Sedengkeun éta budak anu tiluan haharéwosan. Ceu Mumun jeung dua baladna ngabagikeun dus dahareun eusi “kuéh législatif” ka tamu-tamu anu haladir. Bari dipasihan saurang sadus, ceu Mumun ogé nampi dus dahareun ti urang lembur. Ti katinggaleun, pa Dadang ogé kabagéan dus dahaeun ti ceu Mumun.

          Geus kabagéan kabéh, tuluy ceu Mumun unjukan ka pa RT sangkan ngitung mundur ngarah urang lembur bisa muka dus eusi kuéh téh babarengan. Bari nyikikik seuri, ceu Mumun tuluy ngumpulkeun dus dahareun ti urang lembur di saluhureun méja panggung.

          “Hiji… dua… tilu…, sok atuh mangga dibaruka sareng mangga geura dilaleueut haturanna.” Ceuk pa Dadang.

          Ana brak dibaruka dusna, ceu Mumun, ceu Linda jeung ceu Isah kalah pada ngajéréwét, urang lembur Sugih pada héran bari sawaréh aya nu sareuri. Singhoréng ceu Linda jeung paguyubaan ibu-ibu PKK meunang jebakan ti urang lembur. Maranéhanana meunang dahareun sarua anu dibikeun ka urang lembur, si kuéh ”legislatif” tea. Nyatana “kuéh législatih” téh  ukur kuéh lapis legit anu geus pasaran.

          “Kumaha ceu Mumun, katampi kuéhna?” Cék pa Dadang bari nyikikik seuri.

          “Euh…! Ieu saha anu wani ngabongkar rusiahna kuéh jieunan urang, kan teu jadi untung kalah jadi buntung. Pasti ulah manéh ieu mah!” Ceu Mumun kukulutus bari nyentikkeun curukna ka budakna.

          “Sanes abi, mah. Tuh budakna pa Dadang anu ngabéjaan urang salembur téh, manéhna geus nyahoeun rencana mamah jadi teu anéh matak gagal ogé,” ceuk budakna bari nunjuk budakna pa RT.

          “Euleuh-euleuh ceu Mumun, matakna ari jadi jalma ulah sok nipu ka batur, kumaha lamunna dibalikkeun. Ulah karana hayang duit loba bari embung mikir jeung kerja keras, ideu kréatif anu sakirana ‘garing’ diréalisasikeun, tuluy dikoar-koar ka batur. Paribasana goong nabeuh manéh, hayang kaaku gawé ku batur…” Pa RT Dadang mani haripeut  mamatahan ceu Mumun jeung balad sapaguyubanna anu geus culas ka urang lembur.

          “Enya, hapunten abi. Abi rumasa geus culas ka urang lembur sadaya, tos nipu ka pala wargi sadaya ku ayana promosi ieu produk, tos nguciwakeun lantaran abi ngan tiasa ngapromosikeun kuéh siga kieu. Manawi pala wargi sadaya bade ngahapunten ka abi.” Cék ceu Mumun bari ngupahan.

          Singgetna mah, urang lembur Sugih embung manjangkeun masalah, ahirna mah ceu Mumun, ceu Linda, sareng ceu Isah dihampura. Tapi pa Dadang ngawanti-wanti mun hayang ngamekarkeun UMKM di lembur mah kudu laporan heula sing béntés ngarah jelas prak-prakanna, lamun bisa mah ngarahkeun urang lembur supaya bisa ilubiung dina saban kagiatan, boh kagiatan PKK atawa kagiatan sosial lianna. Nu matak pa Dadang bisa jadi pa RT genep période téh sabab manéhna bisa dipercaya pikeun jadi pamingpin urang lembur Sugih.

***

Kuéh Kakarén Taun Pulitik

          “Sah…!” Kitu ceuk urang lembur Sugih kabéh harita basa pa Dadang punjul jadi RT di dinya. Urang lembur pada kaleprok ka pa Dadang anu geus punjul dina pemilihan ketua RT di lembur Sugih.

          Wah,, haturan pa, tos janten RT lima periode, ayeuna meureun anu ka genep. Mugia apanjang-upunjung lemburna.” Cék sainganana.

          “Alhamdulillah, aamiin. Hatur nuhun kana perhatosanna, hapunten nya pajeng waé,” saur pa Dadang bari sura-seuri.

          Salila Pa Dadang nyepeng kalungguhan RT lima periode, manéhna nyieun rupa-rupa kagiatan di lembur Sugih, salah sahijina mekarkeun paguyuban ibu-ibu PKK. Tapi, najan paguyuban ibu-ibu PKK geus aya kira dua taunna, anu jadi anggotana mah ngan tiluan, nyéta ceu Linda, ceu Mumun, jeung ceu Isah.

          Saréngséna kagiatan pemilihan ketua RT, ceu Mumun boboléh ka pa Dadang. “Pa, ayeuna bapa jadi deui pa RT deui. Kanggé tasyakur bini’mahna punjul janten RT jadi anu ka genep periodena, abdi salaku ‘budak asuhan’ bapa badé ngapromosikeun ‘kuéh législatif’ ka bapa sareng ka urang lembur.”

          “Euleuh-euleuh, kueh naon éta, mani asa kakara nadéngé, ceu? Buatan ibu-ibu PKK?” saur pa Dadang bari kerung mikiran éta kadaharan.

          “Pokona mah, antosan pagéto tamat pa, engké ogé bapa terang nyalira. Lamun tiasa mah pa, mangga dibéwarakeun ka urang lembur, supados janten mitra UMKM.” Cék ceu Mumun bari cungar-cengir, tuluy ngaléos nyampeurkeun balad sapaguyubanna.

          Pa Dadang anu masih bingung kana omongan ceu Mumun, tuluy leumpang kana podium pemilihan, pa Dadang ngahurungkeun mik sepiker tuluy méré béwara ka urang lembur Sugih sadaya. “Ka bapa-bapa kalih ibu-ibu sadaya. Dina raraga tasyakur sim kuring jadi RT anu ka genep kalina, kuring ngulem ka bapa-ibu sadaya, diantos di bumina ceu Mumun dina dinten salasa minggon payun”Baris diwanohkeun “kue législatif.”

          Puguh, ngadéngé béwara ti pa Dadang siga kitu, urang lembur Sugih pada baringung. Kabéh panasaran naon ari kue legislative. Saharita langsung raribut. Malah aya ogé urang lembur anu neundeun duit ka pa Dadang, panasaran hayang nyaho kumaha “kuéh législatif” téh. Kawénéhan harita oge keur usumna calon législatif daratang ka lembur-lembur sabab rék mayunan pilkada, caritana rék ménta dukungan.

Budak ceu Linda anu kabeneran keur aya di éta patempatan nyikikik seuri tuluy ngomong ka budakna ceu Mumun. “Watir teuing pa RT jeung urang lembur beunang ‘scam’ ti indung manéh.”

          “Baé lah. Berarti bener ceuk pamaréntah ogé, urang pilemburan mah masih loba kénéh anu telmi, telat mikir.” Ceuk budakna ceu Mumun bari seseurian. Geus kitu mah, soloyor duanana rék arulin jeung balad-baladna nu lian.

***

          Isukna, ceu Mumun datang ka imahna ceu Linda bari mamawa kérések eusi balanjaan ti pasar. Manéhna keketrok panto bari luak-lieuk ka sakuriling, teuing naon alesanna. Barang bral pantona dibukakeun ku ceu Linda, ceu Mumun langsung berebet asup ka jero tuluy ngajak diuk sagancangna.

          “Kunaon sih ceu, mani buru-buru pisan atuh.” Ceuk ceu Linda semu kesel pédah reuwaseun ku ceu Mumun.

          “Pokona mah kieu. Kamari abi janji ka pa Dadang rék nyieun kuéh, ayeuna bantuan abi nyieun ‘kuéh législatif’.” Cék ceu Mumun bari nutupkeun panto

          “Euleuh, paingan buru-buru kitu. Hayu atuh kadieu, kaluarkeun bahan-bahanna.”

          Ceu Mumun jeung ceu Linda tuluy pak pik pek di dapur nyieun “kuéh législatif”. Ari keur sibuk di dapur, torojol budakna ceu Mumun rék nyampeur budakna ceu Linda ulin. Ari budakna ceu Mumun nempo indungna keur aya di dapurna. Manéhna tuluy nanya. “Mah, keur nyieun naon di dieu?”

          “Keur nyieun ‘kuéh législatif’, émang naon kitu?” Ceu Mumun malik nanya.

          “Oh…” Ceuk budakna. Tuluy manéhna ngomong deui. “Mah, pamali siah mamah geus nipu pa RT jeung urang lembur kabéh.”

          “Manéh wé éta mah. Ari mamah nipu naon?”

          “Ari éta ‘kuéh législatif’ ideu mamah, pan éta téh sabenerna mah lain nu kitu. Terus ku mamah ké dijualan ka urang lembur, pédah urang lembur teu terangeun rusiahna. Watir atuh, urang lembur beunang ‘scam’ ti mamah.” Budak ceu Mumun mamatahan.

          “Yeuh, mamah mah ngan bade jualan, terus dimana salahna?”

          “Nya salah. Mamah geus méré arepan palsu. Urang lembur mah meureun ngarep-ngarep nu kumaha kuéh téh, ari pék téh sami-sami kénéh nu kitu.”

          “Baé ah éta mah lain salah mamah, bongan saha hayang waé percaya omongan mamah.”

          “Oh terserah. Ngan engké ku abi bade dibocorkeun rusiahna éta kuéh téh ka warga sadayana.” Cék budakna ceu Mumun bari ngemu kakesel. Ngadéngé budakna rék ngabocorkeun rusiahna, ceu Mumun langsung ngupahan. Tapi tetep baé budakna kesel.

          “Naon atuh kahayang manéh téh. Duit jang jajan?” Ceu Mumun masih keur ngupahan budakna ngarah teu ngabocorkeun rusiah “kuéh législatif”.

          “Enya atuh, meni teu pekaan pisan kana kahayang abi” Cék budakna bari kukulutus.

          “Tah duit mah, bawa wé. Tapi inget tong dibéja-béja ka sasaha mamah geus nipu.” Ceuk ceu Mumun bari nuluykeun ngaduk. Budakna seuri bari ugeuk-ugeukan, tuluy ngaléos jeung budakna ceu Linda anu geus nungguan ti tadi.

          Teu sawatara lila, torojol ceu Isah datang ka imahna ceu Linda. Sanggeus asup, ceu Isah ngomong. “Meni teu béja-béja rék nyieun kuéh téh.”

          “Tadina tuda buru-buru, bisi kanyahoan ku urang lembur ari rék ukur nyieun nu kieu hungkul mah.”

          “Oh nya, tadi abi pendak jeung pamajikanna pa Dadang, cénah ké pa Dadang rék kadieu isukan nempo heula barangna, geus jadi atawa acan.”

          Puguh, ngadéngé béja siga kitu mah, ceu Mumun jeung ceu Linda hariweusweus, sabab rusiah “kuéh législatif” téh bakal kabongkar. Tungtungna mah, pagawéan téh ditunda heula sapoéeun deui, da sieun kanyahoan ku pa Dadang yén éta téh lain adonan kuéh législatif pesenanna urang lembur.

***

          Heuleut sapoé. pabeubeurang, pa Dadang jeung pamajikanna datang ka imahna ceu Linda, rék nempo hasil pagawéan paguyuban ibu-ibu PKK téh. Barang neupi ka imahna, kasampak ceu Linda, ceu Mumun, jeung ceu Isah geus ngariung di dapur. Ana pa Dadang ningalian saeusi dapur, tuluy ngomong. “Euleuh-euleuh, geningan masih kénéh ngadonan kuéh, ari sugan téh tos aya anu asak.”

          Ceu Mumun seuri heureuy, tuluy ngomong. “Muhun pa RT. Adonanna téh can siap, margi kamari aya masalah sakedik, tapi da ayeuna mah tos lancar deui.”

          Sabenerna mah ceu Mumun jeung balad sapaguyubanna rada geumpeur lantaran pa Dadang jeung pamajikanna geus aya tilu jamna nempoan maranéhanana gawé nyieun “kuéh législatif” téh, sieuneun kapanggiheun maranéhanana geus nipu. Adonan kawas teu maju-maju waé jadi kuéh, angger baé cicing dina wadah baskom ngajentul, ari maranéhanana ukur gawé teu puguh. Ceu Mumun anteng dina wastafel, ceu Linda tonggoy dina lomari wadah samara, ceu Isah cindekul nunungguan oven anu ditagogkeun luhureun kompor.

          Tungtungna mah pa RT Dadang jeung pamajikanna ninggalkeun paguyuban ibu-ibu PKK rék nguruskeun pagawéan séjén. Geus euweuh mah, ceu Mumun, ceu Linda, jeung ceu Isah geuwat nuluykeun deui pagawéanna nyieun “kuéh législatif” anu can bérés. Adonan anu geus jadi ditambrukeun kabéh dina Loyang, tuluy diasupkeun kana oven anu handapana geus cakeutreuk hideung ku jalaga bales lila teuing ditagogkeun saluhureun kompor hurung tilu jamna. Hadéna wé teu matak picilakaeun.

***

          Kocap isukna geus dongkap kana poé salasa. Pasosoré, urang lembur Sugih jeung pa RT Dadang nyumpingan ka imahna ceu Mumun rék nempo naon sabenerna anu ngaranna “kuéh législatif” téh. Caritanana téh, urang lembur ogé rék niat bari silaturahmi, jadi maranéhanana mamawa dus kotak dahareun séwang-séwangan bari dikérésékan.

          Barang datang ka imahna ceu Mumun, urang lembur geus nempoan panggung leutik di buruan imahna. Di dinya geus aya paguyuban ibu-ibu PKK, taratih hareupeun méja anu kacirina aya barang anu ngahaja ditutupan ku sangku. Sagigireunna, aya pa RT Dadang jeung pamajikanna kaciri geus nunungguan éta sangku dibuka.

          Datang budakna ceu Mumun jeung ceu Linda bari ngangajak budakna pa Dadang anu karék bérés ulin jeung maranéhanana. Bari luak-lieuk, budak ceu Mumun tuluy ngaharéwos ka budakna pa Dadang. “Éh, ari kuéh téh kumaha?”

          “Geus aman lah. Ayeuna mah nu bakal kapok téh indung manéh, bongan geus nipu. Baé nya indung manéh bakal dinyenyeri haténa.” Ceuk budakna pa Dadang.

          “Baé lah, tuman. Sina Insaf saenggeus kieu mah.” Budak ceu Mumun rada semu camberut bari tungkul.

          Sedengkeun éta budak anu tiluan haharéwosan. Ceu Mumun jeung dua baladna ngabagikeun dus dahareun eusi “kuéh législatif” ka tamu-tamu anu haladir. Bari dipasihan saurang sadus, ceu Mumun ogé nampi dus dahareun ti urang lembur. Ti katinggaleun, pa Dadang ogé kabagéan dus dahaeun ti ceu Mumun.

          Geus kabagéan kabéh, tuluy ceu Mumun unjukan ka pa RT sangkan ngitung mundur ngarah urang lembur bisa muka dus eusi kuéh téh babarengan. Bari nyikikik seuri, ceu Mumun tuluy ngumpulkeun dus dahareun ti urang lembur di saluhureun méja panggung.

          “Hiji… dua… tilu…, sok atuh mangga dibaruka sareng mangga geura dilaleueut haturanna.” Ceuk pa Dadang.

          Ana brak dibaruka dusna, ceu Mumun, ceu Linda jeung ceu Isah kalah pada ngajéréwét, urang lembur Sugih pada héran bari sawaréh aya nu sareuri. Singhoréng ceu Linda jeung paguyubaan ibu-ibu PKK meunang jebakan ti urang lembur. Maranéhanana meunang dahareun sarua anu dibikeun ka urang lembur, si kuéh ”legislatif” tea. Nyatana “kuéh législatih” téh  ukur kuéh lapis legit anu geus pasaran.

          “Kumaha ceu Mumun, katampi kuéhna?” Cék pa Dadang bari nyikikik seuri.

          “Euh…! Ieu saha anu wani ngabongkar rusiahna kuéh jieunan urang, kan teu jadi untung kalah jadi buntung. Pasti ulah manéh ieu mah!” Ceu Mumun kukulutus bari nyentikkeun curukna ka budakna.

          “Sanes abi, mah. Tuh budakna pa Dadang anu ngabéjaan urang salembur téh, manéhna geus nyahoeun rencana mamah jadi teu anéh matak gagal ogé,” ceuk budakna bari nunjuk budakna pa RT.

          “Euleuh-euleuh ceu Mumun, matakna ari jadi jalma ulah sok nipu ka batur, kumaha lamunna dibalikkeun. Ulah karana hayang duit loba bari embung mikir jeung kerja keras, ideu kréatif anu sakirana ‘garing’ diréalisasikeun, tuluy dikoar-koar ka batur. Paribasana goong nabeuh manéh, hayang kaaku gawé ku batur…” Pa RT Dadang mani haripeut  mamatahan ceu Mumun jeung balad sapaguyubanna anu geus culas ka urang lembur.

          “Enya, hapunten abi. Abi rumasa geus culas ka urang lembur sadaya, tos nipu ka pala wargi sadaya ku ayana promosi ieu produk, tos nguciwakeun lantaran abi ngan tiasa ngapromosikeun kuéh siga kieu. Manawi pala wargi sadaya bade ngahapunten ka abi.” Cék ceu Mumun bari ngupahan.

          Singgetna mah, urang lembur Sugih embung manjangkeun masalah, ahirna mah ceu Mumun, ceu Linda, sareng ceu Isah dihampura. Tapi pa Dadang ngawanti-wanti mun hayang ngamekarkeun UMKM di lembur mah kudu laporan heula sing béntés ngarah jelas prak-prakanna, lamun bisa mah ngarahkeun urang lembur supaya bisa ilubiung dina saban kagiatan, boh kagiatan PKK atawa kagiatan sosial lianna. Nu matak pa Dadang bisa jadi pa RT genep période téh sabab manéhna bisa dipercaya pikeun jadi pamingpin urang lembur Sugih.

***